Oleh: Chikita Rosemarie[1]
Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu, baik desa maupun kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya.
Sosiologi, sebagai suatu kajian ilmu melihat kehidupan baik di desa maupun di kota sebagai suatu ‘arena’ yang memungkinkan terjadinya fenomena-fenomena sosial. Yang patut diperhatikan adalah definisi dari desa dan kota itu sendiri. Perbedaan dari desa dan kota, secara sosiologis terletak pada proses terbentuknya. Dalam kajian sosiologi perkotaan (urban sociology) dikenal beberapa istilah penting, yakni: Kota (city), Perkotaan (urban), Urbanisasi (urbanization) dan Urbanisme (urbanism). Kota dapat diartikan sebagai suatu batasan wilayah administratif, Perkotaan sebagai suatu wilayah dengan karakteristik dari Kota, sedangkan Urbanisasi dan Urbanisme sebagai suatu pendekatan akan proses yang merubah wilayah rural (pedesaan) menjadi wilayah urban (perkotaan).
Proses yang Menghasilkan Urban Culture
Pada hakikatnya, studi mengenai kota dan perkotaan selalu mengarah pada ‘proses’ itu sendiri. Proses yang dimaksud disini bukan hanya suatu proses politik yang mengabsahkan suatu wilayah desa menjadi wilayah administratif ‘kota’, namun suatu proses sosio-kultural yang melibatkan suatu masyarakat dengan ciri khas dan dinamika tertentu. Proses itulah yang disebut sebagai ‘Urbanisasi’ atau ‘Urbanisme’, dan yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut sebagai urban culture.
Urban culture, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu sistem dari nilai, norma, dan hubungan sosial yang melibatkan aspek historis serta pembentukan organisasi dan transformasi tertentu[2]. Ferdinand Tonnies, sebagai salah seorang sosiolog yang mempelopori studi perkotaan melihat urban culture sebagai suatu hasil evolusi dari bentuk komunitas menjadi bentuk asosiatif yang memiliki karakteristik akan adanya pembagian peran, melemahnya loyalitas, dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer[3].
Tonnies, melalui essaynya ‘Gemeinschaft und Gesellschaft’ (1887)[4] mengembangkan pemikiran yang serupa dengan pemikiran Durkheim (1893) mengenai solidaritas mekanik dan organik. Yaitu bahwa Tonnies melihat adanya suatu bentuk evolusi dari masyarakat yang memiliki solidaritas tipe mekanik yang merupakan karakteristik masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang memiliki solidaritas organik yang merupakan karakteristik masyarakat perkotaan. Masyarakat yang sebelumnya disebut Tonnies sebagai gemeinschaft (community; komunitas; paguyuban) berkembang menjadi gesellschaft (society; masyarakat; patembayan).
Louis Wirth (1938), dalam hal ini, mengembangkan konsepsi yang lebih spesifik mengenai mengenai kota. Wirth melihat adanya konsekuensi sosiologis dari ukuran, kepadatan, dan heterogenitas (size, density, and heterogeinity) dari suatu wilayah. Semakin besar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota, semakin besar pula diferensiasi sosial, semakin jauh jarak antar individu, dan semakin tidak stabil keanggotaan dalam kelompok[5]. Ketiga aspek inilah yang menurut Wirth merupakan karakteristik atau bentuk kultural dari suatu kota (urban culture) yang menghasilkan suatu konsekuensi, yakni masyarakat yang bermasalah, teralienasi, manipulatif, dan menunjukkan ketidaksukaan[6].
Perkembangan Urban Culture di Bandung
Bandung, sebagai suatu kota juga mengalami proses urbanisasi. Secara historis, proses urbanisasi wilayah Bandung sudah dimulai sejak pertama kali ia berdiri, yakni pada abad ke-14 (1488) sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Ia menjadi Kabupaten sendiri tiga abad setelahnya, yakni pada tahun 1799. Kota Bandung juga mengalami fase-fase mulai dari Geemente (kotamadya), Staadsgemeente (daerah otonom), dan Haminte (kota) pada masa penjajahan Belanda. Ia secara administratif menjadi Pemerintah Kota Bandung yang kita kenal sekarang mulai dari tahun 1974[7].
