Thursday, March 26, 2009

25-04-09

aku ingin tidur
namun bayangan itu selalu datang

aku ingin tidur
namun tubuh ini tiada berpihak padaku

aku ingin tubuh ini kembali memihakku
tidur ketika kuingin
bangun ketika kupinta

namun tubuh ini tak lagi milikku seutuhnya
entah tubuh ini hendak mengapa dan aku hendak kemana

yang kutahu hanya aku ingin tidur
tidur dan tidur
karena ketika ku tidur bayangan itu tak lagi datang
entah enggan entah tak bisa

biarlah aku tidur sekarang
biarkanlah mata ini terpejam tanpa perlu bicara

biarkanlah aku pergi bersama angin malam
ke tempat di mana ku bisa bersandar pada gelap

tanpa perlu melihat cahaya
karena cahaya menyiksaku

cahaya memberiku bayangan
dan aku tak berani melihat sosok itu

bayangan itu
sosok itu
sosok 
sosok..

kumohon biarkan aku tidur
biarkan aku bernafas
karena sekarang aku tidak bisa

biarkan aku larut bersama gelap

biarkan aku tidur

aku ingin tidur
aku ingin tidur

aku ingin tidur
ingin tidur
ingin tidur

entah sampai kapan..


00.27 am



Tuesday, March 24, 2009

Komitmen, Bukan Komunikasi (Earth Hour 2009)


Telah banyak dilakukan upaya-upaya sehubungan dengan pelestarian lingkungan, salah satunya adalah upaya-upaya dalam mengkomunikasikan cara-cara pelestarian yang antara lain adalah pemilahan dan pengolahan sampah, penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan, dan penghematan listrik. 

Sehubungan dengan cara yang terakhir, kali ini diadakan sebuah 'event' bernama EARTH HOUR.


Earth hour secara konseptual diartikan sebagai suatu kampanye global dalam bentuk mematikan lampu secara 1 jam. Event ini akan dilaksanakan secara serentak pada hari Sabtu 28-Maret-2009, pk 20.30-21.30 (WIB). 


Patut diacungi jempol, kampanye yang dipromotori oleh WWF International yang katanya hanya ditargetkan untuk menjangkau satu miliar orang di 1000 kota di dunia mampu meraih sukses dalam mendapat dukungan melebihi target yakni dari sekitar 1.539 kota di 80 negara di seluruh dunia. Jakarta, sebagai satu"nya kota yang ikut berpartisipasi di Indonesia telah berkomitmen untuk selama 1 jam mematikan lampu" kota selama 1 jam di termasuk lampu" bangunan yang merupakan ikon kota seperti Monas serta air mancurnya, Gedung Balai Kota, Patung Pemuda dan air mancur Arjuna Wiwaha. Beberapa gedung" perkantoran pun turut ambil bagian dalam kampanye ini. Tentunya lampu" yang merupakan segi" krusial kota dengan penuh pertimbangan tidak ikut dimatikan (misal: lampu jalan, lampu rumah sakit), dan pemerintah kota Jakarta juga melakukan antisipasi dengan bekerjasama dengan Polda Metro Jaya dalam pengamanan kota selama kampanye berlangsung.


Berbagai kota di berbagai negara dan belahan dunia juga sudah berkomitmen untuk berpartisipasi dengan mematikan penerangan di ikon-ikon kota, seperti opera house (Sydney), canadian tower (Toronto), Bun Dubai (Dubai), maupun table mountain (Cape Town).


Secara konseptual, saya meihat bahwa kampanye Earth Hour ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan Duncan (1994), yang merumuskan adanya konsep The Basic Ecological Complex, di mana dirumuskan adanya kesalingtergantungan antara empat aspek, yakni Populasi, Organisasi, Lingkungan, dan Teknologi. Konsep ini sekaligus melihat adanya korelasi antara kerusakan lingkungan dengan ketiga aspek lainnya. Aspek populasi menunjuk pada masyarakat yang berada di lingkungan itu sendiri, aspek organisasi menunjuk pada lembaga serta institusi yang memiliki peran dalam masyarakat, sedangkan aspek teknologi merupakan bentuk teknologi yang berkembang dalam masyarakat sesuai dengan fungsinya.  


Menurut saya, kampanye Earth Hour sendiri merupakan salah satu bentu 'Komunikasi Lingkungan', di mana berkisar pada segala bentuk tindakan yang bersifat persuasif maupun pemberian informasi sehubungan dengan isu-isu lingkungan bagi masyarakat, dalam hal ini mendukung keberlangsungan dari keempat aspek tersebut. 


Sehubungan dengan komunikasi lingkungan, seorang kenalan saya, dalam sebuah obrolan berkenaan dengan komunikasi lingkungan pernah menyebutkan adanya kecenderungan untuk terjadinya sebuah Trade Off, di mana berarti melemahnya pengaruh yang dapat diberikan oleh tindakan komunikasi karena berbenturan dengan berbagai faktor yang ada dalam masyarakat, di mana faktor-faktor tersebut dapat berupa trend maupun self-interest individu.


