Tuesday, December 29, 2009

251209


Kita kadang sulit menentukan eksistensi suatu wacana.
Kita mendistingsi wacana kepada dua dimensi. Yang riil dan yang tidak.
Yang riil berarti nyata, dan yang tidak berarti palsu.
Kepalsuan timbul ketika ia tidak nyata,
dan kenyataan timbul manakala ia tidak palsu.
Kita mempertanyakan kepalsuan dan keaslian suatu kehendak.
Namun sekali-kali kita lupa, bahwa nyata dan tidak itu hanyalah wacana..
Ketika kita mempertanyakan wacana, kita telah meraih wacana baru.
Wacana di dalam wacana.
Pertanyaan di dalam pertanyaan.
Tidak ada suatu hal pun yang dapat mendistingsi itu semua.
Hanya makna, yang statis dan tak bekerja..


(Chikita Rosemarie, Des-25-2009)


Wednesday, December 23, 2009

My Article on LPM Kentingan's Academic Journal

-ini adalah pertama kalinya tulisan saya dimuat di dalam Jurnal Akademis. sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Terima kasih banyak kepada teman-teman dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Negeri Solo yang telah memberikan kesempatan kepada saya dalam mencurahkan isi kepala saya dan berbagi bersama teman-teman semua. Sukses selalu, and happy reading :)



Lansia dan Penyimpangan Sosial


Berdasarkan teori perkembangan manusia, individu akan memasuki tahap lansia pada usia 65 tahun yang ditandai dengan adanya penuaan. Di Indonesia, usia 55 tahun sudah memasuki masa pensiun karena dianggap tidak produktif lagi untuk bekerja. Berdasarkan kedua data diatas, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah tahapan akhir dalam perkembangan baik perkembangan manusia maupun perkembangan keluarga yang ditandai dengan adanya penuaan, penurunan aktivitas fisik, dan hilanganya pekerjaan[1].

Sebagai seorang anggota masyarakat, lansia pernah mengalami fase usia yang secara kategorial berada di bawah fase usianya yang sekarang. Pada prosesnya, mereka menjalankan peran tersebut dalam masyarakat sampai pada akhirnya menyandang status sebagai ‘lansia’ yang memiliki peran yang berbeda dengan peran yang mereka jalani sebelumnya. Dalam kajian sosiologi keluarga, peranan lansia tersebut dikatakan sebagai peran Grandparenthood.

Peran grandparenthood yang dipegang oleh lansia secara garis besar dapat kita lihat dalam peran lansia sebagai kakek dan nenek dalam keluarga. Peran-peran tersebut dapat dirumuskan secara teoritis dalam teori simbolis (Symbolism and the Multiple Meanings of Grandparentings) yang diungkapkan oleh Vern L. Bengston & Joan F. Robertson (1988)[2], peran-peran tersbut antara lain: (1) The ‘Being There’ Symbol, yaitu bahwa seorang lansia dilihat sebagai seorang figur yang ‘dapat diharapkan’ oleh generasi yang lebih muda, (2) The ‘Family National Guard’, menekankan pada peranan lansia dalam membantu pelaksanaan peraturan dalam keluarga, memberikan perlindungan, dan memberikan perhatian ketika dibutuhkan, (3) Grandparents as Arbitrators: From Transmission to Negotiations, bahwa lansia memegang fungsi arbitrasi sebagai ‘penengah’ yang dapat menjembatani proses negosiasi intergenerasional, (4) The Social Construction of Biography, lansia  memegang peran yang sangat besar dalam membangun hubungan rasional antara masa lalu, masa kini, dan masa depan kita.

Keempat peranan tersebut dapat direalisasikan apabila relasi antar anggota keluarga berjalan dengan baik. Terdapat pemahaman yang sama akan peranan masing,-masing baik kakek/nenek, ayah/ibu, serta anak. Baik tidaknya relasi tersebut dapat dilihat dari frekuensi interaksi antara lansia (kakek/nenek) dengan anggota keluarga lain, seberapa besar peran mereka dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, seberapa besar symbolic meaning mereka sebagai ‘tetua’ dalam keluarga, dan lain lain. Dalam hal ini, lansia sebagai kakek/nenek telah dapat memaksimalkan fungsi dan peranannya dalam keluarga, yaitu fungsi grandparenthood tersebut.

Namun, pada realitanya, peranan tersebut tidak berjalan dengan baik. Relasi antara lansia dengan anggota keluarganya telah berubah seiring dengan perubahan struktur keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat yang cenderung memiliki tipe solidaritas organik, yakni masyarakat perkotaan. Pada masyarkat perkotaan, peranan para lansia sudah tergeser secara tidak langsung melalui fungsi mereka dalam keluarga yang banyak di dominasi oleh ayah, ibu, dan anak.

Tergesernya peran mereka juga dapat dilihat dengan semakin banyaknya lansia yang ditempatkan di panti jompo, bahkan tidak sedikit yang cenderung terlantar. Hal ini dapat dilihat pada data Departemen Komunikasi dan Informatika yang menyebutkan bahwa jumlah lansia yang terlayani kurang lebih lima persen dari jumlah lansia terlantar yang menurut data Pusdatin Kesos tahun 2008 sebanyak 1,6 juta orang[3]. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga telah menggeser peran lansia, bakan dapat dikatakan peran tersebut dihilangkan. Sebaliknya, dalam struktur keluarga tertentu, peranan lansia justru terlalu mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada keluarga dengan orangtua (ayah/ibu) yang memiliki kesibukan yang tinggi, single parents, atau struktur-struktur lain yang memungkinkan dominasi lansia dalam keluarga.

