Tuesday, April 21, 2009

21 April 130 Tahun yang lalu..



"Lewat Malam sampailah Siang
Lewat Badai sampailah Reda
Lewat Perang sampailah Menang
Lewat Duka sampailah Suka."
-R.A.Kartini-
('Kartini, Sebuah Biografi' - Sitisoemandari)


*Selamat Hari Kartini*

nb: mohon maaf belum ada artikelnya, sedang ada obligasi lain jadinya kegiatan tulis-menulis vakum dulu :)

Saturday, April 18, 2009

State Nationalism di Inggris (United Kingdom) dengan di Indonesia

-ini juga paper yang saya buat untuk ujian tengah semester 'Hubungan antar Etnik', mudah"an (juga) menarik untuk dibaca, dan jangan tanya kenapa dalam 1 mata kuliah ada 2 tugas x(


 Dalam konsep nasionalisme yang dirumuskan oleh Gellner, United Kingdom (UK) merupakan salah satu contoh dari konsep official nationalism atau state nationalism, di mana nasionalisme terbentuk dikarenakan oleh keberadaan negara. Budaya nasional dipergunakan sebagai alat pemersatu, di mana dalam hal ini adalah British Culture.

Secara historis, keempat negara yang tergabung dalam United Kingdom tersebut dahulu kala merupakan tiga kerajaan yang berbeda, yaitu The Kingdom of England (yang di dalamnya terdapat Wales) dan The Kingdom of Scotland yang membentuk ‘The Kingdom of Great Britain’, di mana akhirnya seabad kemudian bergabung pula The Kingdom of Ireland di dalamnya.

  The Kingdom of Great Britain atau Britania Raya yang sekarang lebih dikenal sebagai United Kingdom (UK) ini merupakan suatu negara kesatuan dengan bentuk Monarki Konstutisional, di mana juga memiliki 15 negara persemakmuran (commonwealth), dengan Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan bersama parlemennya yang disebut House of Commons dan House of Lords, dengan pusat pemerintahan di Istana Westminster (London, Inggris).

Dengan adanya faktor-faktor tersebut, United Kingdom menjadi sebuah negara dengan diversitas yang cukup tinggi, di mana seperti dijabarkan James Kellas, yaitu bahwa suatu bentuk nasionalisme (dalam hal ini, official/state nationalism) dapat memberikan dampak-dampak tertentu bagi sektor politik, ekonomi, maupun budaya.

Dalam ranah politik, Kellas menyebutkan bahwa faktor yang secara dominan berperan di dalamnya adalah power (kekuasaan) yang bentuknya adalah otoritas, di mana menyebabkan adanya suatu bentuk kompetisi. Secara keseluruhan, kekuasaan menjadi hal yang berusaha didapatkan oleh tiap-tiap kelompok supaya kelompok tersebut dapat menjadi kelompok dominan. Dari situlah tercipta suatu kompetisi dari tiap-tiap kelompok etnik untuk saling mendominasi satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, politik diharapkan dapat menjadi alat dalam bentuk kebijakan untuk mengintegrasi perbedaan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di United Kingdom sendiri, bentuk pemerintahannya adalah parlementer yang berpusat di Westminster Palace (London, Inggris). Namun yang patut diperhatikan adalah, bahwa baik Irlandia Utara, Skotlandia, maupu Wales memiliki pemerintahan eksekutif sendiri, berbeda dengan Inggris yang seluruhnya terpusat pada British Parliament. Dari seluruh parlemen non-british yang ada, parlemen Skotlandialah yang memiliki kekuatan paling besar, bentuk kompetisi terjadi ketika mereka berhasil merumuskan pro-independence SNP yang membentuk suatu pemerintahan minoritas dengan Alex Salmond yang menjadi perdana menteri Skotlandia pertama  pada tahun 2007. Hingga kini, masih terdapat adanya power-bargaining antara parlemen Skotlandia dengan British Parliament sendiri.

