Saturday, September 27, 2008

Antara Daging Busuk, TPA, dan 'Pulau Harta Karun Warga'

artikel ini adalah artikel pertama yang saya buat untuk newsletter Yayasan Lantan Bentala ed-41. ini ada artikel yang masih 'fresh' dalam artian belum kena revisi.. hehehe..
pokoknya, selamat menikmati.. :)



Ramai diberitakan akhir-akhir ini, kasus-kasus baru yang ditemukan berkenaan dengan sampah. Mulai orang-orang yang berjualan daging busuk yang berasal dari sampah hingga para warga kawasan kumuh yang mengambil sampah-sampah sisa pasar swalayan terdekat, yang notabene juga merupakan bahan-bahan makanan yang telah membusuk yang mereka pergunakan untuk konsumsi mereka sehari-hari.


Jujur hati saya tersayat-sayat melihat kenyataan pahit yang terjadi di negara, dan bahkan daerah tempat saya tinggal dan melakukan kegiatan saya sehari-hari tersebut, yaitu jakarta dan sekitarnya. Belum cukup dirundung malang, orang-orang tersebut pun bahkan diabaikan oleh pihak-pihak yang berwajib. Saya pribadi pun langsung 'panas' ketika melihat melalui siaran TV lokal di rumah saya, komentar dari menteri kesehatan sendiri, Ibu Siti Fadilah, yang kira-kira mengatakan demikian,

"..pada kenyataannya belum ada laporan mengenai orang yang keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang berasal dari sampah. Jadi belum dapat dikatakan apa makanan tersebut betul-betul limbah atau bukan.."

Seakan belum cukup 'panas' mendengar komentar tersebut, disiarkan pula komentar dari Bapak Prijanto yang telah KITA pilih sebagai Wakil Gubernur Jakarta periode ini ketika ditanya mengenai kasus 'penggerayangan sampah' ini sebagai indikator tingkat kemiskinan di daerah Jakarta dan sekitarnya. Beliau dengan sangat percaya diri menyatakan,

"..hal ini tidak ada hubungannya dengan tingkat kemiskinan, masalah sampah ya masalah sampah. Kalau tingkat kemiskinan lihat saja data di BPS.."

Saya hanya bisa mengelus dada dan menggeleng-gelengkan kepala (dan lalu mematikan TV karena berita selanjutnya adalah mengenai 'Manusia Kawat' yang jujur saya pun tidak kuat melihatnya).

Benar-benar tidak habis pikir, betapa pendek rupanya akal seorang 'pemegang kewenangan' dalam melihat masalah publik. Sudah jelas di depan mata kita disiarkan warga yang dengan seakan berada di pulau harta karun mengais-ngais sampah sehingga tangannya belumuran belatung, masih dipertanyakan pula apa sampah tersebut limbah atau bukan. Permasalahan ini, baik yang dapat kita refleksikan melalui kasus Darmo dan Istrinya yang berjualan daging busuk sampah olahan maupun melalui kasus warga daerah slums di Jakarta yang mempergunakan sampah busuk dari swalayan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan mereka tentunya bukanlah semata-mata 'masalah sampah' seperti yang sebelumnya diutarakan Bapak Prijanto. Masalah ini memiliki nilai yang jauh lebih luas dari itu, masalah ini merupakan suatu masalah sosial yang bukan saja menjadi indikator tingkat kemiskinan, namun juga menunjukkan bahwa secara sistemik, tidak ada upaya dari pihak berwenang untuk mengurus sampah yang tak dapat dipungkiri jumlahnya memang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, upaya yang hendak dilakukan Pemda DKI demi penanganan masalah ini terkesan terlalu menggampangkan, yaitu penutupan Tempat Pembuangan Akhir.

