Saturday, February 28, 2009

Konsolasi

"Imagine there's no countries 

It isn't hard to do 

Nothing to kill or die for 

And no religion too 

Imagine all the people 

Living life in peace"

(Imagine - John Lennon)



Imagine - John Lennon, salah satu lagu paling legendaris yang pernah ditulis manusia. Salah satu lagu yang dikatakan paling inspiratif, dan (bagi saya dan teman-teman sejurusan saya) paling sosiologis.. :)


Betapa tidak, bait demi bait yang dilantunkan oleh lagu ini menyuarakan hal-hal yang pastinya akan sangat menarik apabila dianalisa secara sosiologis, dan bait kedua yang saya sertakan di awal tulisan ini merupakan salah satu bait yang selalu membuat saya dan teman-teman saya tersenyum-senyum sendiri. Bukan oleh kontradiksi maupun konspirasi, namun semata oleh imajinasi berlebihan kita (yang katanya sih, 'sosiologis') :).


Tidak ada negara, tidak ada agama.. 

Benarkah hidup ini akan menjadi lebih damai??


Tidak ada jaminan bahwa hal tersebut benar adanya, namun tidak ada pula jaminan bahwa hal tersebut salah. 


Diinternalisasikan sejak dahulu bahwa negara Indonesia terbentuk karena adanya kesadaran dari para pendahulu kita pada masa kolonialisme yang dimotori oleh semangat sumpah pemuda, yang apabila dintinjau secara historis pun memiliki 'motor'nya sendiri.


Pada konstruksi tersebut, konsep bangsa, nasionalisme, etnonasionalisme, romantisisme, patriotisme, dll tercampur aduk menjadi satu dan dibangun bersama konsep 'sumpah pemuda' yang selama bertahun-tahun diinternalisasikan kepada generasi penerus.


Orang banyak selalu berkata, 'winner creates history', konstruksi sejarah merupakan salah satu kontrol sosial yang dipergunakan oleh pihak yang memiliki otoritas legal dalam mewujudkan self-interest'nya maupun kelompoknya, atau semata-mata dipergunakan dalam menjaga stabilitas sosio-politik.


Sama halnya dengan agama, yang kata Durkheim merupakan institusi sosial. Agama sebagai institusi berperan sebagai kontrol sosial, sebagai penanam nilai-nilai dan etika-etika bermasyarakat yang dibangun berbasis agama itu sendiri. 


Namun kedua hal tersebut secara kontradiktif pun dipercaya sebagai faktor pemecah alih-alih pemersatu. Kesadaran bernegara maupun beragama membawa kesadaran lainnya, yakni kesadaran akan adanya perbedaan. Namun tetap pada tingkatan tertentu, dan sekali-kali, KONTEKSTUAL..


Kontekstual..

Sebuah kata yang akhir-akhir ini semakin gemar saya lontarkan dalam setiap kesempatan berdiskusi maupun dalam berkelakar. 

Bukankah setiap hal itu kontekstual? Ataukah setiap konteks memang memiliki hal perihal yang nyata??


Apakah konsep 'negara' dan 'agama' menjadi benar dan salah ketika dikotekstualisasikan berbeda atau apakah memang mereka dan konsep-konsep lainnya memiliki kebenaran dan kesalahan yang dikontekskan? 


Di tengah kontemplasi tersebut lah, saya teringat pada salah satu doa yang saya pajang pada dinding kamar saya. 'Serenity Prayer' yang dipopulerkan oleh Reinhold Niebuhr,


God, 

Grant me the SERENITY to accept the things I cannot change

COURAGE to change the things I can

And the WISDOM to know the difference



Romantis memang, pada tingkatan tertentu, namun mengingatkan saya akan betapa manusia pada dasarnya memang makhluk yang romantis tingkat tinggi (yang katanya, didukung oleh daya imajinasinya yang juga tinggi). 