Dalam perihal ekonomi, Kellas menyebutkan adanya hubungan yang tercipta melalui kepentingan material tiap-tiap individu, kongsi dagang, kelas-kelas tertentu, dan lain-lain. Bahwa hubungan yang terbentuk antara nasionalisme dengan tahapan perkembangan ekonomi akan memicu munculnya suatu bentukan negara industri modern atau negara kapitalis, di mana konflik dapat terjadi apabila negara memberikan kekuasaan dalam bidang ekonomi kepada salah satu kelompok etnik tertentu ataupun kelompok etnik tertentu. Namun sebaliknya, yang terjadi di United Kingdom tidaklah demikian. United Kingdom membagi daerah-daerah berdasarkan komoditinya, di mana berpusat di kota London yang juga merupakan salah pusat finansial terbesar di dunia selain Tokyo dan New York. Negara ikut mengatur jalannya perekonomian dengan adanya Chancellor of Exchenquer dan bank negara, yakni The Bank of England.

Kellas juga menyebutkan bahwa tanpa adannya kultur nasional, nasionalisme tidak akan terbentuk, di mana kultur memiliki porsi tersendiri dalam pembentukan nasionalisme itu sendiri. Sebuah kultur bisa berupa kosmopolitan, tetapi banyak atributnya adalah nasional. Tanpa adannya kultur nasional maka tidak akan ada nasionalisme, maka bisa di katakan bahwa nasionalisme akan terbentuk dengan berdasarkan motif politik, ekonomi dan kultur, dan maka dari itu, kultur memiliki takaran yang khusus di dalam pembentukan nation. Seperti yang terjadi di United Kingdom, kultur yang terbentuk merupakan hasil dari faktor sejarah, geografis, kepemerintahan monarki (kerajaan Inggris), hasil masa imperialisme, serta kesatuan politik keempat nation.

Pada masa ini, pencarian identitas menyebabkan meningkatnya nasionalisme etnik dan sosial, kemudian juga terjadi ambiguitas karena seiring itu juga terjadi peningkatan terhadap official nationalism dan kosmopolitanisme. Hal ini di jjelaskan gellner sebagai pengaruh dari negara industri di dalam hubungannya dengan pembentukan nasionalisme. Negara mendominasi ekonomi lokal dan regional, juga identitias dari negara, kultur dari negara dan nasionalisme offisial akan mendominasi identitas etnis dan sosial, budaya, dan nasionalismenya. Kemudian ethnonasionalisme dan sosial muncul sebagai oposisi terhadap nasionalisme negara ataupun kosmopolitanisme dan menggambarkan organisasi kultural yang melindungi bahasa, seni, studi historis, dan lai-lain sebagai kultur dari etnik tertentu ataupun social nation.

Hal yang terjadi di United Kingdom dapat dikatakan kurang lebih sama dengan yang terjadi di Indonesia. Indonesia, secara historis memiliki sejarah yang panjang dimulai dari jaman kerajaan, penjajahan, hingga kemerdakaan, di mana pada akhirnya membentuk suatu kesatuan sosial-politik seperti sekarang. Indonesia yang bahkan memiliki diversitas yang lebih besar dari United Kingdom juga selalu mengalami instabilitas dalam ketiga ranah (politik, ekonomi, kultur) tersebut. Dalam ranah politik, mulai dari struktur pemerintahan yang sentralisasi maupun desentralisasi. Dalam ranah ekonomi, krisis ekonomi, ketimpangan ekonomi di daerah yang satu dengan yang lain, antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain. Sedangkan dalam ranah kultur, Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya masih cenderung untuk ‘Jawa-sentris’, baik dalam hal kultur itu sendiri, maupun dalam memasuki ranah sosial-politik.

