Tuesday, December 29, 2009
251209
Wednesday, December 23, 2009
My Article on LPM Kentingan's Academic Journal
Lansia dan Penyimpangan Sosial
Berdasarkan teori perkembangan manusia, individu akan memasuki tahap lansia pada usia 65 tahun yang ditandai dengan adanya penuaan. Di Indonesia, usia 55 tahun sudah memasuki masa pensiun karena dianggap tidak produktif lagi untuk bekerja. Berdasarkan kedua data diatas, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah tahapan akhir dalam perkembangan baik perkembangan manusia maupun perkembangan keluarga yang ditandai dengan adanya penuaan, penurunan aktivitas fisik, dan hilanganya pekerjaan[1].
Sebagai seorang anggota masyarakat, lansia pernah mengalami fase usia yang secara kategorial berada di bawah fase usianya yang sekarang. Pada prosesnya, mereka menjalankan peran tersebut dalam masyarakat sampai pada akhirnya menyandang status sebagai ‘lansia’ yang memiliki peran yang berbeda dengan peran yang mereka jalani sebelumnya. Dalam kajian sosiologi keluarga, peranan lansia tersebut dikatakan sebagai peran Grandparenthood.
Peran grandparenthood yang dipegang oleh lansia secara garis besar dapat kita lihat dalam peran lansia sebagai kakek dan nenek dalam keluarga. Peran-peran tersebut dapat dirumuskan secara teoritis dalam teori simbolis (Symbolism and the Multiple Meanings of Grandparentings) yang diungkapkan oleh Vern L. Bengston & Joan F. Robertson (1988)[2], peran-peran tersbut antara lain: (1) The ‘Being There’ Symbol, yaitu bahwa seorang lansia dilihat sebagai seorang figur yang ‘dapat diharapkan’ oleh generasi yang lebih muda, (2) The ‘Family National Guard’, menekankan pada peranan lansia dalam membantu pelaksanaan peraturan dalam keluarga, memberikan perlindungan, dan memberikan perhatian ketika dibutuhkan, (3) Grandparents as Arbitrators: From Transmission to Negotiations, bahwa lansia memegang fungsi arbitrasi sebagai ‘penengah’ yang dapat menjembatani proses negosiasi intergenerasional, (4) The Social Construction of Biography, lansia memegang peran yang sangat besar dalam membangun hubungan rasional antara masa lalu, masa kini, dan masa depan kita.
Keempat peranan tersebut dapat direalisasikan apabila relasi antar anggota keluarga berjalan dengan baik. Terdapat pemahaman yang sama akan peranan masing,-masing baik kakek/nenek, ayah/ibu, serta anak. Baik tidaknya relasi tersebut dapat dilihat dari frekuensi interaksi antara lansia (kakek/nenek) dengan anggota keluarga lain, seberapa besar peran mereka dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, seberapa besar symbolic meaning mereka sebagai ‘tetua’ dalam keluarga, dan lain lain. Dalam hal ini, lansia sebagai kakek/nenek telah dapat memaksimalkan fungsi dan peranannya dalam keluarga, yaitu fungsi grandparenthood tersebut.
Namun, pada realitanya, peranan tersebut tidak berjalan dengan baik. Relasi antara lansia dengan anggota keluarganya telah berubah seiring dengan perubahan struktur keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat yang cenderung memiliki tipe solidaritas organik, yakni masyarakat perkotaan. Pada masyarkat perkotaan, peranan para lansia sudah tergeser secara tidak langsung melalui fungsi mereka dalam keluarga yang banyak di dominasi oleh ayah, ibu, dan anak.
Tergesernya peran mereka juga dapat dilihat dengan semakin banyaknya lansia yang ditempatkan di panti jompo, bahkan tidak sedikit yang cenderung terlantar. Hal ini dapat dilihat pada data Departemen Komunikasi dan Informatika yang menyebutkan bahwa jumlah lansia yang terlayani kurang lebih lima persen dari jumlah lansia terlantar yang menurut data Pusdatin Kesos tahun 2008 sebanyak 1,6 juta orang[3]. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga telah menggeser peran lansia, bakan dapat dikatakan peran tersebut dihilangkan. Sebaliknya, dalam struktur keluarga tertentu, peranan lansia justru terlalu mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada keluarga dengan orangtua (ayah/ibu) yang memiliki kesibukan yang tinggi, single parents, atau struktur-struktur lain yang memungkinkan dominasi lansia dalam keluarga.