Saya pun, terima ataupun tidak, juga seorang manusia. Manusia yang juga romantis, di mana sadar maupun tidak, terkonstruksi maupun alamiah, berpegang pada hal-hal tertentu seperti negara dan agama, baik empirik maupun tidak, benar maupun salah. Di mana pada akhirnya akan berkutat pada Kepasrahan (serenity), Keberanian (courage), dan Kebijaksanaan (wisdom) demi memperoleh konsolasi, seperti apa yang tengah saya lakukan kala ini.




(Chikita Rosemarie, Feb-28-2009)




Monday, February 23, 2009

Inspirasi


'River Watcher' by Shanti Marie




pencarian inspirasi itu bagaikan seorang pengembara yang menunggu ikan di pinggir sungai.


ketika aliran sungai tenang, ia akan duduk diam, menunggu ikan yang dinanti tuk datang jua.


ketika aliran sungai deras, kadang kala ia harus berlari mengejar ikan yang yang berenang liar bersama arus.


ketika ikan tak kunjung datang, kadang kala pula ia harus mencari sosok ikan dalam sosok yang berbeda.


dan ketika benar ikan itu datang, ia harus dapat melihat sosoknya, atau sekali-kali sosok itu pun dapat terlewat.




(Chikita Rosemarie, Feb-23-2009)

What Keeps Me Going



"di tengah-tengah siksaan semester 4 yang semakin hari semakin tak tertahan, perlahan-lahan saya pun menemukan titik terang.." -CR




Pernyataan saya di atas bukanlah merupakan sebuah wacana asal-asalan maupun wacana berlebihan atas apa yang tengah saya rasakan. Memang semester 4 saya yang nampaknya masih seumur jagung ini terbilang sangat amat melelahkan. Ironis memang, karena ketika semester 3 kmrn saya sudah menghabiskan hari-hari saya mengumpat-umpat dan memaki-maki diri saya serta kinerja saya yang entah memang dari sananya 'melempem' atau pada obligasi-obligasi kuliah yang nampaknya tak sanggup lagi untuk dipikul, dan ketika saya berteriak lega karena semester 3 sudah usai, tak lama kemudian datanglah semester 4, yang bukannya menjadi lebih ringan, justru semakin membuat saya ingin mengumpat dan memaki (kali ini sambil setengah berteriak..)


Namun, kembali pada pernyataan saya di atas, saya pun akhirnya menemukan pula titik terang, di mana terjadi kira-kira 2 minggu lalu ketika saya sedang berada di kelas sosiologi industri.


Kelas sosiologi industri 2009, biasa disebut 'sosin', dibuka oleh departemen sosiologi FISIP UI, sebuah kelas yang isinya kurang lebih hanya 15an orang. Digelar setiap hari Rabu jam 1 siang dengan tim pengajar yang dikepalai oleh sosiolog Hari Nugroho**. Selayaknya kelas-kelas lain yang digelar pada siang hari, kelas sosin pun masuk ke dalam daftar kelas-kelas yang memiliki tendensi besar untuk membuat pesertanya mengantuk di tengah hari bolong menjelang sore. Khususnya bagi peserta yang juga merupakan teman-teman sejawat saya (angkatan 2007) yang jadwal kelas hari rabunya nonstop dari jam 8 pagi (hanya istirahat ketika jam makan siang). 


Begitu pula dengan saya, yang pada hari itu di hari rabu, duduk paling depan bersama dengan seorang teman baik saya yang juga kebetulan mengambil kelas yang sama. Kami berdua (dan teman-teman sekelas kami yang lain) duduk terkantuk-kantuk sembari (kebanyakan sih tidak) berusaha mendengarkan 'ceramah' Mas Hari yang berusaha menjelaskan mengenai paradigma-paradigma yang digunakan dalam melihat isu-isu industri secara sosiologis.


Kantuk dan lelah tak tertahan sementara Mas Hari masih saja berceramah. Tak ayal saya pun merasa sudah tidak kuat lagi. Alih-alih mendengarkan, saya justru menghabiskan waktu membuat list 'videoklip paling seram' dan 'worst way to die in the movie' bersama teman baik saya tersebut. 


