-Tulisan ini dapat dibilang merupakan hasil dari stagnasi pemikiran akibat terlalu lama berlibur yg dipaksa unt tidak stagnan lg (maksa-hehehe..). pada intinya, saya buat tulisan ini dalam rangka pembuatan laporan kualitatif mandiri dari kegiatan latihan penelitian metode penelitian sosial departemen sosiologi universitas indonesia thn 2009. mudah"an tidak terlalu mengecewakan, dan apabila mengecewakan, sekali-kali mohon dimaklumi :) happy reading :)
SELAYANG PANDANG:
PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DESA PAGERHARJO
KECAMATAN SAMIGALUH, KABUPATEN KULONPROGO
DI YOGYAKARTA
Oleh: Chikita Rosemarie
Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar. Tercatat pada tahun 2008, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 225 juta jiwa, yang juga menempatkan Indonesia pada posisi keempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia[1]. Angka tersebut cenderung akan mengalami peningkatan, dan diperkirakan dapat mencapai 270 juta jiwa pada tahun 2015[2]. Suatu hal yang dapat menjadi suatu potensi Sumber Daya Manusia apabila diimbangi dengan program-program yang tepat, dan sehubungan dengan itu, salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah demi meningkatkan kualitas Sumber Daya penduduk adalah ‘Keluarga Berencana’ atau KB.
Diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Keluarga Nasional (Harganas) XV dan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) V Tahun 2008 yang diselenggarakan di Muara Sabak, Provinsi Jambi, pada tanggal 29 Juni 2008 lalu, program KB yang dimulai sejak era 1970‑an merupakan program untuk memperkecil keluarga, sehingga merupakan salah satu program pemerintah yang perlu dipertahankan karena memiliki makna mendalam dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat[3]. Aspek-aspek yang terdapat dalam pelaksanaan progam KB ini disesuaikan dengan Undang‑Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Terdapat empat aspek, yang antara lain: (1) pendewasaan usia perkawinan, (2) pengaturan kelahiran, (3) pembinaan ketahanan keluarga, dan (4) peningkatan kesejahteraan keluarga[4]. Pelaksanaan program KB sendiri sudah memberikan hasil positif di Indonesia sehubungan dengan penekanan Total Fertility Rate (TFR) yang berpengaruh positif pada perhitungan cost and benefit selanjutnya, yang salah satunya adalah penghematan biaya dan alokasi biaya pendidikan dan kesehatan[5].
Apabila dilihat dari target yang lingkupnya makro (kesejahteraan rakyat), program KB sendiri dilaksanakan secara meluas dengan difokuskan pada provinsi-provinsi dengan jumlah penduduk yang cenderung besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara[6]. Sehubungan dengan itu, di Kabupaten Kulonprogo, yang merupakan salah satu kota Kabupaten di provinsi DI Yogyakarta, jumlah peserta KB baru yang tercatat pada tahun 2008 adalah sebanyak 5.458 akseptor (8,48%). Tetap pada wilayah yang sama (Kabupaten Kulonprogo), peserta KB aktif tercatat sebanyak 47.632 akseptor (73,98%)[7].
Salah satu daerah di Kabupaten Kulonprogo yang juga mencanangkan program KB bagi masyarakatnya adalah Desa Pagerharjo yang merupakan bagian dari Kecamatan Samigaluh[8]. Seperti halnya dengan pelaksanaan program KB di daerah-daerah lainnya, program KB yang dilaksanakan di Desa Pagerharjo telah berlangsung semenjak era 1970an, dan berkembang pada dekade setelahnya, yakni tahun 1980an. Awal pelaksanaan program KB di Pagerharjo sendiri bukan berarti tidak memperoleh hambatan. Kegiatan sosialisasi yang dijalankan oleh para petugas juga sempat mengalami penolakan oleh sebagian masyarakat. Penolakan tersebut terjadi dikarenakan oleh rasa takut yang berkembang di masyarakat, yaitu ketidaktahuan masyarakat akan program KB itu sendiri. Namun, walaupun terdapat penolakan dari masyarakat, faktor budaya membuat penolakan tersebut menjadi tidak begitu berarti[9]. Selain itu, hambatan juga didapat dari letak geografis Pagerharjo yang merupakan daerah pegunungan, yang ketika pada masa itu belum memiliki sarana transportasi dan teknologi yang memadai.
