Sunday, December 21, 2008

Antara Koran Minggu, Mornin' Dance, Facebook, Nasi Uduk ala Nur, dan Two-Teaspoon-Rum-ed Hot Chocolate Milk



"..minggu pagi, matahari bersinar cerah.."



Mungkin penggalan lagu tersebut memang tepat menggambarkan apa yang saya rasakan pagi ini (walaupun pagi ini toh diluar sebenarnya mendung, namun entah kenapa terasa cerah). Bukan hal yang penting memang, namun entah kenapa ada beberapa hal yang terasa berbeda. Kalau dipikir-pikir, sudah tiga bulan ini saya diombang-ambing oleh kerasnya semester tiga, dan baru hari inilah saya merasakan suatu frase yang disebut 'kicking back'


Tidak ada momen yang istimewa ketika saya bangun pada pagi hari ini, dan pergerakan tubuh yang saya lakukan pun tidak jauh beda dengan hari-hari biasanya. Saya terbangun dengan masih terselimuti selimut yang sama, dan bantal yang menjadi tempat singgah kepala saya pun nampaknya belum berubah posisinya. Saya bangun dari tempat tidur, dengan koordinasi gerakan yang kurang lebih sama, dan anak tangga yang saya turuni juga terdiam sendu pada posisinya.


Segala hal nampak mulai berbeda ketika saya menggapai koran minggu. Entah kenapa koran yang saya pegang terasa lebih tipis dari biasanya. Entah itu pertanda baik akibat pengurangan space iklan atau pertanda buruk dari adanya pengurangan jumlah halaman. Sayang saya pun tidak terlalu ambil pusing, dan seperti biasa saya baca koran tersebut dengan sekenanya seakan saya sudah memahami makna per kalimat dalam tiap artikel yang saya singgahi. 


Saya pun meletakkan koran kembali pada tempatnya. Seperti biasa di pagi hari saya senang membuka-buka dan memeriksa isi kulkas. Saya mengecek keberadaan strawberry roll-tart daily bread yg saya pesan dari kakak laki-laki saya (yang ternyata lupa dia belikan *sighs*), dan semerta-merta dari stereo ruang keluarga saya mendengar suatu nada yang familiar.


"you better watch out, 

you better not cry, 

you better not pout 

i'm telling you why, 

SANTA CLAUS IN COMING TO TOWN!"


Semerta-merta pula saya menyadari salah satu lagu natal favorit saya sedang mengalun melalui stereo. Tanpa pikir panjang saya pun menari riang sambil sesekali menyenandungkan lirik lagu yang sudah saya kenal betul kata demi kata. Seperti layaknya umat Kristiani yang lain, saya pun penggemar berat lagu-lagu natal. Namun, entah kenapa lagu 'Santa Claus is Coming To Town' versi Peter White yang saya dengarkan tadi benar-benar menggugah semangat saya.


Lucunya, yang jadi semangat bukan hanya saya. Ayah saya pun ikutan bersemangat. Ia ikut menari di sebelah saya (dengan gaya dansa yang sangat-sangat aneh mengingat beliau jelas bukan pedansa yg baik ;) ), dengan diikuti tawa renyah ibu saya dari ruang makan melihat kelakuan kita berdua. Ah, sungguh suatu sesi mornin dance yang menyenangkan :). 


Pagi pun saya lanjutkan dengan berjalan kembali ke kamar. Saya membuka laptop dan (seperti biasa) membuka facebook, dan entah kenapa bahkan facebook pun pagi ini terlihat berbeda. Pagi ini saya melihat ada banyak sekali kebahagiaan melalui facebook. Dimulai dari teman saya yang baru saja jadian tadi malam (and she just looks soooo happy which makes me even more happier  mengingat ada banyak sekali teman saya yang sedang mengalami kebahagiaan serupa -tak lupa saya pun ingin menyebut diri saya sendiri :) ). Lalu seakan kabar gembira barusan belum cukup, saya mendapat beberapa wall dari orang-orang yang saya sayangi yang entah mengapa, isi dari wall" tersebut membuat saya tersenyum-senyum senang sendiri*. 


Saya pun tak lupa mengecek facebook 'someone special' saya, yang saat itu saya yakini masih belum bangun (dan memang belum). Saya pun meninggalkan pesan di wallnya (karena hp saya sedang 'aneh' dan saya tak bisa meng'sms dia). Yang juga lucu adalah ketika saya melihat halaman facebooknya, dan saya melihat belum ada perkembangan di dalamnya, namun entah mengapa saya justru merasa sangat senang. The idea of having him and my  lovely people really feels sooo much better this mornin -silly huh?? :).