Pergeseran peran yang dialami lansia inilah yang nampaknya membawa dampak bagi masyarakat. Banyaknya kasus-kasus penyimpangan sosial yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan (kriminalitas) yang dilakukan oleh lansia menjadi tanda adanya hubungan kausalitas antara perilaku menyimpang dengan dinamika sosial masyarakat, khususnya dalam hal ini dilakukan suatu segmen tertentu dalam masyarakat, yakni kelompok lansia.
Tindak kriminal yang dilakukan beragam, mulai dari pencurian hingga tindak pidana yang lebih berat, yakni pemerkosaan dan pembunuhan. Salah satunya adalah yang terjadi pada oknum B (60 tahun) yang membunuh cucu kandungnya sendiri demi menyembunyikan tindakan pelecehan seksual yang kerap dilakukan pada cucunya[4]. Dalam kasus ini, korban tinggal bersama sang kakek dikarenakan oleh orang tua dari sang cucu sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW.
Kasus serupa terjadi di Kabupaten Asahan[5], seorang kakek memperkosa cucunya sendiri yang tinggal bersamanya. Lain halnya dengan yang terjadi di Jakarta, seorang oknum AL (61 tahun, kakek dari 15 orang cucu) memperkosa seorang anak pemulung yang sering ia temui di tempat kerjanya[6]. Oknum AL sendiri tinggal di tempat yang disediakan di tempat kerjanya yakni gelanggang Jakarta serta mengontrak sendiri di daerah Jakarta Utara. Oknum mengaku bahwa tindakan tersebut didorong oleh kebiasannya menonton film porno.
Ketiga kasus yang disebutkan di atas pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan melibatkan lansia sebagai pelaku, dan bahwa sang pelaku sama-sama mengalami pergeseran peran grandparenthood, baik pergeseran tersebut mengarah ke kehilangan peran maupun peranan yang cenderung berlebihan (mendominasi) seperti pada dua kasus pertama.
Pada dasarnya, setiap individu yang bertambah tua akan mengalami suatu bentuk ‘pemisahan’ dengan komunitasnya diakibatkan oleh faktor-faktor kesehatan yang mempengaruhi kapabilitas seseorang, hal ini disebut sebagai disengagement[7]. Faktor disengagement ini ditambah dengan pergeseran peran grandparenthood lansia, menimbulkan motif-motif serta modus tertentu bagi mereka untuk melakukan perilaku yang menyimpang. Pada kasus-kasus di atas misalnya, disengagement terjadi pada pelaku yang tidak dapat melampiaskan hasrat seksualnya seperti layaknya orang dewasa biasa memperoleh peluang untuk melampiaskan hasrat seksualnya secara menyimpang melalui peran grandparenthoodnya yang cenderung bergeser. Faktor disengagement dan pergeseran peran inilah yang pada akhirnya juga mempengaruhi faktor-faktor containment mereka.
Ketika seorang individu mengalami disengagement, yaitu bahwa ia mengalami ‘pemisahan’ dengan komunitasnya (dalam hal ini, masyarakat), fungsi kontrol dari para pemegang kewenangan juga memiliki keterbatasan dalam meraih segmen ini. Fungsi kontrol yang menunjuk pada seperangkat aturan, maupun nilai-nilai dalam masyarakat yang menjadi external containment bagi seseorang menjadi tidak efektif. Faktor internal containment juga menjadi melemah pada segmen ini, di mana para lansia yang ‘terpisah’ dari masyarakat kehilangan kapabilitas untuk melakukan relasi sosial yang sama dengan segmen usia lain serta kehilangan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam masyarakat[8]. Hal ini amat disayangkan, karena lansia yang biasa kita kenal sebagai kakek dan nenek bagi kita sebenarnya memiliki peran besar dalam masyarakat, khususnya peran-peran sehubungan dengan empat peran grandparenthood yang telah disebutkan di atas.
