Sunday, July 6, 2008

Relasi Kontradiktif

sudah sangat lama sekali nih ga ngeblog..
liburan bukannya nambah ide malah nambah yg lain" (nambah males, berat badan, dll)

anyway, ide buat nulis blog ini datang ga lama setelah gw nulis puisi "Relasi Diam dan Kata", mudah"an menarik buat dibaca, hehehe :)




Saya mendapatkan ide ini ketika saya sedang rindu-rindunya menulis namun di lain pihak juga sedang dalam kondisi stagnasi pikiran temporal yang rupanya agak berkepanjangan (a.k.a ga ada ide). Sehubungan dengan itu, mari kita cek sedikit puisi terakhir saya yang judulnya "Relasi Diam dan Kata". Puisi tersebut adalah salah satu puisi yang saya tulis tanpa mikir sama sekali, dan bahkan ketika saya post di blog dan saya baca-baca ulang, yang terjadi adalah saya sendiri malah berpikir keras untuk meresapi puisi tersebut. (call me stupid, but that's what I trully did!).

Saya sangat tertarik dengan statement terakhir pada puisi saya, yang bunyinya begini :

" kata tidak akan jadi kata tanpa adanya diam
dan diam tidak akan jadi diam tanpa adanya kata."



Nah, akhirnya, di tengah kerasnya saya berpikir, saya menemukan suatu konsep yang saya namakan sebagai "Relasi Kontradiktif". Yaitu sebuah konsep yang menyatakan bahwa sesuatu hal ada karena adanya ketiadaan, di mana hal tersebut lebih menunjuk pada hal-hal yang berbau non-fisik alias bukan benda.

MISALNYA..
Seperti yang tertulis pada puisi saya di atas, kita tidak akan mengenal konsep 'kata' tanpa adanya konsep 'diam', dan konsep 'diam' itu sendiri tidak akan muncul apabila tidak ada konsep 'kata'. Karena 'kata' sendiri telah menjadi indikator dari eksistensi dari 'diam', dan sebaliknya 'diam' pun menjadi indikator bagi eksistensi 'kata'.

Contoh lain, 'Cinta' dan 'Benci' yang kata orang-orang "bedanya hanya setipis kertas." Apa yang kita kenal sebagai 'cinta' yang dianggap sebagai suatu perasaan yang tulus dan indah tidak akan menjadi se'tulus' dan se'indah' seperti yang kita kenal sekarang tanpa adanya perasaan 'benci' yang dianggap tidak indah. Contoh yang sama berlaku pada 'Baik' dan 'Buruk', 'Tidur' dan 'Bangun', dan lain-lainnn..

Sehubungan dengan itu, saya juga jadi teringat akan puisi seorang teman baik saya. Dalam puisinya, ia menuliskan seperti ini :

"tanya adalah jawab.
karena dalam tanya telah ada jawaban.
dan carilah itu didalammu"*

Tidak jauh beda dari contoh-contoh saya yang sebelumnya. Ketika kita bertanya, kita mengharapkan jawaban, di mana hal itu berarti kita mengangkat eksistensi 'jawab' dengan melakukan 'tanya'.


Pada intinya, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dalam hidupnya, manusia mencari keseimbangan, dan keseimbangan tersebut itu nyata. Karena pada realitanya, segala hal non-fisik memiliki relasi kontradiktif seperti yang telah saya sebutkan tadi dan apa yang terlihat berbeda sebenarnya tidak jauh berbeda pula, dan bahkan dapat dikatakan sama saja. Yang penting adalah dalam menyingkapinya, diperlukan adanya Kebesaran Hati (a NOBLE heart), di mana diperlukan untuk menciptakan keseimbangan tersebut.

MISALNYA lagi..
Ketika dalam hidup kita melakukan suatu 'kesalahan' yang harus kita lakukan adalah tetap berbesar hati dan berpikir positif dan mencari 'kebenaran' dari kesalahan yang kita lakukan. Karena ketika kita melakukan suatu 'kesalahan', sebenarnya kita pun telah membuka jalan menuju 'kebenaran'. Namun, patut dicatat bahwa jalan menuju kebenaran tersebut tidak akan terbuka ketika kita tidak memilih untuk menjalaninya, dan ketika kita memilih untuk tidak menjalaninya, kita telah menciptakan ketimpangan dalam hidup kita sendiri.

Sama halnya ketika kita menjalankan 'kebenaran' kita pun tidak boleh terlalu cepat puas dan harus tetap aware akan adanya 'kesalahan' dan harus tetap berbesar hati dengan tidak sombong akan 'kebenaran' yang kita lakukan, karena kita pun masih dapat melakukan kesalahan.

Perlu dicatat juga bahwa kebesaran hati selalu menunjuk berat pada positive thinking dan awareness, yaitu dua hal yang seringkali dianggap berlawanan namun sebenarnya saling mengisi** karena sama-sama dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.


-Akhir kata, mungkin konsep relasi kontradiktif ini sebenarnya tidak jauh beda dari konsep "YinYang" atau konsep "Isi adalah Kosong dan Kosong adalah Isi". Tapi, yang penting adalah bahwa dalam hidup, kemungkinan terburuk maupun terbaik memang dapat terjadi, dan kita sebagai manusia lah yang harus memilihnya, and what I'm about to say might sound very cliche, but PRAYER does work in this kind of thing, believe me, it works every time :)



(Chikita Rosemarie, July 6-2008)



*Puisi "Belum Terbaca" Oleh Rae Mandela Nasman,
selengkapnya dapat dilihat di : ceritasianakkancil.blogs.friendster.com/try2bethebest/
** Karena kebanyakan orang selalu menyamakan awareness dengan negative thinking.

Relasi Diam dan Kata

kadang orang dapat berkata
dan kadang tak ada salahnya ia berkata
namun ada kala di mana diamlah yang berkata

diam yang hening tanpa ekspresi
diam yang sepi nyaris tanpa arti
diam yang sekali kali tidak disadari

kata dan diam,
sebuah antonim tanpa nyawa
dua tindak yang semestinya sama saja
dua tindak yang tak kan pernah mencapai niscaya

kata dan diam,
benarkah mereka adalah antonim?

sesungguhnya seringkali orang lupa
bahwa ia dapat berkata dalam diam
dan ia dapat diam sembari berkata

karena kata tidak akan jadi kata tanpa adanya diam
dan diam tidak akan jadi diam tanpa adanya kata


(Chikita Rosemarie, June-25-2008)

'Hujan Bulan Juni' dan Hubungannya dengan 'Climate Change'

it's proven that i'm not completely a 'manusia dr ufuk timur', mengingat gw dpt ilham buat bikin tulisan ini sore" menuju malem dan bukan subuh sperti biasanya.. hehehe..


pemikiran ini awalnya timbul tadi siang ketika saya sedang menyetir sendirian di jalan tol dengan diiringi rintikan hujan yang agak deras..

saya teringat sama teman saya* dan obrolan kita mengenai salah satu puisi favorit kita 'Hujan Bulan Juni', Sapardi Djoko Damono. Puisi tsb adalah sbb :

"tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan Juni


dirahasiakannya rintik rindunya


kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan Juni


dihapusnya jejak-jejak kakinya


yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan Juni


dibiarkannya yang tak terucapkan


diserap akar pohon bunga itu"
(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)


Obrolan kita pada intinya membahas 'kelucuan' dari realita yang ada apabila dikomparasikan dengan esensi dari tata bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut.

We both had agreed before that this poem is actually an analogical writing, di mana Sapardi (dalam pemamahan kita) menggambarkan situasi kesedihan seseorang dalam suatu peristiwa 'hujan' dan implikasi dari 'hujan' tersebut. Selain itu, kita menangkap adanya suatu ironi, yaitu bahwa 'hujan' tersebut terjadi pada bulan Juni yang merupakan musim panas**, dan kedua hal itulah yang membuat kita suka banget sama puisi tersebut..

Nah, yang menurut kita 'lucu' itu, adalah fakta bahwa sekarang bulan Juni, dan akhir-akhir ini sering terjadi hujan yang bahkan dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok 'hujan deras'.
Sehubungan dengan itu, seperti yang kita semua ketahui, climate change adalah salah satu isu paling santer akhir-akhir ini, di mana banyak sekali aspek-aspek kehidupan yang berubah dikarenakan oleh hal tersebut. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, agrikultur, daannn lainnn lainnnnn.. Peristiwa perubahan cuaca, di mana terjadi 'pergeseran perilaku hujan' tersebut pun merupakan 'hasil' dari climate change.