Adanya diversitas dalam suatu negara memang dapat mengancam stabilitas dari negara itu sendiri. Diversitas membawa pemaknaan serta pemahaman yang berbeda dalam setiap komponen yang berbeda, di mana dalam hal ini diperlukan yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut sebagai ‘Revitalisasi Nasionalisme’. Revitalisasi Nasionalisme sendiri menunjuk pada dua hal pokok, yakni: (1) adanya musuh bersama, yang pada jaman modern ini berupa KKN, kebodohan, serta kemiskinan, dan (2) tujuan bersama, yakni kemakmuran negara secara luas. Kedua hal tersebut sebaiknya dapat dikonstruksikan melalui negara, yang dalam hal ini memiliki fungsi sebagai sarana integrasi.

RIMBA sama dengan RUMAH atau RIMBA tidak sama dengan RUMAH?

-ini adalah tulisan yang saya buat untuk tugas ujian tengah semester 'Hubungan antar Etnik' mengenai Suku Anak Dalam di daerah Jambi, mudah"an cukup menarik untuk dibaca :)


RIMBA sama dengan RUMAH 

atau

 RIMBA tidak sama dengan RUMAH?

Ujian Tengah Semester “Hubungan Antar Etnik’

Oleh: Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie



 

Sumatera, sebagai salah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia luas area 24,7% dari seluruh luas negara Indonesia. Dari segi kependudukan, sesuai dengan luas areanya, pada pengumpulan data BPS tahun 2005, dapat dilihat bahwa pulau Sumatera menempati urutan kedua sebagai pilihan tempat tinggal bagi sebagian besar penduduk, yakni 21% dari keseluruhan penduduk Indonesia (yang pertama adalah pulau Jawa dan Madura yang memang merupakan pulau terpadat)[1]. Melalui penjabaran tersebut, dapat dilihat pula bahwa pulau Sumatera juga memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu potensi demografis, khususnya dalam hal kependudukan.

Pulau Sumatera sendiri memiliki 10 provinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka-Belitung, dan Kepulauan Riau. Kesepuluh provinsi ini, walaupun berada dalam ranah pulau yang sama, namun memiliki tingkat keberagaman yang sangat tinggi, di mana hampir tiap-tiap provinsi memiliki suku-bangsa sendiri, mulai dari suku-bangsa Minang hingga Mentawai, Batak hingga Aceh. Sehubungan dengan itu, salah satu provinsi yang juga memiliki berbagai suku bangsa adalah provinsi Jambi.

Jambi adalah propinsi propinsi dengan jumlah penduduk 2.698.667 jiwa yang didalamnya terdiri dari banyak suku[2], antara lain Suku Anak Dalam atau Suku Kubu, Suku Kerinci, dan Suku Melayu Jambi, dan dewasa ini, Suku Anak Dalam atau yang sering disebut sebagai Suku Kubu ini menjadi pembicaraan oleh berbagai kalangan, baik akademisi maupun masyarakat secara umum dikarenakan oleh seringnya mereka diliput oleh berbagai media.

Suku Anak Dalam sendiri secara internal mendefinisikan diri mereka sebagai suatu kelompok etnik yang memiliki keunikan dan berbeda dengan kelompok yang lain, terlihat dari adanya pengakuan akan identitas bersama serta pemaknaan tertentu terhadap kesukuan mereka ketika mereka menolak disebut sebagai ‘Suku Kubu’ karena menganggap kata ‘Kubu’ memiliki makna yang negatif. Mereka memilih untuk disebut sebagai ‘Orang Rimba’ karena mereka menganggap rimba atau hutan sebagai rumah mereka, di mana hidup mereka memang sangat tergantung pada hutan.

Selain itu, sebagai suatu kelompok etnik, mereka juga mendapatkan pengakuan dari luar kelompok tersebut serta negara akan keberadaan mereka. Dari penjabaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kelompok suku anak dalam adalah sebuah kelompok etnis. Hal ini juga sesuai dengan definisi Lake & Rothchild (1998), di mana etnisitas diartikan sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri fisik, persamaan sejarah, tali temali persaudaraan, daerah atau budaya, kelompok etnik pada dasarnya memiliki kepercayaan yang sama dan akhirnya menjadi suatu hal yang biasa atau dengan kata lain terkonstruksi menjadi budaya mereka.