Hambatan tersebut dapat diimbangi dengan konsistensi dari baik pemerintah setempat (daerah) dengan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)[10] dalam memberikan penyuluhan dan kegiatan-keiatan lain[11], serta penggunaan media seperti film dokumenter sebagai salah satu sarana sosialisasi. Dari pemerintah pusat sendiri, media televisi juga dipergunakan dalam mensosialisasikan program KB[12]. Dalam kegiatan sosialisasi program KB di Pagerharjo tersebut, faktor budaya juga memiliki peran penting. Adanya adat Tepo Seliro atau gotong royong atau kekeluargaan di dalam masyarakat membantu penyebaran informasi-informasi seputar KB. Dalam hal ini, proses sosialisasi terjadi secara bertahap. Dimulai dari tahapan yang bersifat birokratis (pemerintah daerah dan lembaga), dan dilanjutkan dengan penyebaran informasi yang didukung oleh adanya intensitas interaksi antar masyarakat yang bersifat Gemeinschaft (Paguyuban).
Faktor tingkat pendidikan yang tinggi juga memudahkan proses sosialisasi KB di Pagerharjo. Masyarakat Pagerharjo, yang telah mengenal pendidikan[13] cenderung mudah menerima informasi-informasi yang diberikan sehubungan dengan KB. Dari situlah, dapat dikatakan pula bahwa dalam entitas sosial masyarakat Pagerharjo sendiri juga sudah ada modal sosial yang dalam hal ini berupa budaya dan pendidikan, yaitu bahwa kedua hal tersebut membantu membawa masyarakat Pagerharjo ke arah perkembangan itu sendiri[14].
Perkembangan tersebut, yang dalam hal ini adalah keberhasilan program KB di Pagerharjo. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keberhasilan program KB tidak hanya memperbaiki tingkat TFR, namun juga memperbaiki tingkat kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan. Dari ranah kesehatan, adanya pemeriksaan rutin yang dilakukan di posko KB, memberikan pengetahuan tersendiri pada masyarakat mengenai penyakit-penyakit, khususnya sehubungan dengan organ reproduksi (kista, dll), dari situlah pengobatan terhadap penyakit-penyakit tersebut dapat dilakukan. Selanjutnya, prinsip dasar program KB (anak cukup dua; pengaturan jumlah anak demi perencanaan kesejahteraan lebih lanjut) membawa masyarakat ke arah perbaikan ekonomi, yang pada akhirnya membawa pula masyarakat ke arah perbaikan tingkat pendidikan serta kesejahteraan secara umum. Hal ini dilakukan secara melembaga, konsisten melalui adanya posko-posko KB (di puskesmas dan pustu), penyuluhan, serta kegiatan-kegiatan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini menjadi suatu kebiasaan dan kebanggaan tersendiri dalam masyarakat, dapat dilihat dari adanya simbol-simbol KB mulai dari monumen kecil sampai stiket yang dengan bangga ditempatkan di seluruh pedukuhan di Pagerharjo oleh masyarakat sendiri.
Dari situ pulalah, program KB membawa dampak positif yang dalam hal ini adalah terciptanya nilai-nilai baru dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui adanya kesadaran yang tercipta dalam masyarakat, yaitu untuk tidak memiliki anak lebih dari dua, dengan atau tanpa mengikuti program KB[15]. Dinamika masyarakat yang didukung oleh perkembangan teknologi, sarana transportasi, sarana pendidikan, serta sosialisasi seputar isu kesejahteraan dan kesehatan melalui program KB memunculkan adanya suatu modal sosial lain yang berupa nilai-nilai tersebut. Hal ini terjadi secara bertahap dan melalui suatu proses yang melibatkan kurun waktu yang lama[16], menghasilkan suatu perubahan sosial dalam masyarakat.
Konsistensi dan faktor kelembagaan yang juga ditunjukkan dalam kerjasama antara masyarakat, pemerintah daerah, serta petugas KB juga berhasil memberikan penanganan atas dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh program KB itu sendiri. Adanya beberapa kasus kegagalan program KB yang ditangani secara cepat memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk mempertahankan eksistensi program tersebut dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kasus kegagalan KB juga tidak banyak terjadi.
