"Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace"
(Imagine - John Lennon)
Imagine - John Lennon, salah satu lagu paling legendaris yang pernah ditulis manusia. Salah satu lagu yang dikatakan paling inspiratif, dan (bagi saya dan teman-teman sejurusan saya) paling sosiologis.. :)
Betapa tidak, bait demi bait yang dilantunkan oleh lagu ini menyuarakan hal-hal yang pastinya akan sangat menarik apabila dianalisa secara sosiologis, dan bait kedua yang saya sertakan di awal tulisan ini merupakan salah satu bait yang selalu membuat saya dan teman-teman saya tersenyum-senyum sendiri. Bukan oleh kontradiksi maupun konspirasi, namun semata oleh imajinasi berlebihan kita (yang katanya sih, 'sosiologis') :).
Tidak ada negara, tidak ada agama..
Benarkah hidup ini akan menjadi lebih damai??
Tidak ada jaminan bahwa hal tersebut benar adanya, namun tidak ada pula jaminan bahwa hal tersebut salah.
Diinternalisasikan sejak dahulu bahwa negara Indonesia terbentuk karena adanya kesadaran dari para pendahulu kita pada masa kolonialisme yang dimotori oleh semangat sumpah pemuda, yang apabila dintinjau secara historis pun memiliki 'motor'nya sendiri.
Pada konstruksi tersebut, konsep bangsa, nasionalisme, etnonasionalisme, romantisisme, patriotisme, dll tercampur aduk menjadi satu dan dibangun bersama konsep 'sumpah pemuda' yang selama bertahun-tahun diinternalisasikan kepada generasi penerus.
Orang banyak selalu berkata, 'winner creates history', konstruksi sejarah merupakan salah satu kontrol sosial yang dipergunakan oleh pihak yang memiliki otoritas legal dalam mewujudkan self-interest'nya maupun kelompoknya, atau semata-mata dipergunakan dalam menjaga stabilitas sosio-politik.
Sama halnya dengan agama, yang kata Durkheim merupakan institusi sosial. Agama sebagai institusi berperan sebagai kontrol sosial, sebagai penanam nilai-nilai dan etika-etika bermasyarakat yang dibangun berbasis agama itu sendiri.
Namun kedua hal tersebut secara kontradiktif pun dipercaya sebagai faktor pemecah alih-alih pemersatu. Kesadaran bernegara maupun beragama membawa kesadaran lainnya, yakni kesadaran akan adanya perbedaan. Namun tetap pada tingkatan tertentu, dan sekali-kali, KONTEKSTUAL..
Kontekstual..
Sebuah kata yang akhir-akhir ini semakin gemar saya lontarkan dalam setiap kesempatan berdiskusi maupun dalam berkelakar.
Bukankah setiap hal itu kontekstual? Ataukah setiap konteks memang memiliki hal perihal yang nyata??
Apakah konsep 'negara' dan 'agama' menjadi benar dan salah ketika dikotekstualisasikan berbeda atau apakah memang mereka dan konsep-konsep lainnya memiliki kebenaran dan kesalahan yang dikontekskan?
Di tengah kontemplasi tersebut lah, saya teringat pada salah satu doa yang saya pajang pada dinding kamar saya. 'Serenity Prayer' yang dipopulerkan oleh Reinhold Niebuhr,
God,
Grant me the SERENITY to accept the things I cannot change
COURAGE to change the things I can
And the WISDOM to know the difference
Romantis memang, pada tingkatan tertentu, namun mengingatkan saya akan betapa manusia pada dasarnya memang makhluk yang romantis tingkat tinggi (yang katanya, didukung oleh daya imajinasinya yang juga tinggi).
Saya pun, terima ataupun tidak, juga seorang manusia. Manusia yang juga romantis, di mana sadar maupun tidak, terkonstruksi maupun alamiah, berpegang pada hal-hal tertentu seperti negara dan agama, baik empirik maupun tidak, benar maupun salah. Di mana pada akhirnya akan berkutat pada Kepasrahan (serenity), Keberanian (courage), dan Kebijaksanaan (wisdom) demi memperoleh konsolasi, seperti apa yang tengah saya lakukan kala ini.
(Chikita Rosemarie, Feb-28-2009)