Wednesday, May 20, 2009

Kontemplasi


"If it wasn't for Rama and Allah, I'd still have a mother."
(Jamal Malik - 'Slumdog Millionaire)


-It might not be your favourite scene from that amazing movie, but it's definitely mine :). 

Aneh memang, di pagi menjelang siang hari yang sangat panas, di tengah salah satu keseharian yang paling saya benci (a.k.a menyetir), saya teringat adegan tersebut. Bukan karena teriknya sinar matahari ataupun ramainya arus lalu lintas hari Selasa, mungkin memang saya sebagai seorang individu memang sedang rindu berkontemplasi. 

Kontemplasi, 
mungkin bukan salah satu kata yang sering dilontarkan secara umum, namun bagi saya, amat dalam maknanya. Karena patut disadari, kita, manusia, melakukannya. Secara sadar maupun tidak, dalam kepahaman akan makna dibaliknya atau tidak. 

Seperti Jamal Malik, the slumdog millionaire, misalnya. Ia mengucapkan kalimat sinis tersebut berdasarkan pengalamannya kehilangan sang Ibu akibat dari konflik antar-agama yang kala itu terjadi di India. Ucapan itu tak lain dan tak bukan pun merupakan salah satu hasil kontemplasinya. Bukan berarti saya mengatakan bahwa hasil kontemplasi selalu bersifat sinis, namun memang patut diakui, semakin kita bertanya-tanya, dan semakin kita mencapai suatu bentuk pengetahuan tertentu-baik faktual maupun experiental-, semakin sinis pula kita memandang segala sesuatu, khususnya apabila berkenaan dengan pengetahuan itu sendiri.

Kita pun patut diakui, juga demikian. For better or for worse, we contemplate..
Bukan karena semata-mata manusia memiliki akal budi, namun karena memang kita memiliki kebutuhan untuk itu. Manusia butuh berkontemplasi. 

Sehubungan dengan itu, saya jadi teringat pada konsep Aristoteles mengenai 'zoon politicon', yang biasanya diartikan secara serampangan bahwa manusia adalah 'makhluk sosial'. Walaupun konsepsi 'manusia adalah makhluk sosial' itu benar, namun makna dari 'zoon politicoon' bukanlah itu. Konsepsi 'zoon politicoon' memiliki pemaknaan bahwa tiap manusia merupakan suatu bagian dari bentuk pemerintahan terkecil, yang dalam hal ini adalah keluarga. Keluarga, sebagai suatu bentuk pemerintahan terkecil memiliki division of power, peraturan, nilai-nilai, serta suatu tujuan bersama, yang juga merupakan salah satu bagian dari suatu implementasi politik yang lebih besar, yang dalam hal ini salah satu contohnya adalah negara maupun yang lebih besar lagi, dunia internasional.

Bagian yang lebih kecil dari keluarga terdapat dalam ranah individu. Individu, dengan kemampuan untuk mengembangkan dirinya, salah satunya adalah dengan melalui proses kontemplasi tersebut. Kontemplasi tak lain dan tak bukan adalah salah satu bagian dari suatu proses yang lebih besar, yakni proses identifikasi. Kedua hal tersebut memiliki hubungan timbal balik yang pada akhirnya menghasilkan identitas seseorang. Manusia mengidentifikasi dirinya melalui proses kontemplasi yang ia lakukan, sebaliknya, proses identifikasi sosial terjadi sebagai hasil pengakuan publik akan suatu hasil kontemplasi individu. Dari situlah suatu bentukan pemahaman subyektif terbentuk.

Misalnya saya pribadi. Saya menyebut diri saya sebagai seorang 'Katolik' bukan semata-mata karena saya terlahir dalam keluarga Katolik dan sejak bayi telah dibabtis secara Katolik. Saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Katolik, karena saya memiliki pemahaman subyektif mengenai kekatolikan saya yang dibentuk dari proses sosialisasi yang saya alami sejak kecil, pengakuan dari orang-orang di sekitar saya yang menyatakan bahwa saya adalah seorang Katolik, serta hasil kontemplasi saya yang menghasilkan keyakinan serta pengetahuan bahwa saya merupakan bagian dari suatu institusi agama Katolik, baik dalam ranah keluarga, maupun dalam ranah yang lebih luas, yang dalam hal ini adalah Hierarki Gereja Katolik itu sendiri. 

Hasil kontemplasi tersebut didapat melalui apa yang saya baca, apa yang saya lihat, apa yang saya dapat di sekolah, dalam pergaulan, dalam relasi dengan keluarga, dan segala bentuk pengetahuan faktual maupun experiental lainnya. Suatu proses yang panjang itu terangkum dalam suatu proses identifikasi, yang akan menentukan 'orang Katolik yang seperti apakah saya ini'. Proses tersebut terjadi bukan hanya pada religiusitas/agama saja, namun juga pada etnisitas, kewarganegaraan, profesi, program studi yang kita ambil ketika kuliah, dan lain-lain. 

Akhir kata,
Pada substansi yang lebih simpel, sebenarnya kita dapat melihat hal-hal semacam ini pada berbagai hal di sekitar kita. Salah satunya adalah quiz-quiz facebook yang bertajuk 'Mahasiswa seperti apakah kamu?', 'Orang Indonesia macam apakah kamu?', dan aplikasi-aplikasi adiktif  serupa. Saya tahu itu terdengar konyol, namun sedikit banyak itu juga merupakan suatu bentuk kontemplasi dan identifikasi lho.. ;)



(Chikita Rosemarie, May-20-2009)