Nahhhh, this is the 'funniest' part..
Karena adanya climate change itu juga, esensi yang saya dapat dari puisi tersebut pun jadi berubah.. Saya jadi melihat esensi dari puisi tersebut dari 'kacamata' yang lain, dan kira-kira begini konsepsinya (siap-siap bolak-balik nge-roll page ini ke atas)..

1. Hujan yang turun pada bulan Juni itu adalah 'Hujan Bulan Juni' bagi kita semua..
Seperti yang tadi saya katakan, peristiwa 'Hujan Bulan Juni' itu adalah gambaran analogis dari suatu bentuk 'kesedihan'. Dalam hal ini, 'kesedihan' dapat kita artikan sebagai 'duka' dan 'masalah', dan hujan yang turun pada bulan Juni yang merupakan pertanda dari adanya climate change itu seharusnya menjadi 'kesedihan', 'duka', dan 'masalah' kita bersama, alias COMMON ISSUE, di mana bentuk penanggulangan dan perbaikannya dilakukan bersama dalam suatu skala solidaritas sosial dan social awareness yang tinggi, baik lokal maupun internasional mengingat 'hujan bulan juni' tersebut turun di atas kita semua dan menimbulkan implikasi-implikasi yang terkait pada 'ruang publik'.

2. Dalam menanggulangi dan memperbaiki efek 'Hujan Bulan Juni' diperlukan Ketabahan, Kebijakan, dan Kearifan..
Seperti yang disebutkan Sapardi dalam puisinya, 'hujan bulan juni' itu tabah, bijak, dan arif. Dalam hal ini, dalam melalui 'hujan bulan juni', kita sebagai suatu social community harus dapat bersikap sesuai dengan tiga hal tersebut;
(1) Tabah dan berbesar hati menghadapi permasalahan-permasalahan baru yang diakibatkan oleh adanya climate change,
(2) Bijak dalam perbuatan, sesuai dengan peranan-peranannya masing-masing dalam masyarakat, misalnya para pemegang 'peran politik' merumuskan dan mensosialisasikan kebijakan-kebijakan (policies) yang efisien dan efektif, dan para pemegang 'peran publik' dapat baik mengeluarkan input maupun membantu mensukseskan implementasinya secara bijak pula,
(3) Arif, di mana segala hal dapat dilakukan dengan tulus dan demi kebesar-besarnya kepentingan publik, baik di masa kini maupun mendatang.


Okay, call me cliche, tapi cukup lumrah apabila saya katakan demikian. Karena ketika seiring dengan turunnya 'hujan bulan juni' kita dapat mempertahankan ketiga hal tersebut, kita telah membuktikan that we can make it through the 'unusual rain' yang mengharuskan kita 'merahasiakan rintik rindu', 'menghapuskan jejak-jejak kaki', dan 'membiarkannya tak terucap' yang merupakan bentuk analogi dari merubah economical expenses, pola hidup, pola pikir, dan kompensasi-kompensasi pada ruang publik lainnya khususnya sehubungan dengan aspek-aspek environmentalisme.


-Konsepsi tersebut selain mengandung pesan moral, mungkin juga membuktikan bahwa baik tempe mendoan dan tempe goreng asalnya sama-sama dari 'tempe'..*LOL!*

..................................................

Oh iya, akhir kata, ini semua idenya Sapardi yang saya "obrak-abrik", mudah-mudahan tidak membuat dongkol para sastrawan dan para pencinta Sapardi di luar sana, hehehe :)



(Chikita Rosemarie, June-10-2008)


*inisial MR
**berdasarkan pergerakan angin muson ;)

Saturday, July 5, 2008

Pemecahan Glass-Ceiling sebagai Bentuk Affirmative Action Demokratisasi di Indonesia "Sebuah Analisis Gender"

at laaassstt.. essay spi gw kelar jugaaa ^_^ (btw, it's 4 am in the morn!)
i've tried so hard nih, di tengah keterbatasan intelektual dan keterbatasan halaman..
silahkan diberi komen, hehehe..
btw, seperti biasa footnotenya ga muncul, jadi cukup daftar pustaka aja ya.. :)


------------------------------------

Pemecahan Glass-Ceiling sebagai Bentuk Affirmative Action Demokratisasi di Indonesia
“Sebuah Analisis Gender”

Oleh : Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie
(Sosiologi, 0706284641)

Demokrasi, sebuah konsep yang secara etimologis berarti ‘government by the people’ atau ‘pemerintahan di tangan rakyat’, di mana berarti setiap pihak dalam struktur masyarakat memiliki hak yang sama secara politis, dan tidak boleh ada yang tersubordinat maupun terdiskriminasi (equal citizenship). Secara konseptual, demokratisasi menunjuk berat pada pelaksanaan demokrasi, baik secara prosedural maupun substantif di suatu negara. Indonesia sebagai negara yang sedang menjalani proses demokratisasi mendasarkan pelaksanaan demokrasi tersebut ke pada dua hal, yakni Rechtsstaat (rule of law; negara hukum) dan sistem konstitusi (Budiarjo, 2008).

Konsep demokrasi-demokratisasi seringkali dikaitkan dengan liberalisasi, di mana hal tersebut menunjuk pada pembaharuan pada berbagai isu sosial-politik, salah satunya adalah isu gender. Demokratitasi dan penanggulangan isu gender adalah kedua hal yang diharapkan memiliki hubungan yang berbanding lurus (semakin baik demokratisasi, semakin baik pula penanggulangan isu gender), karena goals dari demokratisasi sendiri salah satunya adalah penghapusan diskriminasi politis yang berbasis pada equal citizenship, dan isu-isu gender yang merebak di dunia perpolitikan Indonesia tidak pernah terlalu jauh dari hal-hal yang berbau diskriminasi (ketidakadilan) secara politis terhadap kaum wanita.

Yang selalu menjadi permasalahan ‘berbau’ gender dalam dunia perpolitikan Indonesia adalah peranan wanita yang masih tersubordinat dalam pemerintahan (baik legislatif maupun eksekutif), di mana negara masih secara sadar maupun tidak mensuperioritaskan kaum pria dalam penempatan jabatan-jabatan politik, di mana bertentangan dengan prinsip demokrasi secara umum (hak yang sama; tidak ada diskriminasi). Hal tersebut dapat terjadi, karena secara kultural, bangsa Indonesia masih berpegang pada nilai-nilai budaya patriarkhi yang pada prakteknya menguntungkan kaum pria, di mana hal itu menciptakan adanya segregasi vertical (Moore dan Sinclair, 1995) yang berujung pada pembatasan ruang gerak atau glass-ceiling (langit-langit kaca; tak terlihat) yang menghalangi wanita Indonesia dalam memasuki ruang publik, dan dalam hal ini adalah kancah perpolitikan.

Apabila kita melihat konsep demokrasi Indonesia yang didasari pada konsep Rechtsstaat dan sistem konstitusi, sebenarnya secara struktural negara telah melakukan affirmative action (terobosan) dengan adanya Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) melalui UU No.7 tahun 1984, Pasal 7 secara tegas juga mengatur hak-hak politik perempuan serta menjamin persamaan hak antara pria dengan wanita dalam hal : (1) hak untuk memilih dan dipilih, (2) hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, (3) hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; dan (4) hak untuk berpartisipasi dalam organisasi/perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik , selain itu juga terdapat sistem kuota yang meletakkan persentase minimum keterlibatan wanita dalam parlemen sekurang-kurangnya 30% dari keseluruhan jumlah anggota pada pemilu 2004.

Walaupun secara struktural telah ada landasan hukum serta konstitusi yang kuat, pada realitanya di pemilu 2004, walaupun secara keseluruhan keterwakilan wanita dalam partai politik sudah mencapai 32, 3% (2.507 caleg), namun masih banyak partai-partai yang tidak memenuhi kuota tersebut, dan ironisnya hal itu justru banyak dilakukan oleh partai-partai besar. Selain itu, penempatan nomor urut juga sangat menentukan, dan dalam hal ini dari 2.507 caleg perempuan hanya terdapat 242 atau sekitar 9,7% dari total keseluruhan caleg perempuan yang menempati nomor urut 1, dan 421 atau 16,8% dari total keseluruhan caleg perempuan yang dinominasikan pada nomor urut 2 .