            Populasi suku Kubu saat ini sekitar 150.000 orang[3], terbilang cukup besar untuk suatu komunitas. Namun, patut disayangkan bahwa kelompok ini harus dapat menerima kenyataan bahwa hutan yang menjadi tempat bernaung mereka semakin hari semakin berkurang. Orang rimba sendiri sebenarnya bermukim di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, namun wilayah tersebut masih belum dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari kelompok dengan jumlah sebesar orang rimba, mereka memerlukan wilayah jelajah yang lebih luas demi mencari makanan serta kebutuhan hidup sehari-hari.

            Wilayah jelajah inilah yang semakin hari semakin menipis, hingga kini, tinggal hutan Orang Rimba di sebelah barat Jambi saja, yang merupakan hulu sungai di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, seluas 390.730 hektar. Kawasan tersebut kini juga dalam ancaman terdegradasi dan terfragmentasi akibat tingginya aktivitas pembalakan dan perambahan[4]. Sedangkan 2,3 juta hektar hutan lainnya telah dimanfaatkan untuk fungsi ekonomis antara lain 1,5 juta hektar untuk 16 HPH, 298.955 hektar untuk areal permukiman transmigran, 166.332 hektar perkebunan sawit, dan 318.648 hutan tanaman industri akasia dan ecalyptus[5].

Dapat dikatakan bahwa faktor industri membawa dampak yang cukup besar bagi orang rimba, mengingat kawasan hutan yang mereka tempati ternyata menjadi salah satu kawasan komoditi kayu, maupun perkebunan kelapa sawit. Hal ini mengakibatkan orang rimba menjadi semakin termarginalisasi. Tumenggung Kitab, sebagai salah seorang pemimpin suku anak dalam di Kabupaten Tebo, mengaku terpaksa keluar hutan dan tinggal di sekitar kebun-kebun sawit di Kabupaten Sarolangun.

 

"Kami terpaksa mengais-ngais makanan tersisa di tempat sampah. Kalau beruntung, kami bisa dapat babi atau labi-labi untuk dijual ke tauke (pedagang pengumpul),"[6]

 

            Eksistensi orang rimba dalam ‘rimba’nya masih dapat dipertahankan dengan adanya bantuan dari berbagai pihak yang berinteraksi dengan mereka, antara lain masyarakat desa di sekitar kawasan tempat tinggal orang rimba yang menyebut Orang Rimba sebagai sanak, yang memiliki arti harfiah ‘saudara’. NGO juga mulai banyak turun lapangan dan berinteraksi dengan orang rimba ini, seperti Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang sejak 1998 masuk ke dalam hutan untuk memberikan program bantuan agar keberadaan Orang Rimba tetap terjaga.

            Selain berinteraksi dengan orang rimba, pihak KKI juga berusaha menaikkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) demi perkembangan orang rimba dengan berbagai bantuan yang diberikan, antara lain: (1) bidang kesehatan, sehubungan dengan tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, serta adanya kerentanan orang rimba terhadap penyakit, KKI menurunkan fasilitator kesehatan yang disebut lokoter, membantu mereka dengan memperkenalkan pengobatan maupun sarana kesehatan modern seperti puskesmas dengan disesuaikan dengan adat orang rimba sendiri, dan (2) bidang pendidikan, KKI melakukan program BTH (baca-tulis-hitung), di mana KKI berperan sebagai guru atau fasilitator kepada anak-anak orang rimba yang menjadi obyek dari program BTH ini, di mana pada akhirnya menghasilkan buku dongeng dengan judul  ‘Kisah-kisah Anak Rimba’ yang isinya juga merupakan dongeng-dongeng yang diwariskan oleh orang rimba secara turun temurun.

