-Simon Szreter, siapapun yang pernah belajar maupun mengkaji kajian Modal Sosial pasti pernah mendengar namanya. Salah satu tokoh penting dalam perkembangan teori modal sosial melalui tesisnya 'The State of Social Capital; Bringing Back the Power, Politics, and History'. Pada kesempatan ini, saya mencoba meninjau tesis 'indah' beliau yang tertuang dalam essai 50 halaman tersebut. Tidak ada yg benar, tidak ada yang salah, hanya keinginan luhur dalam mencari pengetahuan ;). Happy reading :)
Modal Sosial dalam Dinamikanya
Tinjauan dan Kritik Terhadap Szreter
Dalam menyikapi tesis Simon Szreter mengenai modal sosial, ada baiknya memulai dengan pembahasan mengenai konsep modal sosial menurut Robert Putnam yang juga merupakan landasan awal dari konsep modal sosial Szreter. Putnam, dalam tesisnya, ‘Bowling Alone; The Collapse and Revival of American Community’ melihat bahwa modal sosial mengarah pada hubungan antara individu-individu dalam kelompok -jaringan sosial (social networks), serta norma saling menguntungkan (norms of reciprocity) dan kepercayaan (trustworthiness) yang dibentuk melalui hubungan tersebut. Putnam menekankan pada bentuk hubungan yang bersifat setara (mutual obligation), yang diatur dengan seperangkat aturan, dan mendorong norma saling menguntungkan, hubungan tersebut menjadi bagian dari jaringan dalam kehidupan sehari-hari dan dipergunakan dalam mencapai keuntungan sosial dari kelompok tersebut.
Secara sederhana, Putnam menggambarkan modal sosial seperti konsep Ross Gittel dan Avis Vidal, yaitu bahwa modal sosial memiliki dua dimensi yang adalah ‘bonding’ dan ‘bridging’. Dimensi bonding menunjuk berat pada jaringan yang dibentuk melalui identitas bersama. Sedangkan Bridging jaringan asosiasi. Hubungan dilakukan tidak berdasarkan pada latar belakang. Interaksi dilakukan demi terjadinya aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang ada, tidak dapat dicapai sendiri, serta tidak pula didapatkan melalui jaringan yang terbentuk di dalam kelompok.
Secara konseptual, Srzeter melihat adanya kelemahan pada tesis Putnam dalam ranah konteks. Konsep Putnam dirasa kurang sesuai pada ranah empiris walaupun telah dengan jelas membedakan kedua dimensi dalam modal sosial. Dalam hal ini, Szreter melihat bahwa Putnam, yang mencoba mendeskripsikan masyarakat liberal (Amerika) menemukan bahwa adanya dimensi kelas serta perbedaan keseimbangan antara bonding dan bridging pada masyarakat dan kelompok yang berbeda. Sebaliknya, Pierre Bourdieau (1972) yang tidak berhasil memberikan pembedaan terhadap dimensi modal sosial, secara konseptual menuai keberhasilan dalam ranah konteks. Bourdieau selalu menekankan bahwa seluruh akses terhadap modal (termasuk modal sosial) yang dimiliki oleh individu selalu tergantung pada posisi di mana individu itu berada pada masyarakat secara umum, dalam hal ini adalah masyarakat liberal. Bourdieau menyatakan adanya bentuk konversi dari modal-modal tersebut, bahwa suatu modal dalam masyarakat, apapun bentuknya, dapat menjadi modal sosial apabila sesuai dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Selanjutnya, sebagai pengaruh dari kedua pemikiran tersebut, Szreter berusaha memperbaharui konsep modal sosial Putnam.
Dalam Bowling Alone, Szreter melihat adanya perbedaan dalam pemikiran Putnam. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada: (1) Putnam tidak lagi melihat bahwa modal sosial berkembang secara alamiah, (2) Putnam melihat kekurangan dari modal sosial, dan (3) adanya pembedaan dimensi bonding dan bridging. Namun ada satu hal yang belum diungkapkan Putnam, yang dirasa perlu untuk dikembangkan secara lebih spesifik, yakni keberadaan Negara (State), yang hanya diulas Putnam dalam pengantar tesisnya.
Pada perkembangannya, Szreter menyusun suatu tesis, yang secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut: yaitu pertama, bahwa adanya hubungan mendasar antara modal sosial yang ada pada masyarakat terntentu (kelompok) dengan peran negara atau kelompok yang lebih besar (mengarah pada jangkauan power). Yang kedua adalah bahwa lingkungan ideologis dan ekonomi secara historis berubah mengakibatkan penurunan serta peningkatan modal sosial.