Apabila kita mencermati angka-angka di atas, kita dapat melihat adanya inefisiensi dari affirmative action, di mana glass-ceiling tersebut secara implisit masih ada, dan bahkan (melalui indikasi-indikasi tertentu) justru dipergunakan sebagai alat politik untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang tidak mengedepankan citizenship equality itu sendiri. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa adanya glass-ceiling bukan hanya menyebabkan affirmative action menjadi tidak efisien namun juga menyimpang karena tidak tepat sasaran, di mana wanita tetap tersubordinat, dan juga dipergunakan dalam praktek-praktek yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Yang membuat hal tersebut menjadi semakin ironis adalah bahwa affirmative action yang sebenarnya diberlakukan guna menghilangkan glass-ceiling justru gagal karena ‘dihadang’ oleh batasan glass-ceiling itu sendiri.

Hal ini terjadi karena adanya kekurangpahaman kaum inovator politik mengenai glass-ceiling itu sendiri. Perlu diperhatikan, bahwa affirmative action diperlukan sebagai wujud ‘pemecahan glass-ceiling’ dan bukan sekedar reaksi atas adanya glass-ceiling, dan dalam penetapannya dibutuhkan pengetahuan akan ‘seberapa tebal’ glass-ceiling itu sehingga ia dapat ‘dipecahkan’. Afiirmative action harus dapat memposisikan dirinya di atas glass-ceiling dan bukan sebaliknya.

Secara konseptual, ada dua hal yang perlu dicermati dalam pemecahan glass-ceiling, yakni: (1) pendekatan demokrasi yang tepat, dan (2) demokrasi pluralistik. Dalam menanggapi permasalahan glass-ceiling, yang diperlukan adalah pendekatan demokrasi aliran kedua, di mana; Demokrasi bukan sebagai hasil dari perkembangan masyarakat tertentu, yang boleh absen selama perkembangan itu belum matang Bagi aliran ini, demokrasi adalah prinsip yang harus hadir di setiap tahapan pembangunan . Pendekatan ini pada intinya mementingkan sistem kontrol yang didasari pada rule of law. Pendekatan seperti ini diperlukan untuk menghindarkan affirmative action menjadi hanya sekedar seperangkat aturan yang tak dapat diimplementasikan atau prosedural dan tidak substantif.

Selanjutnya adalah demokrasi pluralistik. Yang dimaksud sebagai demokrasi pluralistik adalah demokrasi yang dapat melihat keberagaman sosial, di mana sesuai dengan konsep Iris M. Young yang mencatat empat persoalan yang muncul dari demokrasi yang membayangkan kesamaan umum (generality) dan perlakuan yang sama (general treatment). Yaitu bahwa: (1) demokrasi dapat melakukan pengabaian terhadap individu atau kelompok yang karena keterbatasan (kultur atau sistem) tidak dapat turut dalam perumusan keputusan bersama, (2) pandangan umum atau general view justru memaksa masyarakat ke dalam homogenitas (di mana tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang heterogen), (3) adanya perbedaan-perbedaan budaya, nilai, perilaku, sistem kepercayaan yang tingkat keberagamannya sudah tidak dapat diakomodasi dalam prinsip common sense, (4) secara faktual, ada kelompok tertentu yang mendapatkan keuntungan atau privilese dari keadaan tersebut . Oleh karena itulah, dalam demokratisasi Indonesia, aspek pluralisme harus dapat dikedepankan demi mencapai keadilan sosial.

Melalui kedua aspek tersebut, diharapkan affirmative action dapat diberlakukan secara lebih efisien, di mana ia dapat secara tepat sasaran ‘memecahkan’ glass-ceiling sebagai bentuk demokratisasi yang baik yang dapat menjamah dimensi feminisme sosial dan cita-citanya, yakni bukan semata-mata emansipasi wanita, namun emansipasi masyarakat yang diwujudkan dalam suatu sistem sosial yang lebih adil dan merata, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan.



Daftar Pustaka :
• Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik ed. Revisi. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
• J.A, Denny. Demokrasi Indonesia: Visi & Praktek. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006)
• Jurnal Perempuan ed. 34. 2004. Politik dan Keterwakilan Perempuan.
• Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, & Kedadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. (Jakarta: PT RajaGrasindo Persada, 2007)
• Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi ed. Revisi. (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004)



(Chikita Rosemarie, May 18-2008)

Imperfectly Perfect

kayaknya sindrom 'manusia dari ufuk timur' gw lagi kambuh nih..

dan gw antara sangat senang sekaligus kesal.. mengingat gw lagi enak" tidur, malah kebangun dan malah dapet ide buat ngeblog *sigh!*

anyway, today's blog is about the idea of perfection..


'PERFECT'..

siapa sih yang ga pengen jadi perfect?
i believe most people, or even ALL people are longing to be one..
but as we all know, 'nobody's perfect'


tidak ada data yang jelas mengenai sejak kapan konsepsi tersebut dicetuskan, namun yang jelas konsepsi tersebut secara internal ditanamkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. percaya atau ga, konsepsi 'nobody's perfect' alias 'tidak ada manusia yang sempurna' itu adalah salah satu konsepsi paling terkenal, dan paling 'timeless' mengingat ia tak pernah berubah.. bahkan ketika bentuk ideal dari 'kesempurnaan' dan 'keindahan' berubah', it stays the same..

yang menarik mengenai konsepsi tersebut, adalah ketika dipikir-pikir secara lebih mendalam, kita akan menemukan suatu bentuk 'kontradiksi', di mana akar permasalahan adalah bukan pada 'tidak ada manusia yang sempurna', melainkan 'manusia yang sekarang belum mencapai kesempurnaan'.

apabila dilihat dari teori Jean Baptiste Lamarck (1774-1829) yang dikenal dengan paham 'Use and Disuse' (yang sebenarnya dianggap gagal), ia menyatakan sbb* :

1. Makhluk hidup sederhana adalah nenek moyang dari makhluk hidup yang sempurna / modern dengan tingkat kompleksitas yang tinggi.

2. Makhluk hidup akan senantiasa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dengan menggunakan organ tubuhnya.

3. Organ tubuh yang sering dipakai atau digunakan akan berkembang ke taraf yang lebih baik, sedangkan organ yang jarang ataupun yang tidak pernah digunakan akan menghilang.

4. Perubahan organ tubuh akan diwariskan dan diturunkan ke generasi berikutnya atau keturunannya.


walaupun teorisasi tersebut ditolak dan para lamarckian 'kalah' oleh para darwinian, namun saya sebagai mahasiswi sosiologi yang sedikit mulai belajar mengenai kajian 'sosiobiologi' menganggap bahwa teori lamarck tersebut tidak sepenuhnya 'nonsense', dan bahkan kajian sosiobiologi sendiri dipelopori juga oleh para lamarckian.

saya jujur saja setuju dengan intisari 'pewarisan dan penyesuaian organ tubuh dengan lingkungan', karena bukankah konsep 'evolusi biologis' dalam antropologi sedikit banyak juga mencetuskan hal tersebut??
namun, yang menurut saya agak rancu adalah 'apakah benar suatu saat manusia (& makhluk hidup lainnya) akan mencapai kesempurnaan seperti dipercaya oleh Lamarck?'

nah, hal inilah yang tidak saya setujui dari teori Lamarck. karena konsep 'kesempurnaan' itu (sekali lagi) adalah hal yang rancu, subyektif, dan secara empiris tidak dapat diidentifikasi.

menurut saya, penyesuaian organ tubuh oleh makhluk hidup itu terjadi dan dilakukan bukan untuk semata-mata mencapai kesempurnaan, melainkan 'untuk mencapai tujuan tertentu'. Jadi, dalam hal ini, konsepsi 'kesempurnaan' pun (kasarnya) dianggap unexist, di mana sesuai dengan konsepsi 'nobody's perfect'.