Sebagai kesimpulan, program KB yang berjalan di desa Pagerharjo dapat berhasil dengan adanya tiga aspek utama, yaitu: (1) Konsistensi yang melembaga, yang melibatkan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat sendiri, (2) Pemaksimalan sumber daya media dalam proses sosialisasi, dan (3) Adanya modal sosial dalam masyarakat yang membantu masyarakat tersebut dalam mencapai tujuan tertentu. Melalui potensi-potensi tersebut, dapat dikatakan pula bahwa program KB yang dilaksanakan di Pagerharjo telah dapat memenuhi keempat aspek-aspek program KB, sesuai dengan Undang‑Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Tentunya keberhasilan tersebut diharapkan dapat terus melembaga, berkembang, dan bersifat continuu, serta menjadi contoh bagi program-program serupa di daerah-daerah lain di Indonesia.
------------------------------------
[1] Berdasarkan pada artikel koran KOMPAS, ‘Penduduk Indonesia Bisa 270 Jiwa’, tertanggal 11 Juli 2008. Dapat diakses pada: http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/11/13413019/penduduk.indonesia.bisa.270.juta.jiwa
[2] ibid
[3] Berdasarkan pada tulisan ‘KB dan Kemandirian Bangsa’, tertanggal 4 April 2009, oleh Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan PMPD PKB Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DIY.
Dapat diakses pada: http://www.bernas.co.id/news/cybernas/WACANA/8217.htm atau http://www.kulonprogokab.go.id/file_news/attach/KB%20&%20Kemandirian%20Bangsa.pdf
[4] ibid
[5] Angka TFR pada tahun 1970 lalu sebesar 5,6 anak, Angka tersebut 2,6 per ibu, dan terus menurun sampai dengan sekarang. Selebihnya dapat dilihat pada: ibid
[6] Berdasarkan pada tulisan ‘Menggapai Sasaran Kependudukan dan KB Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009’, tertanggal 25 November 2008, oleh Bambang Sakmento.
Dapat diakses pada: http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=108&Itemid=9
[7] Menurut Statistics Indonesia, ‘Peserta KB’ adalah yang tercatat sebagai peserta program KB, sedangkan ‘Peserta KB aktif’ adalah seseorang yang sedang menggunakan alat KB. Dapat diakses pada: http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/330/330/
[8] Selanjutnya, data-data dan pernyataan-pernyataan yang dimuat merupakan hasil dari wawancara informan yang dilakukan pada tanggal 28 Juli 2008 di kediaman informan, Pedukuhan Plono Barat, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DIY.
[9] Informan menyebutkan adanya faktor budaya Jawa yang menyebabkan masyarakat cenderung sungkan untuk menolak.
[10] Lebih dikenal sebagai ‘Petugas KB’.
[11] Adanya lomba KB serta kegiatan-kegiatan yang meliputi NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera)
[12] Pada masa itu, terdapat tayangan-tayangan bertajuk KB yang disiarkan oleh TVRI sebagai stasiun TV Nasional.
[13] Menurut hasil observasi serta hasil wawancara kelompok, sebelum berdirinya desa Pagerharjo, masyarakat daerah tersebut telah menerima pendidikan dasar yang diberikan oleh misionaris-misionaris Kristen/Katolik yang datang dari daerah Bantul. Sarana pendidikan yang ada di Pagerharjo yang ada sampai sekarang pun terdapat dalam berbagai tingkatan, mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Pendidikan Agama (Pengajian), SD, SMP, dan SMK.
Menurut hasil wawancara dengan informan, masyarakat desa Pagerharjo sekarang ini juga sudah sebagian besar bebas 3B (Buta Baca Tulis).
[14] Definisi ‘Modal Sosial’ menurut Pierre Bourdieu, yakni suatu sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. (Grootaert, 1998)
[15]Sekarang, program KB yang ada di Pagerharjo adalah Program KB Mandiri, kontrol dilakukan melalui puskesmas terdekat dan pustu yang ada di tiap pedukuhan.
[16] Dari era 1970an hingga sekarang (29 tahun).