[1] Diane Papalia, E, Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Daskin. 2008. Human Development 10th Edition. USA : McGraw-Hill
[2] selebihnya dapat dilihat di: Vern L. Bengston & Joan F. Robertson. 1988. Grandparenthood. USA: Sage Publications. Hlm 21
[3] http://www.depkominfo.go.id/2009/05/22/jumlah-lansia-di-indonesia-165-juta-orang/
[4] cerita selengkapnya dapat dilihat di website tempo interaktif dengan judul ‘Kakek Pembunuh Cucu Ditangkap’, Jumat 30 November 2007, alamat website: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2007/11/30/brk,20071130-112668,id.html
[5] cerita selengkapnya dapat dilihat di website wikimu dengan judul ‘Kebiasaan Perkosa Cucunya Sendiri’, artikel tersebut merupakan kumpulan dari berita-berita sejenis: http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=2419
[6] ibid
[7] penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di buku: John Bond, Peter G. Coleman, Sheila M. Peace. 1994. Ageing in Society:an Introduction to Social Gerontology. UK : Sage Publications
[8] inti dari containment theory adalah bahwa terdapat faktor-faktor eksternal dan internal yang membatasi perilaku individu dalam masyarakat. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat di buku: Martin E. Wolfgang & Leonard Savits. 1962. The Sociology of Crime and Deliquency. New York: John Wiley & Sons.inc
Monday, November 9, 2009
When He Was Romantic, He Wrote A Simple Letter to God
Monday, October 26, 2009
Relevansi Adat dan Agama: Studi Kasus Masyarakat Minang dan Bali
Dalam perspektif sosiologi agama, yaitu dalam pandangan fungsionalisme, agama dilihat melalui fungsinya. Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: Agama dilihat sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial[1]. Agama dapat menjadi nyata apabila eksistensi dan fungsinya dapat membawa masyarakat ke dalam pencapaian dari cita-cita masyarakat tersebut. Dari situlah, definisi dari agama sendiri menjadi berkaitan erat dengan sistem sosial[2]. Apabila dilihat dari fungsinya, Hendropuspito (1983) merumuskan beberapa fungsi dari agama, yang meliputi: Fungsi Edukatif, Fungsi Penyelamatan, Fungsi Pengawasan Sosial (Social Control), dan Fungsi Profetis atau Kritis[3]. Melalui penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa agama memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam masyarakat, dan dari situ pulalah, agama dapat pula memiliki keterkaitan erat dengan adat.
Adat, secara epistemologis memiliki pengertian yang sama dengan ‘kebiasaan’. Apabila dijabarkan, adat dapat memiliki pengertian sebagai suatu sikap (tingkah laku), kebiasaan, dan kelaziman, yang adalah sesuai dengan norma yang diturun-alihkan. Dan itu membuat adat serta kebiasaan itu memperoleh kedudukan (status) sebagai sesuatu yang mengikat, yang tak terelakkan, baik buat suatu golongan tertentu, maupun buat perorangan di dalam golongan itu[4]. A. Schreiber (1976) secara lebih sosiologis, merumuskan adat sebagai kebiasaan yang mengatur dengan kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan. Adalah serentak rangkuman segala hukum[5]. Melalui perumusan tersebut, secara tidak langsung dapat dilihat adanya fungsi dari adat itu sendiri.
Melalui penjabaran-penjabaran di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan yang merupakan persamaan mendasar dari agama dengan adat. Yaitu bahwa agama dan adat memiliki sifat sosial, merupakan bagian dari sistem sosial itu sendiri, dengan fungsi untuk mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Dari situlah, walaupun memiliki perbedaan terminologi, dalam prakteknya agama dan adat menjadi saling berkesinambungan. Hal itulah yang terjadi dalam masyarakat Bali dan Minangkabau,
Pada masyarakat Bali, kesinambungan antara adat dengan agama dapat dilihat melalui ajaran adat Bali yang dilandasi oleh agama Hindu. Salah satu yang paling jelas terlihat adalah adanya perwujudan dari ajaran Tri-Hita-Karana, yang merupakan konsepsi keseimbangan ‘triangulasi’ antara Tuhan, Manusia, dan Alam yang merupakan inti dari ajaran adat Bali itu sendiri. Peranan antara agama Hindu dengan adat saling saling mengimplikasi demi terciptanya keteraturan dalam masyarakat.
Walaupun terdapat pemetaan yang cukup jelas mengenai penciptaan keteraturan dalam masyarakat, bukan berarti bahwa masyarakat Bali tidak memiliki permasalahan dalam hal pembangunan dan modernisasi. Adanya modernisasi yang ditunjukkan dalam bidang pendidikan dan pariwisata telah mendorong berubahnya nilai-nilai adat, penyederhanaan sistem upacara keagamaan, serta keseluruhan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali[6].