------------------------------------------------


kalau saya pribadi secara egois tidak begitu percaya bahwa terdapat bentuk kesempurnaan yang valid, dan di lain pihak saya juga tidak 100% pro dengan konsepsi 'nobody's perfect'.

kalau menurut saya, konsepsi tersebut tidak dapat dikatakan 100% tepat, karena secara nyata, manusia sebagai individu memang dapat menjadi 'imperfect' atau 'tidak sempurna' dengan segala ketidakmampuan dan kekurangannya.

dan kalau menurut saya lagi, bukan 'tidak ada manusia yang sempurna' atau 'manusia belum mencapai kesempurnaan', melainkan 'ketidaksempurnaan itulah yang membuat manusia menjadi sempurna'.

kenapa begitu??

nah, pernah kan dengar statement" macam "karena saking baiknya, dia jadi nyebelin.." atau "saking cantiknya, dia malah jadi ngebosenin.."

statement" tersebut merupakan bentuk dari adanya konsepsi mengenai (as a good friend of mine** always says ^_^) Psikologi Terbalik, di mana secara psikologis, hasil dari sesuatu yang 'berlebih' cenderung kontradiktif atau kadang mengalami degradasi.

di situlah konsepsi 'nobody's perfect' menjadi dibenarkan..

bukan karena manusia sebagai ego 'tidak sanggup' untuk melihat 'kesempurnaan', melainkan karena manusia memiliki kemampuan untuk secara alamiah melihat kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan.

hal ini sesuai juga dengan konsepsi saya mengenai 'fake beauty' dan 'authentic beauty', di mana keindahan yang 'sempurna' tersebut hanyalah sebuah hal yang bersifat mitologis/semu.


nah, dari situlah saya menemukan konsepsi 'lucu' mengenai manusia sebagai makhluk yang 'IMPERFECTLY PERFECT',
di mana dengan bangga saya akan menyatakan bahwa;

"sebagai individu saya tidak sempurna, namun justru karena itulah sebagai manusia, saya sempurna.." -CR



---------------------------------------------

*http://organisasi.org/teori_evolusi_jean_baptiste_lamarck_dari_buku_philosophie_zoologique_asal_prancis_dengan_paham_gagal_use_and_disuse_biologi

**masih sama dengan 'my good friend of mine' yang sering disebutkan di postingan" lain ;)


(Chikita Rosemarie, May-16-2008)

Kisah Sang Gadis

01.15 am

alkisah ada seorang gadis yang jatuh cinta pada sebuah tembok..

ya, tembok..
sang tembok itu terhampar di depannya. hampa, diam, hanya berbayang. seperti layaknya tembok yang tak tertegun bila disentuh, tak membalas ketika disapa. tembok yang hanya sekedar tembok, tak kurang tak lebih.

sang gadis terpesona oleh keindahan sang tembok..
ditemaninya ia seharian, hanya demi menikmati keindahan yang ia tangkap dari sang tembok nan putih itu. obyek mulus yang tanpa cacat namun tanpa kesempurnaan. nyata namun hampa dalam realita.

sang gadis mencintai sang tembok..
ia mencintainya, dengan seluruh kesungguhan yang dapat ia gali dari hati kecilnya. hati sepi yang dipadati oleh kegundahan masanya.
ia mencintainya, bukan karena sebab-akibat, bukan karena penjelasan tanpa dasar yang menyalahkan takdir.
ia mencintainya, karena ia memilih untuk mencintainya..

sang gadis memilih untuk mencintai sang tembok..
ia memilih untuk mencintai sang tembok.
sang tembok yang dengan segala kapabilitasnya dalam membatasi..
sang tembok yang membawanya ke alam imajinasi..
sang tembok yang mengurung sekaligus membebaskan ia dari penatnya hari..
sang tembok yang merupakan tembok.. ada dan apa adanya, dicintai oleh sang gadis..

apa jadinya ketika sang gadis mencintai sang tembok?
serba salah, itu pasti..
ketika ingin maju, ia menghalangi..
ketika ingin mundur, ia berdiri menatap lurus pada kepergian sang gadis..
akhirnya sang gadis hanya dapat menanti..
mananti sampai pada akhirnya sang tembok mengerti..

mengerti bukan sekedar tahu..
mengerti ialah memahami..
memahami dan lalu menjawab..
perasaan sang gadis yang seakan hampir membludak..
perasaan yang tertahan karena tak tahu harus bagaimana diekspresikan..

menanti pun tidaklah mudah..
karena dalam hati sang gadis pun bertanya-tanya..
haruskah ia menanti dalam keheningan?
dalam harap, menemani sang tembok..
dalam harap, ingin sang tembok merasakan hangatnya kehadiran sang gadis..

atau haruskah ia menanti sembari memaksa?
agar sang tembok merasakan bahwa ia ada.. bahwa cinta itu nyata..
namun sekuat daya sang gadis memaksa,
pada akhirnya yang terjadi adalah pengrusakan..
bukan hanya terhadap sang tembok, namun juga terhadap sang gadis..

sia-sia,
segala daya upaya adalah sia-sia..
karena sampai kapan pun, tembok enggan berlenggang..
ia hanya diam tak berkata..
sesuai dengan kodratnya yang sebagai tembok..

lalu, kenapa sang gadis tetap mencintai sang tembok?
karena di balik tembok selalu ada ruang..
dan dalam ruang pastilah ada jiwa..
jiwa murni yang didamba sang gadis..
yang terhalang oleh tebalnya tembok yang semu..

jadi, sebenarnya apa yang sang gadis cintai? sang tembok? atau sang jiwa?
tidak tahu..
karena pada dasarnya sang gadis hanya belum ingin mundur..


"karena jauh di dasar hatinya sang gadis pun memiliki temboknya sendiri.."


(Chikita Rosemarie, May-2-2008)

ANTARA SASTRAWAN, PEMIKIR, TEMPE MENDOAN, DAN TEMPE GORENG

it's 3 am in the morning..
blm tdr jg, pdhl kurang lebih 4 jam lg gw udah hrs ada di kampus buat kls mpk bhs.inggris.

pgn tdr tp blm gosok gigi.. pgn gosok gigi tp males ke kamar mandi.. (maunya apa??), hehehe..

nah, tiba" dapetlah inspirasi buat nulis..

nah lagi, mau tau apa yg gw pikirin ketika jam menunjukkan pk 3.20 pagi??



ANTARA SASTRAWAN, PEMIKIR, TEMPE MENDOAN, DAN TEMPE GORENG
"sebenernya sih, judul yg gw pilih aga salah, mengingat ini subuh", dan perut gw lg rewel"nya minta cemilan..
dan sbg pencinta makanan indonesia, tempe mendoan dan tempe goreng adlh salah satu cemilan paling yahud.." -CR


anyway, yang menginspirasikan gw kali ini adalah (lagi") a good friend of mine (yes, it's her again!), dan tepatnya kali ini adalah obrolan kita entah di hari apa, yg jelas dilakukan di mobil, daerah lenteng agung, pagi" sebelum nyampe kampus..

pada saat itu kita lagi ngomongin ttg sapardi djoko damono dan puisinya yang judulnya "BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI"..


"waktu aku berjalan ke barat waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan."

(Mata Pisau, Balai Pustaka, 1971)


temen gw yg kebetulan amazed bgt sama puisi ini dengan wajah sumringahnya bilang ke gw,
"gw heran deh, kok ada aja ya orang yang ketika ngeliat bayangannya sendiri aja bisa mikir kayak gitu.."
(pertanyaan temen gw ini secara ga langsung mengindikasikan kekaguman temen gw pada daya kritisasi sapardi.)
terus, sambil mikir" lg, gw jawab,
"wajar kok, karena manusia itu emang punya tendensi buat mikir. gw pribadi juga sering mempertanyakan segala sesuatu yg ga penting.."
"emang iya ya chik?"
"iya, dan sebenarnya kelebihan dari sapardi itu bukan daya pikirnya, tapi tata bahasanya, dan itulah kenapa ia disebut sebagai 'sastrawan', karena ia punya kelebihan dalam hal tata bahasa."

(pada akhirnya, obrolan ini berlanjut ke arah "potensi" dan "tata bahasa" serta bagaimana cara mendapatkan kelebihan tsb.)