Pergeseran peran yang dialami lansia inilah yang nampaknya membawa dampak bagi masyarakat. Banyaknya kasus-kasus penyimpangan sosial yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan (kriminalitas) yang dilakukan oleh lansia menjadi tanda adanya hubungan kausalitas antara perilaku menyimpang dengan dinamika sosial masyarakat, khususnya dalam hal ini dilakukan suatu segmen tertentu dalam masyarakat, yakni kelompok lansia.

Tindak kriminal yang dilakukan beragam, mulai dari pencurian hingga tindak pidana yang lebih berat, yakni pemerkosaan dan pembunuhan. Salah satunya adalah yang terjadi pada oknum B (60 tahun) yang membunuh cucu kandungnya sendiri demi menyembunyikan tindakan pelecehan seksual yang kerap dilakukan pada cucunya[4]. Dalam kasus ini, korban tinggal bersama sang kakek dikarenakan oleh orang tua dari sang cucu sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW.

Kasus serupa terjadi di Kabupaten Asahan[5], seorang kakek memperkosa cucunya sendiri yang tinggal bersamanya. Lain halnya dengan yang terjadi di Jakarta, seorang oknum AL (61 tahun, kakek dari 15 orang cucu) memperkosa seorang anak pemulung yang sering ia temui di tempat kerjanya[6]. Oknum AL sendiri tinggal di tempat yang disediakan di tempat kerjanya yakni gelanggang Jakarta serta mengontrak sendiri di daerah Jakarta Utara. Oknum mengaku bahwa tindakan tersebut didorong oleh kebiasannya menonton film porno.

Ketiga kasus yang disebutkan di atas pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan melibatkan lansia sebagai pelaku, dan bahwa sang pelaku sama-sama mengalami pergeseran peran grandparenthood, baik pergeseran tersebut mengarah ke kehilangan peran maupun peranan yang cenderung berlebihan (mendominasi) seperti pada dua kasus pertama.

Pada dasarnya, setiap individu yang bertambah tua akan mengalami suatu bentuk ‘pemisahan’ dengan komunitasnya diakibatkan oleh faktor-faktor kesehatan yang mempengaruhi kapabilitas seseorang, hal ini disebut sebagai disengagement[7]. Faktor disengagement ini ditambah dengan pergeseran peran grandparenthood lansia, menimbulkan motif-motif serta modus tertentu bagi mereka untuk melakukan perilaku yang menyimpang. Pada kasus-kasus di atas misalnya, disengagement terjadi pada pelaku yang tidak dapat melampiaskan hasrat seksualnya seperti layaknya orang dewasa biasa memperoleh peluang untuk melampiaskan hasrat seksualnya secara menyimpang melalui peran grandparenthoodnya yang cenderung bergeser. Faktor disengagement dan pergeseran peran inilah yang pada akhirnya juga mempengaruhi faktor-faktor containment mereka.

Ketika seorang individu mengalami disengagement, yaitu bahwa ia mengalami ‘pemisahan’ dengan komunitasnya (dalam hal ini, masyarakat), fungsi kontrol dari para pemegang kewenangan juga memiliki keterbatasan dalam meraih segmen ini.  Fungsi kontrol yang menunjuk pada seperangkat aturan, maupun nilai-nilai dalam masyarakat yang menjadi external containment bagi seseorang menjadi tidak efektif. Faktor internal containment juga menjadi melemah pada segmen ini, di mana para lansia yang ‘terpisah’ dari masyarakat kehilangan kapabilitas untuk melakukan relasi sosial yang sama dengan segmen usia lain serta kehilangan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam masyarakat[8]. Hal ini amat disayangkan, karena lansia yang biasa kita kenal sebagai kakek dan nenek bagi kita sebenarnya memiliki peran besar dalam masyarakat, khususnya peran-peran sehubungan dengan empat peran grandparenthood yang telah disebutkan di atas.

 



[1] Diane Papalia, E, Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Daskin. 2008. Human Development 10th Edition. USA : McGraw-Hill

[2] selebihnya dapat dilihat di: Vern L. Bengston & Joan F. Robertson. 1988. Grandparenthood. USA: Sage Publications. Hlm 21

[3] http://www.depkominfo.go.id/2009/05/22/jumlah-lansia-di-indonesia-165-juta-orang/

[4] cerita selengkapnya dapat dilihat di website tempo interaktif dengan judul ‘Kakek Pembunuh Cucu Ditangkap’, Jumat 30 November 2007, alamat website: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2007/11/30/brk,20071130-112668,id.html

[5] cerita selengkapnya dapat dilihat di website wikimu dengan judul ‘Kebiasaan Perkosa Cucunya Sendiri’, artikel tersebut merupakan kumpulan dari berita-berita sejenis: http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=2419

[6] ibid

[7] penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di buku: John Bond, Peter G. Coleman, Sheila M. Peace. 1994. Ageing in Society:an Introduction to Social Gerontology. UK : Sage Publications

 

[8] inti dari containment theory adalah bahwa terdapat faktor-faktor eksternal dan internal yang membatasi perilaku individu dalam masyarakat. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat di buku: Martin E. Wolfgang & Leonard Savits. 1962. The Sociology of Crime and Deliquency. New York: John Wiley & Sons.inc