Namun, apabila kita kembali pada eksistensi nilai keseimbangan, masyarakat Bali juga mengenal suatu konsep desa-kala-prata yang mengedepankan perubahan dan perkembangan zaman[7]. Putu Wijaya, seorang budayawan asal Bali melihat bahwa melalui konsep desa-kala-prata, masyarakat bali mengedepankan proses perubahan sebagai salah satu bentuk harmoni (keselarasan; keseimbangan) yang harus dihadapi demi meraih keseimbangan yang lebih sempurna. Dalam konteks modernisasi, konsep desa-kala-prata menjadi suatu konsep yang dipergunakan dalam menyiasati strategi masyarakat Bali dalam menanggapi perubahan jaman, dan dalam konteks yang sama, hal itu pulalah yang memperlihatkan keunikan Bali yang tidak dimiliki oleh wilayah-wilayah lain yang juga mengalami proses perubahan seiring dengan modernisasi.
Walaupun begitu, Putu Wijaya juga melihat adanya permasalahan sehubungan dengan spiritualitas, yaitu bahwa adanya kecenderungan dari masyarakat Bali yang justru melupakan dimensi spiritualitas baik adat maupun agama mereka dalam menjalani proses perubahan itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dijabarkan secara lebih jelas oleh Adnyana Manuaba dalam poin-poin sebagai berikut[8]: (1) Terjadinya perebutan atau kompetisi tajam pemanfaatan sumber daya, (2) Tekanan kepada lingkungan (pencemaran lingkungan), (3) Dislokasi budaya, (4) Pembagian keuntungan ekonomis yang tidak merata antara satu daerah dengan yang lainnya, serta adanya (5) Kelemahan manajemen. Selanjutnya, Manuaba menyebutkan aspek-aspek Holistik, Sistemik, dan Interdisipliner yang secara konseptual sejalan dengan konsep desa-kala-prata, yaitu bahwa diperlukan adanya suatu keseimbangan, yang dalam hal ini dilakukan dalam ranah teknis, ekonomis, ergonomis, serta sosio-kultural.
Sama halnya dengan masyarakat Bali, masyarakat Minangkabau (Minang) juga memiliki adat yang mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minang, baik dalam hubungan formal maupun tidak formal[9], dan seperti yang terjadi pada masyarakat Bali, sistem yang terdapat dalam masyarakat merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat. Adat Minangkabau dan agama Islam yang saling mengimplikasi menciptakan keteraturan nilai dan norma dalam masyarakat Minang.
Selanjutnya, secara konseptual Taufik Abdullah menjabarkan adanya dua macam hukum yang berlaku dalam masyarakat Minang, yakni: yang ‘datang dari Surga’, dan yang ‘berasal dari Bumi;’. Secara lebih jelas, kedua hukum tersebut adalah Hukum Agama (berasal dari Kitabullah; Al Qur’an), dan Hukum Adat (turun temurun)[10]. Kedua hukum tersebut merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat dan sama-sama menjadi landasan berkehidupan masyarakat Minangkabau. Abdullah, dalam hal ini juga menyebutkan sebuah istrumen yang dipergunakan masyarakat Minang dalam meraih consensus yang dinamakan sebagai mufakat. Mufakat sendiri dapat terjadi apabila didorong oleh tiga hal pokok, yakni: Akal, Iman, dan Ilmu.
Masyarakat Minang melihat adanya hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara individu dengan masyarakat, yang dapat menciptakan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dihadapi melalui pendekatan filosofis dan struktural. Pendekatan filosofis tertuang dalam pepatah adat, sedangkan pendekatan struktural terdapat pada hukum adat yang mengatur struktur sosial masyarakat secara hirarkis. Selain menjadi instrumen dalam pendekatan filosofis, pepatah adat juga memiliki peran dalam mensimbolisasi kesatuan dan kontinuitas masyarakat dari waktu ke waktu. Sebagai suatu kearifan lokal, pepatah adat menjadi suatu pegangan dalam mencapai keselarasan (social harmony) dan dalam mencapai masyarakat yang ideal.