Hal ini menjadi pikiran saya, bahwa dalam Earth Hour sendiri pun dapat terjadi trade off, di mana kegiatan kampanye global ini hanya mentok pada tindakan komunikasi saja, dan tidak berhasil menyampaikan isi sebenarnya yakni: KOMITMEN.


Komitmen disini merujuk pada komitmen masyarakat mengenai kegiatan pelestarian lingkungan, khususnya sehubungan dengan kampanye earth hour, yakni penghematan listrik. Apakah masyarakat benar-benar akan berani berkomitmen dalam pemakaian listrik secukupnya ataukah hanya dalam kurun waktu 1 jam selama dilaksanakannya earth hour yang nampaknya (lagi-lagi) menjadi merajalela karena faktor 'trend'?? Dan apakah keempat aspek ekologis (populasi, organisasi, lingkungan, dan teknologi) benar-benar dapat menjadi lebih tersinergis dengan pelaksanaan earth hour?? 


Pertanyaan-pertanyaan tersebut itulah yang pada nantinya akan bersama-sama kita lihat jawabannya. Saya pribadi berharap, suatu kegiatan yang mulia dan berskala global seperti earth hour ini benar-benar dapat menunjukkan eksistensinya bukan hanya sebagai 'trend', namun sebagai suatu kegiatan komunikasi lingkungan yang benar-benar dapat menyentuh faktor sustainability dalam masyarakat.


so, let's hope, watch, and act! :)



(Chikita Rosemarie, Maret-24-2009)



info lebih lanjut:

www.earthhour.org

www.earthhour.wwf.or.id




Friday, March 13, 2009

PEACE OF MIND


'Oasis in the Deser, Sabino' - Earl Ayne


is maybe like when you find a touch of oasis in the desert
but whatever it is,

"I NEED IT"



Rasa




kadang rasa tidak dapat mengungkap cela.

 

ibaratnya roti yang tak beragi, manis yang tak berisi. 


rasa hanya dapat dirasa, bukan dipijak, apalagi dicari.


rasa itu diam dan menunggu, namun hidup layaknya makhluk yang mencari kenyamanan dirinya.


ia hidup dan memaksa manusia bersyukur atas eksistensinya.


sama halnya dengan manusia, ia pun memiliki ego, terbesar yang pernah ada.


bahkan lebih besar dari ego itu sendiri.


jadi, benarkah kita bersyukur atas rasa?


ataukah sembari berharap rasa itu tiada?




(Chikita Rosemarie, Mar-13-2009)

Sunday, March 1, 2009

SEKOLAH SEMESTINYA TAHU: BAHAYA STYROFOAM



-tulisan ini adalah tulisan yang saya buat sebagai hasil dari kunjungan saya ke SMPK 5 Penabur dalam rangka Seminar bertemakan lingkungan yang kebetulan pembicaranya adalah salah seorang dosen saya. Sebenarnya tulisan ini dibuat demi kepentingan edisi baru Newsletter Lantan Bentala, namun karena perihal teknis, tulisan ini belum bisa dimuat. Tulisan ini saya muat disini demi membagi informasi dengan teman-teman semuanya. Anyway, happy reading.. :)


Sekolah selalu dikatakan sebagai agen sosialisasi paling penting dalam perkembangan individu. Sekolah, sebagai institusi pendidikan memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai luhur serta memberikan teladan mengenai hal-hal yang baik. Saya ingin menorehkan pengalaman saya ketika saya berkunjung ke SMPK 5 BPK Penabur yang kala itu mengadakan sebuah acara seminar bertemakan lingkungan bertepatan dengan Hari Peduli Sampah, Sabtu, 21 Februari 2009.

Rangkaian acara pada hari itu berkisar antara Lomba Mading bertemakan Lingkungan serta seminar-seminar dari berbagai LSM Lingkungan yang dibedakan menjadi beberapa sesi. Acara berjalan secara tertib, dan terbilang berhasil, dilihat dari jumlah peserta serta animo peserta yang kebanyakan merupakan pendidik, di mana mereka tetap berada di tempat hingga acara berakhir. Namun, walaupun terbilang cukup sukses, saya masih melihat adanya sedikit kontradiksi yang mengganggu pemikiran saya.

Hal ini dikarenakan salah satunya oleh penggunaan styrofoam oleh peserta lomba mading serta penyediaan konsumsi yang diberikan panitia, yaitu makanan cepat saji berwadahkan styrofoam.

Mungkin masih banyak yang belum mengetahui betapa bahayanya wadah styreofoam bagi kesehatan jasmani maupun kesehatan lingkungan kita. Berasal dari bahan yang bernama foamed polysterene (FPS) yang memiliki kelebihan dalam hal kepraktisan dan penghematan biaya. Selain karena harganya yang relatif lebih murah, FPS juga praktis karena ia ringan, tahan bocor, dan dapat menjaga suhu makanan dengan baik, di mana dianggap sangat tepat dalam mengemas makanan. FPS sendiri dikenakan berbagai proses kiwiawi sebelum pada akhirnya ia menjadi bahan stryrofoam seperti yang biasa kita gunakan sehari-hari. Proses-proses kimiawi tersebutlah yang menyebabkan bahan ini menjadi sangat berbahaya.