-------------------------------------


that conversation made me come out with an interesting analogy..

yaitu sebuah bodoh yang pernah gw tanyakan ke nyokap gw.. "apa bedanya tempe mendoan dengan tempe goreng biasa?". jawaban yang gw dapet dari nyokap gw adalah "tempe mendoan itu digorengnya pake tepung, kalo tempe goreng ya tempe goreng aja, ga pake tepung.."

dan hal ini, entah kenapa sesuai dengan konsep "sastrawan" dan "pemikir".

sastrawan adalah "tukang tempe mendoan" dan pemikir adalah "tukang tempe goreng".

jadi, pada dasarnya semua pemikiran manusia itu adalah sebuah tempe (tempe tok, yang belom dimodif apa"), dan hasil dari pemikiran mereka adalah tempe mendoan dan tempe goreng itu sendiri..

gw menganalogikan karya sastra sebagai sebuah tempe mendoan karena ia simply dibungkus oleh tepung, di mana yang dimaksud dengan tepung dalam hal ini adalah "tata bahasa".

tepung yang diolah sedemikian rupa sesuai dengan style pembuatnya ini adalah "bumbu", dan si tepung inilah yang membuat rasa tempe yang plain menjadi lebih enak, dan lebih "universal".

kenapa gw bilang "universal"?? pada realitanya, orang cenderung milih mendoan drpd tempe goreng biasa.. dan tempe mendoan itu lebih bisa masuk ke segala suasana. (lo bisa nikmatin tempe mendoan kapanpun -kalo ada-, dan di manapun).

rahasia dari kenikmatan tempe mendoan, selain karena "bumbu" tepung ialah perbandingan dari tempe dan tepung.

para pembuat tempe mendoan punya citarasa sendiri. ada yang membuat mendoan dengan tepung yang tebel, ada yang tempenya yang tebel, ada juga yang sama-sama tebel. penikmatnya pun berbeda-beda.

tetapi, patut diingat bahwa modifikasi tempe mendoan itu pada akhirnya memang terbatas batas pada bumbu yang diolah menjadi adonan tepung serta perbandingan tsb.

sebenarnya bisa saja si pembuat mendoan bereksperimen dengan bentuk, nyeleneh dan menciptakan mendoan yang bentuknya lain dari yang lain (pernah liat mendoan yang bentuknya segitiga?), tapi hal itu jaraaannnggg bgt.. cuma berlaku buat sastrawan" macem sutardji kal sumbachri yang bagi kalangan penikmat puisi "klasik", puisinya tidak seperti "puisi".

dan fenomenanya, para pembuat mendoan pun pada akhirnya akan stick pada citarasa yang sama, di mana citarasa tersebut adalah ciri khas yang menjadi daya tarik si tukang mendoan.

lain halnya dengan si tempe goreng..

tempe goreng biasa emang dirasa lebih plain, dan penikmatnya pun lebih sedikit. namun, menu inilah yang membutuhkan tempe dengan kualitas yang sesungguhnya, karena pada akhirnya, kenikmatan tempe goreng itu ditentukan dari kualitas dari si tempe itu sendiri.

modifikasi yang dapat dilakukan pun lebih luas. bisa melalui bentuk, tebal-tipisnya tempe, permukaan tempe, dan bumbu.

kita pun mengenal tempe goreng, tempe sawah, tempe bacem, sambel goreng tempe, sampai kerupuk goreng tempe pun ada.

kebayang kan betapa beragamnya tempe goreng itu??

para tukang tempe berlomba-lomba menciptakan tempe goreng yang paling orisinil sesuai dengan citarasa masing-masing. tapi tetap memiliki basis "tempe goreng".

pembuat tempe goreng bebas berkreasi sesuai interpretasi mereka yang valid terhadap tempe. pembuat tempe paling iseng pun bisa aja membuat tempe goreng paling aneh (misal : "tempe goreng isi blue cheese dengan dressing wine vinegar"), selama menu tersebut memiliki sekelompok peminat yang sama" sepakat bahwa menu tersebut relevan dengan selera mereka.

intinya, selama ia adalah tempe dan ia digoreng, ia adalah "tempe goreng", suka atau tidak suka.. minat atau tidak minat..

tidak ada bentuk tempe goreng yang "sempurna" dan kita tidak bisa mengatakan bahwa suatu hasil modifikasi tersebut salah atau benar, karena semua orang memiliki hak untuk membuat dan menikmati tempe goreng sesuai dengan citarasa serta seleranya masing-masing.



-jadi, enakan enakan tempe mendoan atau tempe goreng nih??
well, gw pribadi sih penikmat keduanya yah.. dan selayaknya orang jawa (yes, I AM JAVANESE!) ,

"kecap, please!"



(Chikita Rosemarie, April-21-2008)

Sudut Pandang

aku orang pertama
kau orang kedua
mereka orang ketiga dan keempat

yang ketiga bilang "jangan!"
yang keempat bilang "sayang.."

sedangkan kau,
kau masih berbayang..

lalu aku,
harus bagaimana??

(Chikita Rosemarie, April-18-2008)

My NEWEST Notion About Beauty

ini lanjutan dr 'corat-coret' gw sblmnya yg judulnya 'my new notion about beauty'..


i've discussed the issue with a good friend of mine, yg kbetulan ga sependapat sama gw..

dia lebih sependapat dengan statement "everything looks beautiful when we don't see it clearly..", di mana statement tersebut bertentangan dengan konklusi gw mengenai klasifikasi keindahan itu sendiri, yg di mana juga menekankan bahwa keindahan yg tampak ketika kita sudah mengenal 'obyek' atau authentic beauty lebih "nyata" daripada fake beauty. (pada intinya, gw pro terhadap apa yang ge sebut dlm klasifikasi gw sbg authentic beauty).

nah, dalam diskusi tsb, tmen gw ini mengeluarkan statement yg ga kalah menarik :

"memang authentic beauty itu adalah suatu bentuk keindahan yg sesungguhnya, namun pada realitanya, orang justru berpaling ketika menemukan authentic beauty.." (kira" seperti ini yg dia katakan :) )


statement tersebut benar-benar menggugah gw untuk melakukan pemikiran lebih lanjut mengenai isu ini.. and i came up with another analogy : STARS

STARS = BINTANG-jamak, (yep, bintang! yg di langit itu lhoo.. -hehehe)


most people think that stars are beautiful, and they even use them as symbols of romance.. tapi, pernahkah tepikir kenapa hal tersebut bisa terjadi? kenapa bintang bisa dianggap indah? bahkan bintang (bagi sebagian besar orang) dianggap lebih indah dari benda-benda angkasa general yang lain.. padahal, apabila kita lihat dari dekat, bintang akan tempak seperti a huge piece of rock.

kalau menurut dictionary thesaurus macbook definisi dari star adalah a fixed luminous point in the night sky that is a large, remote incandescent body like the sun. secara simpel, bintang (star) dapat didefinisikan sebagai benda angkasa yang bersinar dan terlihat di malam hari.


jadi ada 2 inti dari fakta mengenai bintang :
1. bahwa bintang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan CAHAYA
2. bahwa bintang terletak di ANGKASA (in other words : JAUH!)


nah, jadi apabila kedua fakta tersebut ingin dimasukkan dalam klasifikasi keindahan, akan timbul suatu pertanyaan awal : "MENGAPA BINTANG TERLIHAT INDAH?"


dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, terdapat 2 opsi jawaban :
1. KARENA BINTANG BERSINAR/BERCAHAYA
2. KARENA KITA MELIHATNYA DARI JAUH/TIDAK JELAS


nah, yg memilih opsi 1 adalah penganut authentic beauty, dan sebaliknya yg memilih opsi 2 adalah penganut fake beauty.

yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah orang-orang yang menganut authentic beauty benar-benar menganggap ke'otentikan' sang obyek sebagai suatu hal yang 'indah', atau sebaliknya justru menjadi skeptis karenanya?


misalnya, apakah orang yang mengetahui fakta bahwa bintang itu bersinar dapat berpendapat bahwa bintang dianggap indah karena kapabilitasnya untuk mengeluarkan cahaya atau justru menjadi skeptis dan menganggap bahwa fakta yang ia ketahui membuat keindahan tersebut menjadi relatif atau bahkan hilang sama sekali karena fakta tersebut simply tidak indah?


singkatnya, hal-hal yang berbau empiris melenyapkan keindahan utopis yang didamba manusia..


sehubungan dengan hal ini, gw jd inget sama konsep dimensi MITOLOGIS dan HISTORIS..

dimensi mitologis pada dasarnya adalah bentuk ideal yang diharapkan seseorang dari sesuatu yang ia lihat, dan dimensi historis adalah bentuk nyata dari sesuatu yang dilihat seseorang..


jadi dapat dikatakan, apabila kita menikmati fake beauty kita menikmati sesuatu yang sifatnya mitologis, dan ketika kita menikmati authentic beauty kita menikmati sesuatu yang sifatnya historis..

dan, benar adanya, bahwa kapabilitas nalar manusia lebih dapat menangkap sesuatu yang sifatnya mitologis. dan di lain pihak, batas nalar manusia mengisyaratkan keberadaan sesuatu yang sifatnya historis. (pada intinya, sesuatu yang sifatnya mitologis itu dapat lebih mudah ditangkap oleh nalar manusia).


kenapa begitu??
jawabannya simpel, karena lebih mudah berpikir secara IRASIONAL daripada RASIONAL..


ketika seseorang berpikir secara rasional demi menangkap authentic beauty yang sifatnya historis, ia akan menemukan fakta, di mana fakta tersebut seringkali membawanya pada perihal lebih lanjut, yakni : KEWAJIBAN.

contoh nyatanya adalah ketika kita mulai mengenal orang yang kita suka. ketika kita mulai mengenalnya, kita akan menemukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan sosok ideal orang tersebut (yang kita bayangkan sebelum kita mengenalnya), di mana kita pada akhirnya mendapati diri kita untuk memikul suatu kewajiban untuk MENERIMA orang tersebut beserta fakta-fakta tertentu pada dirinya.


dari contoh di atas, gw mengambil kesimpulan bahwa :

"authentic beauty hanya dapat ditangkap ketika seseorang memiliki kapabilitas yang cukup untuk menyadari, menerima, dan menjalankan kewajiban sebagai konsekuensi dari hal-hal empiris yang menjadi basis dari keindahan tersebut."