Saya pun turun kembali ke ruang makan, di mana sarapan sudah siap menunggu untuk disantap. Pagi ini menunya adalah nasi uduk ala Nur** (yang lagi-lagi mengingatkan saya pada si miss. L -haha!). Saya menikmati sarapan dengan amat sangat amat puas, mengingat lidah saya yang hampir selama tiga minggu terakhir ini kelu akan rasa karena penyakit musiman (yang entah kenapa terjadi dua kali selama semester tiga ini) sudah bisa merasakan rasa! Nasi uduk yang pada hakekatnya memang nikmat pun terasa makin nikmat. Bau nasi uduk yang menggugah selera pun sudah bisa saya cium melalui hidung saya yang sedikit banyak telah mampu menorehkan kemampuan inderanya. 


Sembari menikmati sarapan istimewa tersebut, saya pun jadi teringat akan obrolan saya dengan someone special saya ketika kita berdua membiacarakan kemampuan indera manusia. Kala itu kita berdua sedang bersama menebak-nebak, kemampuan indera apa yang paling tidak boleh 'hilang', dan konklusi kita berdua hari itu adalah 'indera peraba' (bayangkan kalau kita tidak punya indera peraba!!). Namun pagi ini, konklusi saya nampaknya nyaris berubah mengingat saya merasakan betapa nikmatnya memiliki indera pengecap.


Seusai makan, dengan masih diiringi lagu natal yang masih tak bosan mengalun bersama kelap kelip lampu natal (yang sebenarnya kurang eco-friendly, namun setelah saya pikir" tak apa karena toh lampu ruang keluarga dimatikan) saya memutuskan untuk membuat secangkir susu cokelat panas (yang pastinya sangat sesuai dengan tema natal pagi ini). Seperti biasa apabila saya membuat susu coklat, saya selalu menambahkan rum di dalamnya, tepatnya dua sendok teh rum, di mana menambah kemajemukan rasanya. 


Kembali saya berjalan ke kamar, dengan secangkir susu cokelat dalam genggaman. Sekali lagi saya menghampiri laptop saya yang termangu di atas meja. Cangkir berisi susu cokelat beraroma rum saya letakkan bersanding bersama laptop putih kesayangan saya ini. Saya duduk dan mulai mengetik. Mulai dari lembaran putih yang kosong hingga terciptanya berbagai kata yang berelasi secara fungsional dalam mengisi kekosongannya. Senyuman saya mulai terasa makin lebar. 


Saya melayangkan pikiran saya bersama berbagai dentuman kebahagiaan yang saya rasakan.

Maybe it's not about the sunday newspaper, the unusual morning dance, facebook, nasi uduk, nor my favourite two-teaspoon-rum-ed hot chocolate milk.

It's just when you're being thankful, all those simple things will seem even better, and then you'll be sincerely happy.. Just like what i felt this morning.. :)




p.s. thx to all those people whom i'm so thankful for.. you know who you are guys :)




*thx to miss L and miss A'twin 

**nama salah satu pembantu saya di rmh, saya tidak pakai 'mbak' karena kebetulan seumur :)

Saturday, December 13, 2008

12-Desember-2008




'Starry Night' by Vincent Van Gogh*


masih pada rangkaian hari yang sama kita menyaksikan langit yang berubah menjadi jingga

lucu, karena bahkan kita tak lihat ia berwarna jingga karena tertutup awan kelabu dan dentuman hujan

namun tetap kita percaya bahwa kemutlakan jingga tak kan tergantikan oleh warna lain

dari jingga kembalilah datang temaram, yang entah mendatangi atau kita datangi

kita berdua terduduk dalam lamunan tanpa akhir, kau dan aku


engkau selalu ada dalam tiada dan dalam ada aku takut engkau kan tiada

impian kita bersambut pada keterbatasan makna yang terangkai oleh kata

dan tiada enggan dapat tersampaikan apabila memaknai relasi kita


engkau berbicara mengenai perihal kebahagiaan yang mungkin tak kan sama

dan aku berkata mengenai pertemuan akan belahan jiwa yang diragukan validitasnya

bahwa elemen-elemen yang saling tarik-menarik bukanlah hasil dari kebetulan semata


ketahuilah sayang, aku tak pernah percaya pada konsep pre-destinasi

namun aku selalu berpegang teguh pada takdir yang berkorelasi dengan masa depan yang acak


sekali lagi engkau berbicara mengenai perihal kebahagiaan yang mungkin tak kan sama, kebahagiaanku..

aku terdiam, dan kita saling mengutuk keterbatasan makna yang dapat tersampaikan oleh emosi semata

betapa emosi yang abstrak itu dapat menghasilkan suatu bias tanda tanya yang tanpa akhir

disertai lamunan serta perdebatan tanpa dasar maupun ujung yang memaknai pertemuan kita malam itu


namun ketahuilah kita tidak berbicara mengenai kesedihan

kita berbicara mengenai perihal kejanggalan yang disebabkan oleh relasi affinitas antara kita berdua


kita tidak mengutuk takdir, tidak..

hanya menjembatani kejenakaannya yang kadang tidak sesuai dengan logika

ya, kejenakaan dan bukan kesedihan..

