Sunday, August 24, 2008

Mana Yang Benar? Herediter atau Proses Sosialisasi??

Nah, ini nih yang beberapa hari ini menjadi perdebatan diantara saya dan teman-teman saya*. Sebenarnya bukan perdebatan juga sih, mengingat pada akhirnya konklusi kita selalu sama. Namun, sama ataupun tidak, tetap saja pada akhirnya akan muncul pertanyaan (yang semestinya tabu diucapkan akademisi)

"iya gak sih??"



Perdebatan kali ini adalah mengenai pertentangan yang ditemukan antara cabang ilmu sosiobiologi dan psikologi sosial, di mana : sosiobiologi menekankan pada sifat yang herediter (keturunan; genetis) sedangkan psikologi sosial menekankan pada proses sosialisasi. Sebenarnya, pertentangan seperti ini mengingatkan saya kepada pertanyaan "Mana yang lebih dulu, evolusi kebudayaan atau evolusi biologis?", dan pertanyaan-pertanyaan lain yang (kalau dalam istilah saya) bikin marah dan ujung-ujungnya bikin saya bergumam "Telur ayam nih.." (tapi tetap saja seru untuk dibahas, hehehe).

Nah, jadi pd awalnya begini. Kasus Ryan (yang kyknya bener" lg santer), dan kasus-kasus lain yang berhubungan dengan 'psikopat' membuat banyak orang baik dari masyarakat luas maupun akademisi menjadi berpikir "Kenapa Ryan dan orang-orang yang diklasifikasikan sebagai 'psikopat' bisa menjadi 'psikopat'?".


Jawaban untuk hal tersebut terbagi menjadi 2, yaitu :



1. Hal tersebut dikarenakan oleh faktor herediter (keturunan; genetis). Misalnya, orang tua yang memiliki gangguan kejiwaan menurunkan sifat tersebut secara genetis kepada anaknya.

2. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya proses sosialisasi, di mana seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan membesarkan anaknya dengan cara yang salah (kasarnya, cara yang 'gila') sehingga anaknya tersebut mengalami gangguan kejiwaan diakibatkan oleh proses sosialisasi yang tidak sempurna, di mana agen sosialisasinya memiliki gangguan kejiwaan.



kedua hal tersebut sering sekali saya tanyakan dan perdebatkan ke teman" sejawat (cielah sejawat..). Nah, kalau saya pribadi sih lebih cenderung ke jawaban yang kedua. No offense, bukan krn saya mahasiswa sosiologi atau apa, tetapi dalam pemikiran saya, penjelasan yang bersifat psiko-sosial lebih masuk akal saja.


------------------------------------------------------------------------


Setelah berminggu-minggu lewat dan hal tersebut terngiang", saya akhirnya mendapatkan jawaban juga. Jawban yang saya nanti" ini saya dapatkan setelah saya menonton film "Sybil"**. Film berdurasi pendek (1 jam 25 menit) ini adalah hasil remake dari film yang berjudul sama yang ditayangkan pada tahun 1977***, di mana diperankan oleh
Sally Field dan Joanne Woodward. Versi yang saya tonton diperankan oleh Jessica Lange (sbg Dr. Wilbur) dan Tammy Blanchard (sbg Sybil).





Walaupun versi ini dianggap tidak sebagus yang versi Sally Field, saya cukup puas menontonnya (mengingat selama 1 jam 25 menit udah dibikin naik-turun dan terbengong") -two thumbs up for the two GREAT actresses!.



Anyway, film Sybil ini secara garis besar menceritakan tentang kisah hidup Sybil, seorang gadis yang didiagnosis menderita MPD (multiple personality disorder) dan memiliki 16 kepribadian. Setiap kepribadian memiliki karakter dan nama sendiri. Nah, yang menarik perhatian saya disini adalah cerita mengenai latar belakang dari gangguan kejiwaan yang dialami Sybil.

Diceritakan di d
alam film tersebut, bahwa Ibu Sybil merupakan seorang penderita Schizophrenia yang parah namun tidak dirawat karena minimnya keadaan keuangan keluarga Sybil. Ayah Sybil sendiri merupakan seorang ayah yang sangat religius, namun sangat disayangkan religiusitas yang ia terapkan lebih ke arah vertikal saja.