Waktu terus berjalan, dan Mas Hari masih saja meneruskan ceramahnya. Saya dan teman baik saya sudah kehabisan ide membuat list, ia pun sempat tertidur, sama halnya dengan sebagian besar peserta kuliah yang juga secara bertahap menunduk terkantuk-kantuk sampai pada akhirnya menunduk mendengkur pelan. Berkali-kali saya melihat jam berharap tiba-tiba waktu berlari sprint menuju kepada selesainya kelas hari itu. 


Waktu telah menunjukkan pukul 15.30, Mas Hari masih meneruskan ceramahnya. Sesekali berdiri, sesekali mendudukkan tubuhnya di atas kursi pengajar, membuat posturnya yang tinggi terlihat sejajar dengan kami semua. Beliau sibuk berbicara menjelaskan mengenai paradigma konflik dalam sosiologi industri, di saat kami semua mulai menunjukkan gejala-gejala tidak sabar. Bagaimana tidak, kelas berdurasi 190 menit yang dimulai pada pukul 13.00 teng itu seharusnya sudah ditutup sekarang, namun alih-alih ditutup, si dosen justru malah semakin 'ngotot' mengajar, dengan alibi "sebentar, bahan ini harus selesai hari ini.."


Kami semua yang berada di kelas tidak kuasa menahan keinginan untuk segera melewati pintu kelas dan 'menghirup udara segar'. Bagaimana tidak, kelas lain yang berdurasi 190 menit tidak biasanya tepat waktu, bahkan cenderung selesai lebih awal, dan kalaupun ngaret, semestinya tidak terlalu lama. Sedangkan hari itu?? Mas Hari meneruskan ceramahnya sampai pada akhirnya jam menunjuk ke angka 4, OH TIDAK!! KITA MENGHABISKAN 3 JAM (dan bahkan LEBIH) DI KELAS!!!!


Kami pun akhirnya keluar dari kelas dengan wajah semi lunglai semi heran, "kok bisa-bisanya ada dosen yang ngajar 3 jam??", di saat kebanyakan dosen lain (khususnya di luar jurusan kami) yang cenderung magabut*** atau mengajar dengan malas-malasan. Saya pun berusaha tidak memikirkan hal tersebut, apalagi saya harus mengejar pertemuan tim penelitian saya yang sedang berkonsultasi dengan salah seorang dosen juga, dan pengalaman 'kelas 3 jam' pada hari itu saya anggap sebagai hal menyebalkan yang terjadi pada rabu sore yang sangat melelahkan.


Hari demi hari pun berlalu, membangun serangkaian pemikiran baru yang sedikit demi sedikit berkembang arahnya. 'Fenomena' sore itu di hari rabu bukanlah sekedar hal yang menyebalkan yang harus dilalui sebagai seorang mahasiswa, namun hal yang sangat perlu untuk direnungkan. Sedikit banyak saya merasa malu pada Mas Hari yang dapat melawan rasa kantuk, rasa lelah, dan berbagai perasaan-perasaan lain yang semestinya dirasakan seseorang dengan kesibukan dan kepadatan jadwal seperti beliau, sedangkan saya, sebagai mahasiswa yang seharusnya bersemangat dalam mengejar ilmu pengetahuan sampai detik ini masih saja selalu mengeluhkan jadwal yang padat, tubuh yang lelah, bahan bacaan yang membuat mata lelah, tugas yang super banyak, super susah, dan sedikit banyak tidak tertahankan. Namun apalah artinya segala beban tersebut apabila nantinya akan mengasah saya menjadi seorang sosiolog yang baik dengan integritas tinggi seperti Mas Hari?


Mas Hari dengan ceramah 3 jamnya sore hari di hari Rabu nampaknya telah menginspirasi saya untuk terus berusaha, untuk sedikit banyak tidak mengeluh, dan tentu saja, semakin menguatkan keinginan hati saya untuk menjadi seorang dosen, tentunya dengan integritas tinggi seperti beliau ;).




(Chikita Rosemarie, Feb-23-2009)




*gambar dari: freelancefolder.com

**coba googling nama beliau, ia rajin menulis ttg isu-isu ketenagakerjaan

***makan gaji buta