kejanggalan dan bukan perbedaan..

ketakutan dan bukan keengganan..

segala hal yang merepresentasikan sama rasa diantara kita


aku menggenggam tanganmu dan kau menggenggam tanganku

berharap apa yang kita genggam adalah sebongkah impian yang dapat diraih tanpa adanya turbulensi

bahwa kebahagiaan pun dapat bersembunyi dari faktualitas relasi kontradiktif


ide dan materi, iya sayang, kita memang berkutat dengan itu..

ide dan materi beserta hubungan resiprokalnya

serta berbagai probabilita yang dapat tercipta dari padanya..


namun pergolakan tersebut mengundang datangnya gulita

ia yang datang menggantikan temaram, 

disertai dering tanpa akhir yang seharusnya menyudahi pertemuan kita malam itu


kita pun berjalan,

berusaha sejauh-jauhnya dari faktualitas yang harus bergerak menuju tempatnya masing-masing

dalam perjalanan engkau masih mempertanyakan keabsahan jawaban yang kauterima dariku

dan aku hanya tersenyum sembari menyampaikan rahasia yang masih terkunci rapat dalam benakku

sebuah rahasia yang semestinya terjawab apabila kau melihat 97 derajat ke bawah tanpa bias


dan faktualitas itu pun masih ada, menunggu untuk bergerak

engkau menghantar aku sesampai pada batas akhir pertemuan kita

dan sekali-kali aku tak ingin melepas kepergianmu

seakan hanya ada satu pola yang berlaku malam itu, yakni perpisahan


namun sekali kata pula engkau membawaku kembali pada faktualitas yang menunggu untuk kugerakkan

dan keberadaan berbagai probabilita yang berkorelasi dengannya

aku menatap wajahmu yang bersimbah keremangan malam

dan harus kuakui tiada wajah lain yang lebih bersinar dibanding wajahmu saat itu

seakan nyala redup lampu jalan dikalahkan oleh paras wajahmu yang tiada membisu


sekerling mata itu, secercah senyum itu

pergerakan bibir yang menyatakan kata cinta

serta berbagai sentuhan tanpa makna ganda 

menyentuh lendir yang merupakan hasil korelasi antara kepedihan dan penyakit musiman


perpisahan itu diakhiri dengan kecupan

dengan engkau yang masih berdiri di sana

dan aku yang bergerak perlahan bersama faktualitasku

menyingkapi keharusanmu untuk juga berjalan perlahan menuju faktualitasmu sendiri


kau yang masih berdiri di sana

dan aku yang berada di sini

berpisah jalan di persimpangan

namun bergerak perlahan menuju satu konklusi..



(Chikita Rosemarie, Dec-13-2008)




*i'm a HUGE fan of Van Gogh, and the painting somehow represents the feeling very well..


Friday, December 5, 2008

Kausa Keju


roti bakar itu kejunya banyak

dan baik teh maupun ovaltine 

tak berkurang rasa manisnya

meja di sudut masih semi berdebu

dan derum kendaraan bermotor

masih melintas melewati malam


kita ada di dalam tenda

menjadi satu dengan cahaya redup

yang seakan menggema bersama

kelap kelip lampu jalan

sesekali asap mengepul

bersama api kompor yang terus menyala


roti bakar itu kejunya banyak

sesekali boleh pula pisang bakar

teman kita masih teh dan ovaltine

namun tetap fokus utama pada si keju

lucu karena semestinya keju

hanyalah komplementer dari roti maupun pisang


kita tersenyum riang oleh banyaknya keju

seakan terdapat kausalitas antara senyum dengan keju

bodoh memang,

namun harus kita akui, wahai kawan

analogi yang tercipta darinya

sesuai dengan rutinitas kita hari ini..



(Chikita Rosemarie, Des-5-2008)


Thursday, December 4, 2008

Dalam Temaram


tunggulah hingga temaram

tinggalah kita di bawah kerlingan

si bulan sabit di atas kelam

yang berjaga sembari berangan

di balik lindungan awan malam


rumput yang basah oleh lembabnya cuaca

curah hujan tinggi yang belum berasa

di pinggirnya kita yang masih bernyawa

menunggu temaram hingga lupa

bahwa esok ia pun tak kan sirna


biarkan yang di dalam bergetar kencang

seakan dua frekuensinya berkejaran

sembari menarik nafas panjang

diantara dua tak kan menjadi tiran

dalam temaram yang menutup siang


simbol-simbol interaksi berirama

dalam hangat aksen yang menari

makhluk malam berdendang bersama

serasa tarian mereka kan menggugah hati

bersama kunang-kunang yang tiada, bercerita


mengenai makna di balik permakna

tanda di dalam pertanda,

apakah temaram yang mendekati kita

ataukah kita yang mendekati temaram?



(Chikita Rosemarie, Des-3-3008)