Ibu Sybil sebagai seorang penderita Schizophrenia sering menyiksa Sybil sejak Sybil masih kecil (dengan berbagai cara yg lebih baik tidak saya jabarkan). Ayah Sybil sendiri membiarkan semua itu terjadi dikarenakan oleh (nah, ini juga menarik!) adanya anggapan masyarakat jaman itu bahwa membesarkan anak adalah tugas seorang ibu, dan ia mengesampingkan fakta bahwa istrinya tidak memiliki kapabilitas unt menjadi seorang agen sosialisasi (dalam hal ini, membesarkan anak), dan tetap menjalankan perannya sbg 'ayah' dengan baik. MPD yang dialami Sybil sendiri merupakan efek traumatis akibat penyiksaan ibunya, di mana setiap kenangan buruk yang ia alami ia 'tutup' dengan kenangan indah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya berbagai macam kepribadian yang berbeda tersebut. Inilah poin yang membuat saya yakin akan besarnya efek proses sosialisasi dalam pembentukan kepribadian, yaitu dengan kenyataan bahwa pemegang peran agen sosialisasi Sybil adalah ibunya dan bukan ayahnya.


Konklusi yang ingin saya ambil dari baik film maupun pemikiran ini adalah, hendaknya kita jangan terburu-buru men-judge seseorang yang 'berbeda' dengan hipotesa sembarangan seperti 'psikopat', 'stress', dll. Ingatlah bahwa terdapat latar belakang sosial dalam keadaan psikologis individu, dan sebuah perilaku labelling dapat berujung pada eksklusi, di mana justru akan memperparah keadaan orang tersebut****. Pendekatan personal dan (tentu saja) bantuan profesional sangatlah dibutuhkan dalam menghadapi kasus" serupa, dan yang tak kalah penting pula, dibutuhkan semacam 'penyadaran' dalam masyarakat untuk dapat membawa kasus" seperti itu ke 'ruang konsultasi' dan bukannya 'meja gosip'. Penyadaran tersebut dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal, di mana bentuknya adalah peningkatan social awareness atau kesadaran sosial.


Oh iya, sebelum saya lupa..

Film 'Sybil' ini sangat menarik loh.. karena selain mengangkat keadaan MPD Sybil, ia juga mengangkat isu-isu gender seperti pembagian kerja dalam keluarga (yg td sudah saya sebutkan), stereotype perempuan dalam kajian psikologi, dan subordinasi yang dialami akademisi perempuan yang bersifat sexist. -a MUST see..


-Selain itu,
due to this movie, saya berhasil menemukan JAWABAN dari pertanyaan berkepanjangan saya! hehehe.. just can't wait to share this thought! :)





(Chikita Rosemarie, Agt-24-2008)





*pemicunya adalah kunjungan saya ke kantor seorang dosen saya, yang membuat saya terpikir mengenai pemikiran tsb

**no offense, ini true story, jd cukup empirik lah yaaa.. or
at least , inspirasional, hehehe..

***kisah ttg Sybil juga pernah dibukukan dengan judul yang sama pula.

****seperti dalam kasus 'Ryan' yang (oleh seorang teman saya) dianggap sebagai salah satu hasil dari eksklusi sosial masyarakat terhadap kaum homoseksual.

Sunday, August 17, 2008

Tentang Kemerdekaan (17 Agustus 2008)

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta



hari bersejarah itu!



Kira" seperti itulah hasil ketikan Sajoeti Melik yang pada akhirnya dibacakan sebagai naskah proklamasi, dengan Ir. Soekarno yang pada awalnya masih memakai piyama di rumahnya yang diyakini bebas dari jangkauan tentara PETA di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jumat pk. 10.00 pagi, hari itu bulan Ramadhan. Dengan berbekal makan sahur di ruang makan Laksamana Maeda, dan diisi oleh momen-momen tak terlupakan seperti Bung Karno yang ngambek dan tidak mau naik podium sebelum Bung Hatta datang.