Dalam pembuatannya, styrofoam ditambahkan bahan butadiene (sejenis karet sintetis) yang membuat warnanya menjadi putih susu dan menjadi lebih kuat. Lalu, kelenturan dan keawetan berasal dari ditambah zat plasticer seperti dioktiptalat (DOP) dan butyl hidroksi tolune (BHT) yang kandungan zatnya dapat memicu timbulnya kanker dan penurunan daya pikir anak. Selain itu, masih ditambahkan pula gas chlorofluorocarbon (CFC), yang seperti yang sudah kita semua ketahui, dilarang digunakan pada berbagai alat elektronik dan dipercaya sebagai elemen yang menyebabkan lubang pada lapisan ozon. Coba bayangkan, ozon saja berlubang, bagaimana dengan tubuh kita?? Selain itu juga, patut diingat pula bahwa bahan styrofoam secara biologis memiliki jangka waktu yang paling lama untuk diuraikan, yaitu 100 tahun. Lalu bagaimana pula nasib bumi kita apabila sampah styrofoam selalu bertambah setiap harinya??

Sekedar wacana akan menjadi tidak berguna apabila tidak dilaksanakan dengan baik, dan sekolah semestinya dapat menjadi agen yang baik dalam melaksanakan wacana ini, dan bukan malah menjadi salah satu contoh yang kurang baik bagi anak-anak didik di dalamnya. Sekolah semestinya dapat ikut bergerak dalam pelestarian lingkungan, bukan hanya lingkungan yang bersifat lingkungan fisik, yakni bumi (environment), namun juga pada lingkungan yang bersifat holistik, yakni kesehatan tubuh (invironment). Di lain waktu, saya ingin melihat adanya kemajuan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah, bukan hanya SMPK 5 Penabur, namun juga sekolah-sekolah lain demi terciptanya lingkungan yang sehat. 



(Chikita Rosemarie, Mar-1-2009)

The Good Thing I Got When I Went to Church Today: Tema APP 2009


Pagi ini saya pergi ke Gereja dan mendapatkan suatu kabar gembira. Tema Aksi Puasa Pembangunan tahun ini (2009) telah dibacakan dan isinya sangat menyentuh hati saya. Bagi yang bukan beragama nasrani, Aksi Puasa Pembangunan (APP) secara singkat adalah suatu masa yang dilalui selama masa pra-paskah, di mana seluruh umat Katolik yang akan menyambut Kebangkitan Kristus selain harus menjalankan ibadah puasa, juga harus melaksanakan perbuatan baik dalam masyarakat. Setiap tahun, tema dari APP selalu berbeda-beda disesuaikan dengan isu-isu sosial yang sedang terjadi. Adapun, tema APP 2009 kali ini adalah 'Pemberdayaan Hubungan Antarumat Beriman'.


Tujuan dari tema tersebut adalah, agar umat Katolik menyadari tanggung jawab untuk memerdayakan "hubungan antarumat beriman" dalam mewujudkan panggilan akan kebenaran hidup antarmanusia yang semakin sejati.


Hasil yang diharapkan dari perwujudan tema itu adalah sebagai berikut:


a. Umat Katolik semakin sadar akan tanggung jawab bersama dalam mengembangkan hubungan antar sesama dalam kadar bermutu menurut dimensi antarumat beriman yang saling menghormati dan saling menghargai.


b. Umat Katolik dalam lingkungan hidupnya semakin bersedia melakukan kerjasama dalam mendorong terwujudnya rasa persaudaraan dan persahabatan, tanpa membedakan latar belakang hidup agama.


c. Umat Katolik khususnya kaum muda, menghadirkan keterlibatan sosial dalam memperjuangkan kesejahteraan hidup masyarakat secara menyeluruh, khususnya dalam upaya mengatasi kemiskinan masyarakat.


d. Umat Katolik berani mengambil prakarsa untuk mengelola dan mengembangkan kerjasama dalam bentuk koperasi yang melibatkan seluruh lingkungan hidupnya menuju kemandirian sosial ekonomi yang memadai, tanpa membedakan perbedaan hidup iman.


e. Umat Katolik secara rasional menjadi aktif dalam perayaan keagamaan yang melibatkan kerukunan antarumat beriman secara konstruktif. 



Begitulah, saya pun tersenyum lega mendengarnya. Betapa tidak, memang tepat saatnya bagi masyarakat untuk diingatkan kembali akan pentingnya nilai-nilai toleransi beragama dalam kehidupan bermasyarakat, dan institusi agama lah yang seharusnya menjadi motor penggerak integrasi di tengah keberagaman yang ada. Saya percaya, bukan hanya umat Katolik saja, namun seluruh umat beriman baik Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, dll juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan masyarakat pluralis tanpa melupakan nilai-nilai humanisme, sebagai modal utama dalam perwujudan masyarakat madani.



(Chikita Rosemarie, Mar-1-2009)