Walaupun begitu, dalam konteks modernisasi, masyarakat Minang memiliki dinamika yang sedikit berbeda dengan masyarakat Bali. Secara historis, seiring dengan terjadinya akulturasi antara adat dengan agama tersebut, memecah pula konflik pertentangan yang terjadi antara kaum lama yang merupakan golongan adat dengan kaum baru yang merupakan golongan Islam. Secara historis, pertentangan antara kaum adat dengat kaum agama menjadi salah satu bagian dari proses modernisasi sosial-budaya dalam masyarakat Minang. Peran agama (Islam) dalam masyarakat Minang menjadi sangatlah besar, karena agama Islam dianggap menyempurnakan adat masyarakat Minang[11]. Sistem adat mulai dipertentangkan dan masyarakat menjadi lebih mengutamakan nilai-nilai keIslaman.
Dinamika modernisasi semakin besar setelah datangnya pemikiran-pemikiran Barat ke dalam masyarakat Minang. Hal ini pada khususnya berpengaruh sangat besar pada system pendidikan, yang juga mempengaruhi pola urbanisasi penduduk, serta mempengaruhi perkembangan pembangunan di daerah Minang itu sendiri.
Pada hakikatnya, apa yang terjadi pada masyarakat Bali dan masyarakat Minang dapat dikatakan tidak terlalu jauh berbeda, keduanya sama-sama mengadopsi fungsi agama dan fungsi adat dalam sistem sosial. Namun, kembali pada penjabaran mengenai definisi agama menurut Hendrosucipto, yaitu bahwa eksistensi dan fungsi (baik agama maupun adat) tersebut harus dapat membawa masyarakat yang bersangkutan dalam pencapaian cita-cita masyarakat itu sendiri. Apabila dihubungkan dengan konteks masyarakat Minang, pertentangan terhadap sistem adat terjadi ketika fungsi dari nilai-nilai adat menjadi dirasa kurang sesuai dengan arah pembangungan masyarakat, dan masyarakat menuntut adanya fungsi baru yang lebih ideal bagi arah pembangunannya. Oleh karena itulah, hal ini (konflik) tidak terjadi dalam masyarakat Bali yang mengedepankan konsep desa-kala-prata.
Dari situ pulalah, masyarakat Bali memiliki daya survavilitas yang lebih tinggi dalam proses modernisasi. Konsep desa-kala-prata sebagai istrumen yang merupakan buah dari agama dan adat masyarakat dimanfaatkan sebaik-baiknya guna mencapai cita-cita masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat Minang, yang juga memiliki instrumen yang berupa kearifal lokalnya gagal dalam memanfaatkan instrumen yang dimilikinya. Apa yang dimiliki masyarakat Minang menjadi hanya sekedar nilai-nilai yang tidak secara nyata-instrumental dapat dipergunakan dalam menjalankan sistem sosial.
Akhir kata, baik agama maupun adat sama-sama memiliki relevansi yang besar dalam modernisasi. Arus modernisasi dapat menggugah keberadaan sistem sosial yang dibentuk dari pemanfaatan fungsi-fungsi agama dan adat, dan sebaliknya, agama dan adat dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara nyata dalam masyarakat ketika masyarakat tersebut berhadapan dengan modernisasi, yang dalam hal ini mengacu pada proses perubahan dan pembangunan. Berhasil-tidaknya fungsi-fungsi agama dan adat dalam masyarakat tergantung pada pemanfaatan nilai-nilai instrumental dari fungsi-fungsi tersebut, yang secara nyata diadopsi oleh sistem sosial dalam masyarakat.
[1] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. 1983. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm 29
[2] Definisi agama sesuai dengan Hendropuspito (1983; hlm 34), agama ialah suatu system sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
[3] Fungsi edukatif: agama sebagai sarana edukasi dan bimbingan, Fungsi penyelamatan: berhubungan dengan dunia sesudah kematian (outer-worldly), Fungsi pengawasan sosial: agama (sebagai institusi) ikut bertanggung jawab atas norma-norma susila dalam masyarakat, Fungsi profetis dan kritis: fungsi agama dalam menjunjung keadilan di masyarakat.
[4] Lothar Schreiner. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak. 2003. Jakarta: Gunung Mulia. Hlm 18
[5] Lothar Schreiner. Op cit. Hlm 21
[6] Berdasarkan pada tulisan I Gusti Ngurah Bagus ‘Kebudayaan Bali’ yang merupakan bahan bacaan mata kuliah Sosiologi Agama semester gasal tahun 2009.