Dari situlah dapat dilihat terdapat hubungan asimilasi antara orang rimba dengan masyarakat sekitarnya, dan dengan KKI, dimana pola hubungan yang terjadi bersifat konstruktivis, yaitu terdapat adanya perbedaan namun tidak berkonflik. Hal ini dikonstruksikan juga secara historis dalam tradisi orang rimba sendiri, di mana orang rimba merupakan suku yang tergolong defensive dan tidak terbiasa melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan haknya. Apalagi jika pihak luar tersebut masuk ke wilayah mereka dengan membawa surat bahwa mereka mendapat izin dari pemerintah, sangat dipastikan mereka akan diam saja. Hal tersebut karena mereka belum mengenal baca tulis dan yang terpenting adanya budaya mereka yang menyebutkan halom sekato rajo atau alam diatur oleh pemerintah[7].

Namun, adanya interaksi dengan pihak luar dapat juga menjadi sebuah permasalahan baru. Salah satunya adalah yang terjadi ketika ketika Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf menawarkan sekitar 80 rumah kepada mereka, reaksi pun bermacam-macam[8], sebagian besar pun menolak. Hal ini diakibatkan oleh adat orang rimba, di mana mereka mempercayai bahwa atap (seng dan genteng) dapat menghalangi Dewa untuk datang. Namun, terdapat sebagian kecil dari masyarakat yang sedikit lebih modern lagi, bahkan secara terus terang memilih menerima rumah. Mereka adalah komunitas suku anak dalam yang dipimpin oleh Temenggung Majit yang sudah mengenal agama modern[9], jumlah mereka kira-kira ada 60 orang, selain itu juga terdapat beberapa Tumenggung lain yang sudah dapat menerima modernisasi. Saifullah Yusuf seusai melakukan peletakan batu pertama di kawasan pembangunan perumahan bagi Suku Anak Dalam, menjelaskan ada semangat yang nyata dari Suku Anak Dalam untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak.

 

“Sekarang kami mencoba mencari model-model pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kultur mereka, misalnya dengan sekolah berasrama. Jalan yang cukup agar mereka memperoleh akses yang mudah sehingga ongkos produksi menurun.”[10]

 

Melalui wacana di atas, dapat dilihat pula adanya permasalahan di mana kebudayaan orang rimba terancam sedikit demi sedikit terbawa oleh arus modernisasi, di mana dalam hal ini yang terjadi adalah akulturasi, yaitu penciptaan budaya baru yang dapat mengakibatkan menghilangnya budaya asli orang rimba. Pola hubungan yang tercipta masih bersifat konstruktivis, yakni tanpa konflik.

            Adanya berbagai interaksi yang terjadi antara berbagai aktor, yang dalam hal ini adalah orang rimba, perusahaan, pemerintah, NGO, serta masyarakat sekitar menimbulkan berbagai dampak, di mana beberapa diantaranya memiliki potensi dalam menyebabkan konflik. Hal ini sesuai dengan konsep Daniel L. Byman mengenai penyebab konflik, yakni: (1) perlindungan status, (2) ambisi hegemoni, (3) aspirasi kaum elit, dan (5) dilema keamanan, di mana dalam kasus orang rimba, terdapat berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang sewaktu-waktu dapat bertabrakan (clash). Namun patut diperhatikan pula bahwa dimensi konflik dapat negatif maupun positif, serta dapat berupa konflik sosial, kekerasan, maupun sekedar kompetisi.