Saya melalui artikel ini, secara pribadi ingin mengemukakan perasaan kecewa saya atas perspektif yang dangkal tersebut. Saya memang belum mengobservasi kasus ini secara lebih mendalam. Namun, kita semua tidak dapat memungkiri bahwa upaya pemenuhan kebutuhan yang dilakukan warga seperti Darmo dan istrinya maupun upaya-upaya serupa yang dilakukan oleh ratusan dan bahkan ribuan warga lain telah berlangsung bertahun-tahun. Darmo sendiri mengakui telah 5 tahun menjalani bisnis yang rupanya diturunkan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa upaya tersebut telah membentuk suatu pola, di mana juga terjadi kesinambungan. Lalu, apabila TPA benar-benar ditutup, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib mereka-mereka semua yang menggantungkan hidup pada TPA? Patut diingat bahwa TPA sendiri pun merupakan lahan bagi banyak orang dalam mencari nafkah dan menunjang kebutuhan mereka sehari-hari. Bagi banyak sekali warga Jakarta dan sekitarnya, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa TPA bagaikan sebuah 'Pulau Harta Karun'.

Oleh karena itulah, dalam penangangan kasus ini, marilah kita melihat ke aspek-aspek yang lebih mendasar. Salah satunya adalah PENGOLAHAN SAMPAH.

Sampah sendiri tidak semuanya harus benar-benar menjadi 'sampah' atau 'tidak memiliki nilai guna'. Ada banyak sampah yang memang masih memiliki nilai guna dan memiliki renewable value, dan sampah-sampah seperti inilah yang semestinya diberikan perhatian khusus, yang mana dalam prosesnya dapat menunjang kehidupan masyarakat khususnya tingkat ekonomi bawah seperti Darmo dan istrinya maupun warga kawasan slums tersebut, sekaligus secara ekologis menunjang kegiatan pelestarian lingkungan. Langkah awalnya adalah dari pemilahan sampah-sampah itu sendiri. Melalui kegiatan pemilahan sampah, minimal antara sampah organik dengan non organik. Dari situ dapat dilanjutkan ke arah pemilahan, sampah mana yang memang masih memiliki nilai guna dan renewable value, di mana selanjutnya TPA pun dapat menjadi 'Pulau Harta Karun' yang lebih sehat bagi warga.

Upaya-upaya seperti inilah yang diharapkan dapat ditransisikan nilainya baik secara struktural maupun kultural. Sehingga dapat tercipta suatu kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menangangi masalah ekologi-sosial, di mana tercipta pula suatu nilai dan lifestyle yang sehat dan positif karena dilakukan demi kepentingan bersama, dan bukan hanya seperangkat regulasi yang tidak efektif karena tidak tepat pada sasaran.



(Chikita Rosemarie, 26-September-2008)





*Kisah tentang Darmo dan Istrinya saya baca di Suara Pembaruan (lupa edisi kpn krn bahannya dikirim oleh dosen saya), dan kisah warga kawasan slums saya lihat di tayangan 'Redaksi Sore' Trans7, minggu 21 September 2008

Monday, September 22, 2008

Aku, Dia, Sungai, dan Laut

ia ingin menjadi laut
karena baginya aku adalah sungai
sungai yang bercabang mulai dendritik hingga pinat
namun mengalir tajam memburu muara

ia ingin menjadi laut
karena yakinkan bahwa akulah sungainya
aku sungai yang bermuarakan lautnya
mengalir dan mengalir sampai padanya

ia ingin menjadi laut
yang diam menunggu aliran sungai
diam menunggu biarkan sang sungai mencari

ya,
betapa ingin ia menjadi laut
namun tak pernah bisa ia menerima
bahwa letak topografis sungai lebih tinggi daripada laut
dan bahwa laut menjadi asin karena menunggu..


(Chikita Rosemarie, Sept-22-2008)

Sunday, September 7, 2008

Sebelum Ku Terlelap

kuteringat kala hujan
di hari itu,
kala petang mulai menjelang
kumerebah diam dalam kesepian
bertolak sayu dalam penat
perlahan kucoba pejamkan mata
gambaran wajahmu mulai terlihat
menepis gemuruh badai di luar sana
aku pun lalu terlelap,
dan gambaran wajahmu tak lagi terlihat

(Chikita Rosemarie, Agt-31-2008)