Tak terasa sudah 63 thn berlalu, cerita-cerita indah tentang hari proklamasi masih sayup-sayup sering kita dengar. Suara lantang Bung Karno membacakan teks proklamasi masih dikumandangkan di mana-mana. Lagu-lagu kebangsaan yang tanpa sadar masih bisa kita senandungkan. Sorakan serta merta para peserta upacara, kilauan warna merah-putih baik yang diarak mendekati mega maupun yang terlihat pada atribut kebangsaan yang berlintasan.

Ahh, 17an..
Momen yang hanya dapat kita lihat setahun sekali.
Momen yang diharapkan menjadi penyadaran bagi seluruh bangsa Indonesia atas pentingnya Nasionalisme dan paradigma-paradigma lain yang kerap kali kita lupakan..
Momen yang membuat para akademisi, aktivis, sejarawan, pengamat politik, dan profesi" lain yang sejenis mengecek kembali agenda mereka masing" dan mempertanyakan suatu isu yang selalu diangkat dari tahun ke tahun, "sudah benar-benar merdeka-kah bangsa Indonesia??"

Merdeka,
sebuah konsep yang masih sering diotak-atik oleh orang-orang dari segala kalangan. Tetapi, selalu lupa unt diresapi kembali, "apa sebenarnya 'merdeka' itu??"

Kemerdekaan seringkali diasosiasikan sebagai 'kebebasan' dan 'kemandirian' (freedom and independence). Padahal kedua hal itu sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Namun apabila kita resapi kembali, kedua hal itu sama" merujuk ke satu hal, yaitu 'Tanggung Jawab'.


"..with great power, comes great responsibility.."

mengutip dari Spiderman, sama halnya dengan menjadi seorang manusia super, sebuah bangsa yang diakui merdeka pun memiliki tanggung jawab yang besar, yaitu tanggung jawab sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan diakui secara internasional. Tanggung jawab sebagai warga dunia, tanggung jawab sebagai sebuah negara yang mampu menunjukkan eksistensinya melalui berbagai aspek sosial-politik-ekonomi-dll baik secara internal maupun eksternal. Pada intinya, salah satu tanggung jawab utama suatu bangsa yang merdeka adalah perwujudan masyarakat madani (civil society), di mana menurut Bahmueller (1997) terdapat beberapa karateristik masyarakat madani*, yaitu :

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.


Sehubungan dengan penjabaran di atas, saya pribadi ingin merumuskan suatu 'agenda' tersendiri bagi bangsa Indonesia. Beberapa poin-poin yang perlu diresapi kembali karena kadang terlupakan, dan bahkan seringkali disalahartikan namun sebenarnya sangat penting dalam usaha perwujudan masyarakat madani di atas. Beberapa poin tersebut menunjuk berat pada beberapa usaha pengembangan masyarakat (community development) yang dilakukan secara luas, sehubungan dengan paradigma-paradigma yang terdapat di masyarakat, antara lain:

1. Etnosentris menjadi MULTIKULTURALIS

2. Agamis menjadi RELIGIUS

3. Westernisasi menjadi MODERNISASI

4. Ideologis menjadi HUMANIS

5. Totalitarian menjadi KELEMBAGAAN

kelima hal tersebut adalah beberapa poin penting yang ingin saya tekankan dalam usaha memadanikan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Dalam pengintegrasian nilai-nilai tersebut, dibutuhkan adanya suatu citizenship atau pendidikan kewarganegaraan, di mana seperti telah disebutkan sebelumnya merujuk pada adanya pengembangan masyarakat itu sendiri.


Akhir kata,
walau banyak pihak secara sinis memandang hal ini sebagai suatu hal yang klise, patut diingat bahwa kita sebagai bangsa Indonesia telah (sekali lagi) selangkah lebih maju menuju masyarakat madani. Apapun pendapat kaum fundamentalis di luar sana, hal tersebut harus diakui. Karena patut dicatat pula, kemerdekaan tidak melulu harus diisi dengan tindakan-tindakan yang bersifat patriotis. Duduk, diam, dan merencanakan visi dan misi bangsa kita di hari depan pun salah satu usaha mengisi kemerdekaan. Hal inilah yang seringkali dilupakan banyak orang dan pada akhirnya justru berujung ke pada stagnasi pemikiran.