            Konflik sendiri dapat diantisipasi serta ditangani dengan upaya-upaya penganganan konflik, di mana dalam kasus orang rimba yang belum berbentuk konlik kekerasan, stabilitas masih dapat dijaga dengan mempertahankan interaksi yang bersifat konstruktivis tersebut dengan saling menghargai kepentingan antar kelompok. Patut diingat pula, bahwa orang rimba merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli yang termasuk sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman budaya Indonesia, di mana sudah sepatutnya untuk dilestarikan, dan sebagai suatu komunitas, dijaga keberlangsungan serta kesejahteraan hidupnya. Hal ini dapat terlaksana apabila setiap aktor dalam struktur masyarakat mau dan mampu bekerjasama dalam menciptakan relasi yang seimbang dan positif dalam batasan-batasan tertentu, sehingga baik ketika rimba menjadi rumah bagi orang rimba maupun tidak lagi menjadi rumah bagi orang rimba, keharmonisan tetap dapat terjaga.

 

 

 

Daftar Pustaka


  • Bahan Perkuliahan oleh Daisy Indira Yasmine Etnisitas HAK SAP 2, Februari 2009
  • Yurnaldi, Dari Hutan, Anak Rimba Membuat Buku Dongeng, Kompas, Sabtu 14 Maret 2009

 

 

Bahan Internet

 

http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,1110/Itemid,165/

 

http://depdagri.go.id/konten.php?nama=DataWilayah&op=download&id=7

 

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=55

 

http://www.geografiana.com/makalah/sosial/orang-rimba

 

http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/10/suku-anak-dalam-kian-terdesak-bagus.html

 

http://regional.kompas.com/read/xml/2008/12/11/15542967/23.juta.hektar.lahan.suku.anak.dalam.ludes

 

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/18/sh04.html

 



[1] http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,1110/Itemid,165/

[3] http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/10/suku-anak-dalam-kian-terdesak-bagus.html

[4] http://regional.kompas.com/read/xml/2008/12/11/15542967/23.juta.hektar.lahan.suku.anak.dalam.ludes

[5] ibid

[6] ibid

[9] ibid

[10] ibid



Monday, April 13, 2009

Mau Paskah yang Ramah Lingkungan?


-ini adalah artikel yang saya buat untuk Newsletter Lantan Bentala ed.55 yang bertemakan 'Paskah', seperti biasa, yang saya muat di sini adalah versi yang belum diedit. Selamat membaca :)

Pembicaraan mengenai Hari Raya Paskah tidak pernah lepas dari pembicaraan mengenai perayaan Paskah itu sendiri. Adapun, perayaan paskah selalu identik dengan berbagai atribut, antara lain adalah ornamen kelinci, coklat, permen, serta telur paskah. Di Indonesia sendiri, salah satu tradisi paskah yang paling terkenal ialah ‘Telur Paskah’. Kita semua tahu bahwa telur paskah merupakan telur rebus biasa yang dihias dengan berbagai macam teknik, dan satu teknik menghias telur paskah yang paling sering digunakan masyarakat luas adalah dengan melukis telur rebus tersebut dengan cat. Ornamen cat lukis warna-warni yang menghias telur paskah kita pastilah menarik perhatian bagi saudara-saudari kita yang masih kecil, dan mereka pun akan semakin bersemangat dalam lomba pencarian telur paskah.

Adapun, dalam menyenangkan si kecil, kita pun patut berhati-hati. Bagaimanapun juga, cat-cat yang beredar di pasaran merupakan bahan kimia, yang tentunya berbahaya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena telur-telur paskah yang akan kita makan nantinya akan dihias dengan bahan-bahan yang belum tentu aman bagi lingkungan maupun tubuh kita.

Di tengah pemikiran tersebut, saya mendapatkan tips-tips unik dari website NatureMomsBlog, di mana di sana dimuat sebuah artikel yang sangat menarik tentang ‘Eco-Friendly Easter’. Sehubungan dengan penghiasan telur paskah, NatureMomsBlog memberikan tips menarik, yakni : “menggunakan wool sebagai pengganti cat”. 

Ide tersebut sangatlah menarik, karena kita masih tetap membawa kemeriahan paskah dalam semarak warna-warni wool (saat ini, benang wool yang dijual di pasaran ada dalam berbagai warna). Kita pun dapat lebih bebas berkreasi, di mana tidak hanya ‘mentok’ pada bahan ‘wool’, tetapi mencoba juga pada bahan-bahan serupa seperti kain flannel, pita, dan lain-lain.