-singkatnya, sebenarnya manusia secara tidak sadar mencari keindahan yang otentik, namun pada realitanya fake ataupun authentic, pada akhirnya keduanya hanya merupakan suatu bentuk pilihan, di mana ketika kita memaksakan pilihan yang tidak sesuai dengan kapabilitas kita sendiri, konsekuensi yang akan kita terima akan lebih besar dari yang seharusnya.


"No one lights a lamp in order to hide it behind the door: the purpose of light is to create more light, to open people's eyes, to reveal the marvels around." (Paulo Coelho, The Witch of Portobello, 2008).


(Chikita Rosemarie, April-16-2008)

Sahabat

biarkanlah tawa kita bernada lagu
ciptakan musik dengan alunan batinmu
kan kumainkan ia dengan lapang ayu
sampai nanti tak kubiarkan ia mewagu
berjalan engkau di atas sepiku
dan ku kan berpijak pada sepimu
ketika mentari tenggelam berpilu
tetap langkah kita kan selalu berpadu


-just like in Sex & the City, "Friendships never go out of style.." :)


(Chikita Rosemarie, April-16-2008)

Aku dan Kamu

kau mengeluh karena dia'ku yg lain
ku mengeluh karena dia'mu yg lain
engkau bertutur pada sepi
aku bertutur pada nyeri

sakit rasa menangkap marahmu
biarkan tangis yang enggan tersapu

bertutur ujar pada tanya
"tak bisakah kita jd teman biasa?"


-But come to think of it, 'jadi teman biasa' pun bukan jalan keluar yang akan menyenangkan kedua belah pihak, hahaha..


(Chikita Rosemarie, April-15-2008)

Review Sistem Politik Indonesia : Efisiensi Badan Eksekutif di Indonesia

Ini cuma review bahan bacaan unt mata kuliah sistem politik Indonesia, tp ada sedikit 'bumbu' analisisnya..


EFISIENSI BADAN EKSEKUTIF DI INDONESIA

Badan eksekutif merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif. Secara sempit, badan eksekutif terdiri dari kepala negara beserta menteri-menterinya. Dalam tafsiran tradisional Trias Politicas, badan eksekutif memiliki peranan melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Namun, dalam pelaksanaannya badan eksekutif justru memiliki ruang gerak yang lebih besar disesuaikan dengan sistem pemerintahan serta undang-undang yang berlaku. Khususnya, dalam konteks negara yang menganut sistem presidensial, badan eksekutif yang seringkali disamakan dengan “kepresidenan” cenderung memiliki kekuasaan yang dominan dan menentukan.

Indonesia, sebagai negara penganut sistem presidensial menetapkan presiden sebagai penentu agenda kebijaksanaan publik. Adapun, presiden dalam memegang kekuasaan eksekutif dibantu oleh wakil presiden dan anggota kabinet sebagai menteri-menteri. Keduanya memegang peranan sebagai pembantu presiden. Wakil presiden memiliki kewajiban yang sifatnya lebih ceremonial atau simbolik dan tidak memiliki peranan dalam pembentukan kebijaksanaan publik. Lain halnya dengan anggota kabinet atau menteri-menteri yang memiliki peran penting dalam pembentukan kebijakan nasional sesuai dengan bidangnya masing-masing. Anggota kabinet sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu menteri yang memiliki departemen dan menteri non-departemen. Keduanya memiliki peranan serta kapabilitas masing-masing.

Kekuasaan eksekutif di Indonesia seperti yang dijabarkan di atas bersumber dari konstitusi, oleh karena itu seharusnya tidak dapat diganggu gugat karena memiliki basis yang jelas. Namun, pada realitanya akhir-akhir ini, dapat dilihat adanya hal-hal yang membuat efisiensi serta kinerja dari badan eksekutif menjadi dipertanyakan. Hal-hal tersebut merupakan masalah-masalah yang secara jelas terlihat sebagai kelemahan kinerja badan eksekutif di negara kita dewasa ini. Pertama, kapabilitas simbolik presiden justru hampir dipegang penuh oleh wakil presiden, di mana hal itu menyebabkan adanya pandangan bahwa kedudukan presiden dibandingkan dengan wakil presiden menjadi inferior. Kedua, tidak terlihatnya kepemimpinan presiden yang kuat di area badan legislatif, di mana hal itu tidak sesuai dengan UUD’1945 hasil amandemen yang pada intinya menekankan pada kerja sama yang baik antara presiden dengan DPR. Ketiga, kurang tanggapnya kapabilitas regulatif serta responsif presiden terhadap distribusi sosial-ekonomi yang semestinya terangkum dalam proses kebijakan dan opini publik.

Ketiga masalah tersebut apabila dirangkum menjadi satu dapat ditarik menjadi suatu inti masalah. Inti dari masalah efisiensi yang dialami presiden selaku pimpinan eksekutif adalah : kurangnya terobosan dalam bentuk pendekatan-pendekatan yang tegas dan tepat sasaran (secara simple, biasa disebut ‘taktis’), baik dalam menghadapi koalisi, oposisi, maupun masyarakat sebagai obyek pemerintahannya. Inti masalah tersebut perlu ditanggulangi demi memaksimalkan badan eksekutif Indonesia yang sesuai dengan konstitusi-konstitusi yang ada serta demi mencapai keberhasilan jangka panjang yang diidam-idamkan.




Pertanyaan :
1. Seberapa besar peran birokrasi dalam mewujudkan ‘terobosan’ tersebut, dan apakah ‘terobosan’ tersebut justru dapat menimbulkan konflik kepentingan?
2. Apakah dengan mengesampingkan masalah tersebut sebagai perwujudan dari ‘teori relativisme’ dapat membuahkan hasil yang lebih baik, yaitu ‘tanpa konflik’?
3. Seberapa besar peran yang dapat diambil media massa sebagai sarana komunikasi serta sosialisasi politik dalam pembuatan ‘terobosan’ tersebut? Apakah peranan tersebut lebih bersifat negatif atau positif?




Wacana :
• http://forum-politisi.org/artikel/article.php?id=56
• Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2008)
• Gaffar, Afan. Politik Indonesia;Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999)



(Chikita Rosemarie, April 13-2008)

Unspoken

beyond this wall i can tell
there're you who always dwell
with this phone i might call
how i've been longing to fall
living in the shell, for you
my wishing well, for two
thus you're still running round
like a soul shall never be found
my efforts as my testament
while your heart will never meant
for God's sake! i adore
this wicked man, who ignore!


-for God's sake juga, entah knp gw lupa kapan gw nulis puisi ini, yg jls puisi ini ditulis ketika obyek yg dibicarakan sedang berada di luar kota untuk sebuah obligasi tertentu ;)


(Chikita Rosemarie, don't know when )

My New Notion About Beauty

well, i've just arrived in jakarta after a couple of days vacation @spore, sebenernya ada byk pengalaman menarik, cuma berhubung di sana gw ga bawa laptop, alhasil gw ga bs ngeblog, dan apa yg pgn gw tulis jadi luntur dimakan penyakit gw yg namanya 'short-term-memory-loss'.

jdnya, yg saat ini paling bs gw tulis adalah hal kecil yg terjadi ketika gw di pesawat tujuan spore-jakarta (changi-soekarnohatta).


first of all, i've been flying (by plane -for sure!) many times, tp gw ga pernah inget kalo gw pernah duduk di pinggir jendela untuk pesawat yg menuju jakarta. singkatnya, gw jarang bgt (or even ga pernah) duduk tepat di pinggir jendela dalam perjalanan pulang. kalaupun pernah, yaaa..brarti kebetulan aja pengalaman duduk di pinggir jendela yg td lebih berkesan, hehehe..

nah, balik ke duduk di pinggir jendela. kebetulan gw tipe" org yang suka bgt sama pemandangan malam alias city light, dan dengan posisi gw di pinggir jendela, alhasil ketika si garuda udah mau landing, otomatis gw berasa dapet kursi vip city light jakarta.. :)

and yes, it was beautiful..
gw inget gw sempet aga stunned selama semenit, dan akhirnya kk cw gw (Mba Anggi) yg kebetulan duduk persis di sebelah gw bilang..