Dalam hal ukuran wilayah, Kota Bandung juga mengalami perluasan akibat dari pertambahan penduduk yang signifikan setiap tahunnya. Pertambahan penduduk tersebut sudah terjadi semenjak jaman penjajahan Belanda sampai akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 1987, wilayah administrasi Kota Bandung diperluas sehingga menjadi 16. 729, 65 Ha dengan pembagian wilayah administrasi mulai dari tingkat Kecamatan hingga RT (Rukun Tetangga)[8]. Jumlah penduduk Kota Bandung sendiri adalah 2. 270. 970 Jiwa[9].
Bandung, sejak dahulu selalu menjadi daerah pemusatan kegiatan. Pada jaman penjajahan Belanda, Bandung sebagai wilayah yang dianggap sebagai salah satu kawasan terbaik menjadi kawasan perumahan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Jawa. Dalam hal ini, Bandung sebagai suatu wilayah telah memperlihatkan suatu fungsi tertentu. Fungsi tersebut berkembang seiring dengan pertambahan penduduk dan dikeluarkannya UU Desentralisasi tahun 1903 yang memberikan otonomi daerah (Staadsgemeente) serta pembangunan dan pemeliharaaan fasilitas dan infrastruktur bagi beberapa kota di Pulau Jawa termasuk Kota Bandung.
Pertambahan penduduk, baik karena aspek kelahiran maupun aspek pendatang, serta pembangunan infrastruktur pada akhirnya akan memperbesar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota. Selanjutnya, sesuai dengan konsep Wirth, munculah diferensiasi sosial. Pada dasarnya, diferensiasi sosial, membawa perbedaan kepentingan. Dalam hal ini, kepentingan yang dulunya hanya berkisar pada kepentingan komunitas bertambah dan menjadi semakin spesifik, seperti kepentingan rekreasional, kepentingan okupasional, kepentingan pendidikan, dan lain-lain. Masyarakat yang dahulunya merupakan suatu komunitas spasial yang besar mulai terbagi menjadi beberapa komunitas yang sifatnya asosiasional (interest-oriented).
Hal inilah yang menyebabkan, apa yang disebut Tonnies sebagai pembagian peran (karena peran disesuaikan dengan kepentingan), melemahnya loyalitas (karena interest-oriented), dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer (karena hubungan sosial yang dilakukan disesuaikan dengan kepentingan). Tabrakan dari kepentingan-kepentingan yang berbeda inilah yang dikatakan oleh Wirth dapat menyebabkan ketidakstabilan.
Urban Culture dan Perubahan Sosial
Walaupun secara konseptual urban culture menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat, namun dalam studi-studi perkotaan, kemunculan urban culture tidak melulu menjadi suatu proses yang bersifat negatif. Urban culture yang menciptakan masyarakat urban (urban society) diharapkan dapat menjadi suatu fase bagi masyarakat untuk dapat bertransformasi dalam suatu proses perubahan sosial yang lebih besar. Keberhasilan masyarakat perkotaan dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan sosial diharapkan dapat menjadi suatu revolusi urban (urban revolution)[10], yang mengedepankan pada suatu bentuk kohesi sosial pada masyarakat perkotaan. Bukan hanya bagi Kota Bandung saja, namun juga kota-kota lain di Indonesia, maupun dunia.
[1] Penulis adalah mahasiswi jurusan sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari: “a certain system of values, norms, and social relations possessing a historical specificity and it’s own logic of organization and transformation.”
Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
[3] Diterjemahkan secara bebas dari: “as the evolution of a community form to an associative form, characterized by segmentation of roles, a multiplicity of loyalties and a primacy of a secondary social relations over primary social relations.”
Ibid.
[4] Diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi ‘Community and Society’.
Jan Lin and Christopher Mele (ed). 2005. The Urban Sociology Reader. Routledge: Park Avenue.
[5] Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
[6] William G. Flanagan. 1995. Contemporary Urban Sociology. Cambridge University Press.
[7] Berdasarkan pada ‘Bandung Dalam Angka 2005’, Bab II. Dapat diakses melalui website resmi pemerintah Kota Bandung: bandung.go.id
[8] Ibid..
[9] Berdasarkan pada Susenas 2005.
Dapat dilihat pada ‘Bandung Dalam Angka 2005’, Bab III. Dapat diakses melalui website resmi pemerintah Kota Bandung: bandung.go.id
[10] Dengan pengertian: “the ensemble of transformations undergone by contemporary society, in order to pass from the period in which the urban problematic will decisively triumph, in which the search for solutions and modalities proper to urban society will become of prime importance.”
Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.