Namun, yang paling penting dari ornamen alternatif ini adalah bahwa bahan-bahan tersebut lebih ramah lingkungan, di mana bahan-bahan tersebut memiliki renewable value (bisa digunakan lagi), tidak menghasilkan limbah sebanyak cat/pewarna kimia, serta lebih aman bagi kesehatan kita.

Jangan sampai upaya kita dalam berbagi kasih pada perayaan paskah justru merugikan., dan oleh sebab itu, saya rasa tips ini sangat baik untuk dicoba bersama dalam keluarga maupun komunitas anda. Akhir kata, Selamat Paskah bagi semua yang merayakan, marilah dalam suasana damai Paskah ini, Rahmat Tuhan yang berupa Lingkungan dan Kesehatan tubuh kita tetap kita jaga sebaik-baiknya.


(Chikita Rosemarie, April 12-2009)


Untuk tips-tips selanjutnya, klik disini


gambar:

1. www.etsy.com

2. www.naturemoms.com



Saturday, April 11, 2009

Renungan Paskah 2009



"Bagaimana menjadikan Paskah kita bermakna?"



Mungkin hal tersebut adalah salah satu pertanyaan yang akan ditanyakan berulang-ulang oleh teman-teman yang beragama Kristen/Katolik pada hari raya Paskah (Kebangkitan Yesus/Isa Almasih), dan hal tersebut tidak akan terjawab apabila hanya memaknai makna Paskah sesuai dengan konsepsi harafiahnya. 


Agak kurang tepat apabila kita mengasosiasikan paskah sebagai suatu perayaan satu hari, yang kebetulan tahun ini jatuh pada tanggal 12 April 2009. Paskah, seharusnya dimaknai sebagai suatu proses yang dijalani oleh tiap individu (dalam hal ini, yang beragama Kristen/Katolik) dalam masyarakat, di mana kita sebagai umat Kristiani menjalankan tugas perutusan kita masing-masing di dalam masyarakat, dalam bentuk penjalanan peran kita masing-masing yang didasari oleh perbuatan baik serta tindakan-tindakan kasih kepada sesama. 


Ya, paskah tak lain dan tak bukan merupakan salah satu kesempatan di mana kita dapat secara sosiologis memaknai kembali peran (role) seorang individu dalam masyarakat, di mana pemaknaan inilah yang menjadikan peran tersebut berarti. Pemaknaan menentukan bagaimana kita menjalankan suatu peran itu sendiri sehari-hari. 


Untuk itulah, untuk dapat menjadikan paskah kita semua bermakna, adalah dengan menjadikan hidup kita ini bermakna, dengan menjadi garam dan terang dunia, dalam suatu proses kehidupan yang kita jalani. Seperti halnya Kristus yang telah menjalankan proses hidupnya, wafat di kayu salib, dan bangkit.




Yah, segini saja kiranya tulisan singkat saya. Selamat Paskah bagi yang merayakan.. :)


'Easter Blessings' by Karen Whimsy


Thursday, April 9, 2009

Karakteristik Karnaval




"Carnival came by my town today.."
('Carnival' - The Cardigans)


"Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini sebuah karnaval, Bung!"
('Karnivalesk' - Goenawan Moehammad)

-Ah, Bung GM memang paling pandai dalam menggambarkan segala fenomena :)


Melanjutkan Bung GM, saya pribadi melihat adanya beberapa karakteristik utama dari sebuah 'karnaval', yaitu:
- ia datang dalam berbagai bentuk dan warna
- ia ramai, meriah, dan diikuti oleh banyak orang
- gaungnya bersifat temporal
- hasilnya dapat berupa kepuasan lahir-batin, sekedar senyum (baik yang tulus maupun yang tiris), hingga sampah..


*cheers :)*


(Chikita Rosemarie, April 9-2009)