Akhir kata lagi,
kadang esensi dari suatu kemerdekaan itu dapat kita rasakan dari hal-hal terkecil. Seperti luapan kegembiraan bocah-bocah kompleks yang berhasil menghabiskan kerupuk putih dalam waktu 60 detik, semangat para peserta konvoi yang asik ndangdutan di alun-alun, umat beragama yang mengumandangkan lagu 'Indonesia Raya' di rumah ibadahnya masing-masing, sampai euphoria orang-orang di mall yang seolah-olah secara mendadak janjian memakai outfit bernuansa merah putih. Seakan semua orang dari segala kalangan secara kolektif telah menyadari bahwa 'kemerdekaan itu indah'. Dan apabila dilihat demikian, memang benar bukan?? :)


yah, pokoknya.. sekali lagi, SELAMAT HARI KEMERDEKAAN KE-63!! (jgn mau kalah sama Amerika dgn 4th of July-nya dan Cina dengan hari revolusinya -intermezo, hehehe)



(Chikita Rosemarie, Agt-17-2008)



*http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm

Friday, August 8, 2008

Perjumpaan

manusia dr ufuk timur nampaknya tengah beraksi kembali nih.. :)
entah apa yang sedang saya pikirkan tengah subuh bolong, namun ya ketik demi ketik tersusunlah puisi ini, *lumayan lah unt yang sedang mengalami writer's block -hehehe*


pejumpaan berarti jumpa muka

tiada batas akan awang
ia datang dan bersihkan luka
bukakan kembali pintu pada ruang

penantian bukan membawa makna
ia mengalun tanpa dentuman dawai
perjumpaan datang dan akan sirna
namun cinta lahir tumbuh semampai

inilah kisah,
seorang pemudi dan seorang pemuda
tiada kata merajut perjumpaan
sekejap hadir diiringi perpisahan

entah sang pemudi entah sang pemuda
entah sendiri entah berdua
berbalas ingatan dalam angan
menantikan berikut adanya perjumpaan

------------------

akankah ada??



(Chikita Rosemarie, August-8-2008)

Monday, August 4, 2008

'Perahu' (Joko Pinurbo, 1999)

Puisi ini saya dapatkan ketika sedang googling nama alm Y.B. Mangunwijaya yang merupakan seseorang yang sangat kagumi.
Puisi ini selain membuat saya larut dalam nostalgi akan sosok Romo Mangun* juga menambah satu lagi koleksi puisi mengenai beliau**

Akhir kata, just wanna share this interesting poem by Joko Pinurbo***, so, enjoy :)


PERAHU

: Y.B.M.

Air danau makin meninggi.
Entah sudah berapa desa tenggelam di sini.

Setelah sembahyang dan menghitung cahaya lampu
di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi
ke seberang. Di sana anak-anak sudah tak sabar menunggu
dan ingin segera mendapat oleh-olehnya: buku tulis, pinsil
dan kisah-kisah petualangan yang biasa ia dongengkan
dengan jenaka dan di gedung sekolah darurat yang tentu
tidak tertib kurikulumnya.
“Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,”
kata orang-orang kampung yang membantu
mendorong perahunya.
“Tenanglah,” timpalnya sambil tersenyum,
“saya sudah terlatih untuk kalah.”
Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga
bersama sarung dan capingnya.

Air danau makini meninggi.
Entah sudah berapa rumah tenggelam di sini.

Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur
ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga aparat
Dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat.
Sambil menungggu situasi ia tiduran saja di atas perahu
dan, kalau bisa, bermimpi. Menjelang subuh,
perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang:
“Pak Guru sudah datang!”
Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia tak juga bangun
dan tak akan bangun lagi.
Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya,
tak akan mengerti batas antara tidur dan mati.

Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
dan menemukan sesobek surat: “Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil dan buku tulis ini kepada anak-anakku
yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”
Ada di antara mereka yang berkata:
“Kandas juga ia akhirnya.”

Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa.

Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan
anak-anak piatu. Yang berani mengarungi mimpi
dan meyusup ke belantara waktu.

(Joko Pinurbo, 1999)



*Begitulah Y.B. Mangunwijaya biasa disapa
**Sebelumnya adalah puisinya Sitor Situmorang yg berjudul "Salamnya Romo Mangunwijaya"
***Karya-karyanya yang lain dapat dilihat di blog : www.jokpin.blogspot.com