Sehubungan dengan tesis tersebut, Michael Woolcock, yang memiliki latar belakang sosiologi dan studi pembangunan menyatakan adanya konsep Linking, yang menunjuk pada hubungan pertukaran, yang dilakukan oleh dua kelompok, yang bukan hanya berbeda dalam jenis tetapi juga berada pada posisi yang berbeda dalam jangkauan kuasan dan akses terhadap sumber daya.. Dimensi Linking pada modal sosial menjelaskan jaringan serta hubungan yang lebih bersifat institusional dengan unequal agents. Secara sederhana, hubungan tersebut dapat dilihat pada hubungan yang tercipta antara suatu komunitas dengan agen eksternalnya. Terisnpirasi oleh konsep dari Woolcock serta sejarah jatuhnya Weimar Republic yang digambarkan oleh Gunter Grass, Szreter melihat pentingnya menambahkan konsep linking pada konsep modal sosial Putnam.
Walaupun begitu, Szreter menyadari adanya kelemahan pada aplikasi dari konsep linking. Hubungan yang terjadi pada dimensi linking dirasa sulit untuk dapat dicapai. Hal ini diakibatkan oleh adanya keperbedaan tingkat kuasa dan sumber daya pada kedua kelompok yang berbeda tersebut. Hubungan yang terjalin justru merujuk pada bentuk ketimpangan, dan di dalamnya justru terdapat ketidakpercayaan (mutual distrust), ketidakpengertian (incomprehension), ketidakpedulian (ignorance), atau ketidaksukaan (dislike). Ciri-ciri tersebut terjadi pada masyarakat kontemporer Amerika Serikat selama tahun 1980an dan 1990an.
Bagi Srzeter, modal sosial menjadi suatu pedang bermata dua (double-edged sword), dengan adanya jaringan yang dapat membentuk eksklusi serta dominasi, sekaligus memberikan bentuk emansipasi (Field, 2005; 133). Namun, secara analitis, di samping memiliki kelemahan dalam hal aplikasi, konsep linking justru menjadi banyak bermanfaat karena selain memasukkan modal sosial pada studi historis, juga mengundang berbagai pertanyaan mendasar mengenai bagaimana menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi bentuk pertukaran dan dialog yang dapat mendukung hubungan tersebut. Srzeter melihat hal-hal ini sebagai tugas bagi pemerintah dalam membangkitkan modal sosial serta partisipasi warganegara (civic participation) sebagai tujuan dari keberadaan pasar bebas dan kekuatan negara.
Dari situlah, dapat dilihat bahwa pemikiran konsep modal sosial telah meluas pada ranah politis, ideologis, nilai moral (moral values), peranan negara (the role of state), serta pemberlakuan relasi kekuasaan dalam dunia yang penuh ketimpangan. Srzeter , melalui pemikirannya, berhasil melakukan apa yang tidak berhasil dilakukan oleh Putnam, yaitu membuka peluang terciptanya pemikiran-pemikiran baru dalam studi perkembangan, kenegaraan, dan politik, serta sosial-budaya pada umumnya. Namun, kelemahan dari konsepsi Srzeter dinyatakan oleh John Field, yang pernah terjun langsung ke dalam dunia politik di Inggris, dalam bukunya ‘Social Capital and Lifelong Learning’ (2005).
Menurut Field, negara tidak perlu memegang peranan penuh dalam mengembangkan modal sosial. Dimensi bonding dan bridging pada modal sosial masyarakat pada hakikatnya cukup dalam mempertahankan kekuatan kelompok. Jaringan yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam hal pertukaran ide serta informasi, yang pada nantinya dapat membawa hasil yang tak terduga berupa perkembangan modal sosial masyarakat itu sendiri. Khususnya pada masyarakat dengan relasi kekuasaan yang timpang. Field melihat bahwa modal sosial merupakan suatu konsep yang kompleks dan penuh dengan isu-isu multidimensional yang pada akhirnya melupakan peluang yang tak terduga dari keberdaan intervensi dan ketimpangan. Srzeter, yang mengutamakan partisipasi warganegara, justru melupakan keberadaan energi sosial yang ada pada warganegara sebagai suatu bentukan dari masyarakat yang madani.
Wacana:
· John Field, Social Capital and Lifelong Learning, 2005, Central European Journal of Public Policy.
· Simon Szreter, The State of Social Capital: Bringing Back in Power, Politics, and History, 2002, JSTOR.
(Chikita Rosemarie, 24 - 01 - 2010)