(A) : "knp dek? city lights ya?"
(C) : "yap.."
(A) : (ikutan 'take a look')
"well, everything looks more beautiful when we see it from far away, basically when we don't see it clearly.."

kata" kk gw ini bikin gw jadi mikir..
memang, pada realitanya, pemandangan di bawah yg dr atas keliatan indah itu emang sebenarnya cuma bangunan-bangunan jakarta biasa, yg bahkan kebanyakan sebenarnya merupakan pemukiman kumuh. oleh karena itu, ketika dilihat dari atas, dalam kegelapan malam yg hanya disinari sinar lampu, yg terlihat justru jadi lebih indah. and i'm aware of that..

dan memang benar juga, sesuatu kadang jadi terlihat lebih indah ketika kita "dibutakan" olehnya.
contoh paling umum ; CINTA. (i believe i don't need to give more explanation bout this, hehehe..)

gw mikir dan mikir..

dan entah kenapa tiba" gw jd teringat sepotong lirik lagu :

"i can see clearly now the rain is gone..
i can see all obstacles in my way.."

lagu itu, walaupun liriknya sangat sederhana, dapat menyampaikan kepada kita betapa indahnya ketika seseorang dapat 'melihat dengan jelas' atau 'to see clearly', because (i believe) we can only derive our rationality and positivity when we see something clearly..

dan sperti yg kita semua tau, lanjutan dari liriknya adalah seperti ini :

"gone are the dark clouds that had me blind
it’s gonna be a bright bright sun-shiny day..."


sun.. sun.. shiny.. shine.. LIGHT.. yep, LIGHT.

to see clearly, we need light.. sekecil apapun cahaya tersebut, at least bisa sedikit banyak membantu penglihatan kita.. dan membantu kita mengembangkan rasionalitas serta positivisme dalam melihat keindahan dari segala sesuatu..


"when there's light, there's life, and when there's life, there will always be HOPE.. and it does make things beautiful.."


dari situlah, gw mendapatkan suatu konsep mengenai keindahan (beauty).

menurut gw, keindahan (beauty) itu dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :


1. FAKE BEAUTY (Keindahan Semu)

keindahan seperti ini terjadi ketika kita dibutakan oleh sesuatu, di mana rasionalitas kita tidak dapat berjalan, dan yang menjadikannya indah justru karena kita membuat image sendiri mengenai apa yang ideal, atau apa yang indah.
dalam prakteknya, seseorang menjadi utopis, hidup dalam angan-angan, dan euforia seperti itu justru disalahartikan sebagai keindahan. oleh karena itulah dikatakan semu (fake), karena apa yang kita lihat indah sebenarnya adalah angan-angan kita sendiri.


2. AUTHENTIC BEAUTY (Keindahan Otentik)

keindahan yang nyata, di mana kita memiliki pengetahuan, sekecil apapun itu mengenai apa yang kita lihat. pengetahuan tersebut menentukan penilaian kita terhadap indah atau tidaknya sesuatu.


-nah, mungkin mulai sekarang kita bisa mulai mencoba mengkritisi. ketika kita memuji keindahan dari sesuatu, keindahan yang kita lihat itu semu (fake) atau otentik (authentic) :)


(Chikita Rosemarie, April 7-2008)

To Be a Good Thinker

A good friend of mine yang kebetulan punya blog juga pernah menyatakan ini dalam postingan blognya yang terakhir,


"Ketika manusia lain bisa kehabisan kata untuk menjelaskan sesuatu yang besar, 'mereka' dengan enaknya tinggal menjelaskan hal besar itu dengan kata-kata sesimpel mungkin!"


Dalam postingannya tersebut, kata 'mereka' menunjuk pada pemikir-pemikir yahud yang menciptakan konsep-konsep yang kita kenal selama ini (dalam postingannya, temen gw ini sedang membicarakan Karl Popper).

Hal ini mengingatkan gw lagi kepada another good friend of mine, yang kebetulan 2 tahun lebih tua di atas gw, di mana dia udah dapet kuliah dari yang namanya Mba Eri Seda, dosen sosiologi UI juga. Temen gw yang 1 ini cerita, ketika dia dapet tugas translate bahan berbahasa inggris dari Mba Eri, beliau selalu menekankan mahasiswa-mahasiswanya untuk menggunakan tata bahasa sederhana, karena "semakin simpel tata bahasanya, semakin ia mengerti akan materi yang ia kaji.."

misalnya ketika kita mentranslate "to determine..", orang akan cenderung menuliskan "untuk mendeterminasi.." dan bukan "untuk menentukan..", atau phrase-phrase lain yang disesuaikan dengan konteks bahasan serta gaya bahasanya sendiri-sendiri.

sehubungan dengan itu, gw akhirnya jadi mikir.. bahwa keyakinan mereka (para pencetus konsep) terhadap hasil pemikiran mereka itu pastinya beyond belief alias ketika mereka mencetuskan konsep-konsep tersebut, mereka benar-benar yakin akan reliability dari pemikiran mereka sendiri.

karena itulah, menurut gw,

daya eksplanatori (explanatory power) yang dimaksud Karl Popper itu berasal dari keyakinan para pencetus konsep, dan probabilitas kekeliruan dapat dikaji ketika konsep tersebut dipublikasikan. dan kalau dipikir-pikir lagi, dibutuhkan kepercayaan diri dan keyakinan yang kuat untuk mempublikasikan suatu konsep hasil pemikiran,

apabila dilihat dari pernyataan gw di atas, berarti sebenarnya benar apa kata Popper, siapapun bisa saja menciptakan suatu konsep maupun teori mengenai apapun, karena toh pada akhirnya yang dicari hanyalah interesting truth. Popper sendiri pun pernah menyatakan, bahwa manusia itu bukan achieving atau mencari kebenaran melainkan approaching atau mendekati kebenaran (truth) itu sendiri. karena pada dasarnya konsep mengenai kebenaran itu sendiri merupakan konsep yang masih fluktuatif alias ga jelas.

dalam ilmu pengetahuan (science) yang diperlukan bukanlah kebenaran, melainkan pencarian dari kebenaran itu sendiri (the critical quest of truth). dan, untuk mewujudkan hal tersebut, yang diperlukan adalah :

1. Critical Thinking atau daya kritisasi akan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita.
2. High degree of confidence and faith in one's thought and opinion

kedua hal itu harus ada, berbanding lurus, dan bahkan harus saling melengkapi.

Selain itu, sebagai poin ke-3, dan sebagai modal untuk melengkapi kedua hal tersebut,

3. Kebesaran Hati (a noble heart) dalam menghadapi kritik serta dalam mewujudkan pemikiran tersebut demi kepentingan bersama, atau kerennya for greater goods..


selanjutnya, yang harus dipertanyakan ya tinggal "Are you ready to be a good thinker?"

well, mungkin ya ga sesimpel itu juga, but it's worth to try, rite?? :)


(Chikita Rosemarie, April-1-2008)

Religiusitas Non-Humanistik "Analisis Konflik Antar-Agama di Indonesia"

well, ini paper tugas uts buat mata kuliah filsos (filsafat ilmu sosial). i guess it's quite interesting to read.. ;)
btw, krn gwnya gaptek, gw ga ngerti cr bikin footnote, fyi data" gw ambil dr wacana" yg tertulis di bwh..