[7] Berdasarkan tulisan Putu Wijaya ‘Bali’ yang dimuat dalam: Wayan Supartha, ed. Bali dan Masa Depannya. 1999. Denpasar: Penerbit PT BP. Hlm 185
[8] Berdasarkan pada tulisan Adnyana Manuaba ‘Isu, Problema, dan Masa Depan Bali’ yang dimuat dalam: Wayan Supartha, ed. Op cit. Hlm 1
[9] Berdasarkan bahan kuliah Sosiologi Agama Rabu, 30 September 2009 oleh Putu Chandra Dewi Kardha, M.Si
[10] Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. 1972. New York: Cornell University Press. Hlm 190
[11] Berdasarkan pada tulisan Umar Junus ‘Kebudayaan Minangkabau’ yang merupakan bahan bacaan mata kuliah Sosiologi Agama semester gasal tahun 2009
Korban Bencana dan Kesehatan Lingkungan: Kreativitas Anak Bangsa
-another article for Lantan Bentala's newsletter edisi-68. please do enjoy :)
Indonesia, karena letaknya yang berada pada jalur ‘Ring of Fire’ (Cincin Api, yang merupakan jalur patahan dan gunung api yang melingkar di sepanjang Samudera Pasifik) dan sebagai daerah pertemuan antara lempeng-lempeng tektonik aktif, menjadi suatu daerah yang sangat rentan terhadap ‘bencana alam kebumian’ (Geological Natural Disaster).
Hampir seluruh daerah di kawasan Indonesia rentan akan bencana bencana alam kebumian tersebut, kecuali Pulau Kalimantan. Hal itu dapat kita lihat dengan berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia sendiri. Mulai dari bencana alam tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam pada akhir tahun 2004 lalu, serta beberapa bencana alam sehubungan dengan pergerakan bumi yang terjadi selama berjalannya tahun 2009 ini, mulai dari daerah Tasikmalaya, beberapa daerah di Sumatera, Ambon, dan Irian, dengan estimasi korban terbanyak di daerah Padang (Sumatera Barat).
Sehubungan dengan itu, Indonesia bukan hanya memerlukan upaya-upaya pencegahan bencana alam, namun juga upaya-upaya manajemen bencana alam sehubungan dengan dearah-daerah yang terkena bencana itu sendiri. Upaya-upaya tersebut meliputi: (1) penanganan bagi korban tewas (dead victims), dan (2) penyediaan akomodasi dan logistik bagi korban gempa yang selamat (survival victims). Kedua upaya tersebut dilakukan supaya para korban yang selamat dapat memperoleh tempat bernaung sementara pasca-bencana yang mereka alami.
Sehubungan dengan upaya tersebut, berbagai lembaga mulai dari pemerintah, swasta, dan masyarakat luas bahu-membahu memberikan berbagai bantuan, mulai dari relawan, kebutuhan sandang (selimut, pakaian, dll), serta kebutuhan pangan dan medis. Hal tersebut sangat baik adanya, namun patut diperhatikan pula, kadang berbagai lembaga tersebut lupa akan kebutuhan para korban bencana sehubungan dengan kesehatan lingkungan.
Kondisi lingkungan suatu daerah pasca gempa amatlah berbeda dengan kondisi lingkungan normal. Ketidaktersedianya sarana-prasarana yang memadai seperti air bersih dan listrik menjadi salah satu isu penting yang membuat diperlukannya bentuk penanganan yang berbeda bagi mereka yang juga sangat membutuhkan keberadaan lingkungan yang sehat. Dari situlah, upaya pemberian bantuan bagi korban bencana juga perlu dipikirkan. Misalnya, pemberian mie instan, patut dipikirkan apakah hal tersebut relevan bagi daerah yang kemungkinan besar tidak memiliki akses air bersih?
Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait nampaknya belum ‘belajar dari pengalaman’ dengan bencana-bencana yang terjadi sebelumnya, bahwa faktor kesehatan lingkungan amatlah penting bagi survavilitas para korban yang selamat. Bahwa selain penyediaan logistik yang berbentuk sandang, pangan, dan medis, para korban bencana juga memerlukan ketersediaan air bersih, sanitasi, dan bahan bakar demi terciptanya tempat bernaung sementara yang layak, yang juga merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan further disease dari bencana alam, seperti dehidrasi, diare, dan lain-lain.