RELIGIUSITAS NON-HUMANISTIK
Analisis Konflik Antar-Agama di Indonesia

Oleh : Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie
Sosiologi UI 2007

Indonesia merupakan sebuah negara dengan kompleksitas masyarakat yang tinggi. Menurut data terakhir tahun 2000, yang surveinya dilakukan terhadap 201.241.999 responden; BPS memperkirakan bahwa sensus tersebut tidak diikuti oleh 4,6 juta orang. Menurut laporan BPS, 88,22 persen jumlah penduduk mengaku sebagai Muslim, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Kristen Katholik, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen Budha, dan 0,2 persen "lain-lain", termasuk agama-agama tradisional, kelompok Kristen lainnya, dan Yahudi. Komposisi agama di negara ini tetap merupakan isu yang bermuatan politis, dan sebagian pemeluk agama Kristen, Hindu, dan kepercayaan minoritas lain berpendapat bahwa laporan sensus tersebut sengaja mengurangi jumlah penduduk non-Muslim yang sebenarnya . Di luar dari anggapan “pengurangan jumlah kaum minoritas”, data tersebut dapat menunjukkan kepada kita kompleksitas masyarakat Indonesia dilihat dari segi agama. Dapat dibayangkan, berbagai komunitas yang berbeda, yang memiliki kemajemukan sendiri-sendiri, latar belakang histories tertentu, serta jumlah komunal yang berbeda-beda yang dapat berkembang menjadi isu mayoritas-minoritas. Hal tersebut menjadikan Indonesia rentan akan konflik bernuansa agama, di luar dari isu sosial-ekonomi dan politik yang biasanya menjadi “isi” sebenarnya dari konflik yang di”bungkus” dengan agama.

Berbagai konflik dengan “bungkus” agama telah terjadi di Indonesia, dan yang terbesar terjadi di Provinsi Maluku, khususnya di Ambon yang sejak 19 Januari 1999 sampai Desember 2000 tercatat 8.000 sampai 9.000 orang dan 700.000 orang lainnya hingga kini masih hidup terlunta-lunta menjadi pengungsi di negerinya sendiri . Konflik-konflik tersebut, selain memakan korban jiwa, juga mengakibatkan instabilitas politik serta munculnya masalah-masalah sosial lainnya.

Besarnya dampak negatif dari konflik antar-agama membuat banyak orang geleng kepala, apalagi mengingat bahwa isu sebenarnya dari konflik-konflik tersebut adalah bukan agama. Agama pada akhirnya hanya dijadikan “alasan” dan “motivasi” berkonflik, serta digunakan untuk mengumpulkan massa. Padahal, tak dapat dipungkiri inti dari ajaran manapun adalah cinta kasih, di mana hal tersebut sangat berlawanan dengan budaya kekerasan. Oleh karena itu, yang jadi pertanyaan adalah, “Di mana peran religiusitas dalam terjadinya konflik antar-agama?”, “Bukankah religiusitas justru dapat baik menanggulangi maupun mencegah terjadinya konflik?”. Kedua pertanyaan tersebut apabila dikritisi lebih lanjut akan berujung pada pertanyaan baru, yakni “Religiusitas macam apakah?”.

Jawabannya adalah “Religiusitas Non-Humanistik”. Religiusitas Non-Humanistik sendiri didefinisikan sebagai suatu keyakinan kuat akan kepercayaan (religi/agama) yang diwujudkan hanya dengan interaksi vertikal (manusia dengan Allah) dan melupakan interaksi horizontal (manusia dengan manusia). Hal ini berujung pada perspektif yang sempit akan agama itu sendiri, di mana hal tersebut seakan menjadi kayu kering yang mudah dibakar api provokasi.

Religiusitas dapat menjadi “non-humanistik” apabila para pemeluk agamanya memiliki tingkat pendidikan rendah, di mana hal itu membawa mereka kearah tingkat kesadaran makro-sosial yang rendah pula. Masyarakat dengan pendidikan rendah cenderung bergerak dalam kelompok kecil yang dilandasi dengan collective conciousness (kesadaran kolektif) tertentu. Mereka tidak memiliki pandangan kritis, dan hanya “go with the flow” dengan kelompoknya. Sikap-sikap yang muncul adalah sikap primordialisme, di mana mereka hanya membawa identitas kelompoknya masing-masing. Perspektif-perspektif makro seperti humanisme dan pluralisme belum dapat mereka pahami. Oleh karena itulah, ketika agama terakulturasi secara kultural, timbulah budaya kekerasan kolektif yang diselimuti oleh agama, “Religiusitas Non-Humanistik”. Hal itulah yang terjadi di Indonesia yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dan hal itu pulalah yang menjadikan dialog antar-umat beragama di Indonesia menjadi tidak efektif. Padahal, dalam konflik antar-agama, yang paling diperlukan dalam proses rekonsiliasi adalah dialog.

Pada dasarnya, dalam kehidupan bernegara, peran pemerintah sangatlah besar dalam mewujudkan dialog antar-umat beragama tersebut. Pemerintah, sebagai pemegang fungsi kontrol sosial sebaiknya memfokuskan diri kepada kondisi makro yang meliputi pendidikan, ekonomi, rule of law, desentralisasi, dan demokrasi. Pendidikan sebagai pembukaan wawasan, khususnya bagi masyarakat-masyarakat yang seringkali tereksklusi dari fasilitas pendidikan yang memadai. Ekonomi, yang seringkali dikaitkan dengan masalah “kesejahteraan” menjadi isu utama dalam setiap konflik yang mencuat di Indonesia. Rule of law atau hukum, yang mengatur kehidupan bermasyarakat, yang dengan dimensi fleksibilitasnya dibangun kembali dengan lebih memperhatikan hukum adat. Lalu desentralisasi dan demokrasi sebagai sarana untuk distribusi sosial dari ketiga hal tersebut (pendidikan, ekonomi, dan hukum).

Hal-hal tersebut di atas perlu diwujudkan demi mensukseskan dialog antar agama yang baik, yang memperhatikan unsur-unsur humanisme. Dari situlah, akan tercipta pandangan umum bahwa inti dari setiap agama selalu mengandung nilai-nilai substansial dengan corak yang universal, dan bahwa perbedaan dari tiap-tiap agama lebih mengacu pada unsur dogmatis. Dari situ pulalah akan muncul sikap toleransi dan saling menghormati antar-umat beragama, yang akan mendukung masyarakat pluralis yang terkoeksistensi dan menghasilkan hasil tanpa konflik. Walaupun untuk mencapainya akan diperlukan waktu yang lama karena adanya kompleksitas. Kerjasama dari pemerintah, lembaga-lembaga serta organisasi sosial, para pemimpin agama, serta para pemeluk agama suatu hari diharapkan akan membantu membawa bangsa Indonesia ke arah “Religiusitas Humanistik”, di mana akan membawa kita kepada integrasi, baik secara struktural maupun kultural.


Wacana :
1. Konflik Komunal di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta.
2. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita, Sultan Hamengku Buwono X.
3. http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan%20kebebasan%20beragama%202005-1.html
4. http-//www.geocities.com/baguala67/kompas100901a.htm
5. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/16/0062.html


(Chikita Rosemarie, March-26-2008)

Rumput Liar dan Tanaman

cinta yang bertepuk sebelah tangan itu bagai rumput liar
ia tidak diinginkan, namun tak rela bila dilepaskan
ia bersarang pada kepicikan,
namun akarnya tumbuh di atas tulusnya keinginan mencinta..

dengan liar ia kan menjalar,
mencari energi bagi cinta butanya
harap demi harap terlepas,
dan ia tetap ada..

ya,
ia kan terus ada..
karena sebuta-butanya cinta,
ia tetaplah cinta..

cinta yang tak goyah dihadang badai
cinta yang terus tumbuh walau dihujam pisau parit..

karenanya,
dibutuhkan keberanian untuk melepas cinta tersebut
keberanian mencabut cintanya sendiri,
sepenuhnya, dari batang hingga akar..

ya, dari batang hingga akar
tanpa ampun, cabutlah cintamu!

cabutlah, dan biarkanlah tanahmu berlubang sedalam-dalamnya..
biarkanlah ia dialiri air hujan dan diendapi mulai dari sesal, rindu, dan harap..

tunggulah hingga mengeras, dan timbulah tanah baru..

tanah yang murni, dengan berbagai mineralnya..
hamparan lugu yang siap ditanami cinta yang sebenarnya..
yang benar kan berbuah,
berbuah, dan bertambah besar..
seiring dengan pergantian musim, dan kerasnya hantaman cuaca..

karena ia bersarang bukan hanya pada lindungan cinta
namun tumbuh dan berakar di atas kepastian..


(Chikita Rosemarie, Mar-22-2008)