Dalam hal penyediaan sanitasi misalnya, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sejak tahun 2006 telah mulai mengembangkan prototype yang telah diuji dan layak guna, yakni WC/jamban Kering, atau yang biasa disebut dengan Bio-Toilet yang sangat cocok bagi daerah pasca-bencana karena hanya memerlukan 5liter air bersih per hari untuk penggunaannya, yaitu menghemat 80% air bersih dari penggunaan toilet biasa. Bio-toilet ini juga membantu agar kotoran terolah secara biologis yang tentunya lebih cepat serta meminimalisir bau. Selain kegunaan tersebut, bio-toilet juga portable atau mudah dibawa-bawa, serta murah dan mudah dibangun, sehingga memudahkan akses bagi pengiriman serta pemasangan pada daerah pasca-bencana.
Penyediaan-penyediaan sektor logistik alternatif yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan pasca-bencana tidak hanya tersedia bagi pengadaan sarana sanitasi (MCK) saja, namun juga bagi bahan makanan darurat yang tidak perlu dimasak yang telah dikembangkan oleh Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Serpong, Tangerang, serta ala pengolah air limbah menjadi air bersih siap minum yang dikembangkan oleh tim peneliti penyehatan lingkungan BPPT (Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran). Sektor-sektor alternatif yang merupakan hasil karya anak bangsa ini seharusnya dapat dimanfaatkan dalam upaya manajemen bencana.
Akhir kata, sekali lagi, nampaknya Indonesia masih harus meningkatkan lagi upaya-upaya manajemen bencananya, khususnya sehubungan dengan penyediaan lingkungan yang sehat bagi para korban. Pemerintah harus lebih tanggap akan kebutuhan korban bencana, dan kerjasama dari pemerintah dengan lembaga-lembaga riset terkait haruslah solid dalam pemberian sosialisasi bencana bagi masyarakat serta lembaga-lembaga penyalur bantuan. Agar bantuan yang diberikan bagi para korban benar-benar membantu mereka dalam melewati masa-masa sulit dan bukan semata-mata menjadi bentukan simbolis solidaritas masyarakat sehubungan dengan bencana nasional.
Wacana:
- Artikel ‘Pangan Darurat untuk Korban Bencana Alam’ oleh Nawa Tunggal & Yuni Ikawati yang dimuat di harian KOMPAS tertanggal Jumat, 2 Oktober 2009. Dapat diakses pada: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/02/03422910/pangan.darurat.untuk.korban.bencana.alam
- Artikel ‘LIPI Perkenalkan WC Kering Ramah Lingkungan’ yang dimuat di KapanLagi.com tertanggal Selasa, 11 April 2006. Dapat diakses pada: http://www.kapanlagi.com/h/0000111132.html
- Artikel ‘LIPI Perkenalkan WC Kering Ramah Lingkungan’ yang dimuat AntaraNews tertanggal 11 April 2006. Dapat diakses pada: http://www.antara.co.id/print/1144750315
- Artikel ‘Negeri Bencana Yang Tak Terbantahkan’ oleh Indra Yusuf yan dimuat di harian Pikiran Rakyat. Dapat diakses pada: http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=96186
Sunday, September 6, 2009
SELAYANG PANDANG: PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DESA PAGERHARJO
-Tulisan ini dapat dibilang merupakan hasil dari stagnasi pemikiran akibat terlalu lama berlibur yg dipaksa unt tidak stagnan lg (maksa-hehehe..). pada intinya, saya buat tulisan ini dalam rangka pembuatan laporan kualitatif mandiri dari kegiatan latihan penelitian metode penelitian sosial departemen sosiologi universitas indonesia thn 2009. mudah"an tidak terlalu mengecewakan, dan apabila mengecewakan, sekali-kali mohon dimaklumi :) happy reading :)
SELAYANG PANDANG:
PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DESA PAGERHARJO
KECAMATAN SAMIGALUH, KABUPATEN KULONPROGO
DI YOGYAKARTA
Oleh: Chikita Rosemarie
Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar. Tercatat pada tahun 2008, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 225 juta jiwa, yang juga menempatkan Indonesia pada posisi keempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia[1]. Angka tersebut cenderung akan mengalami peningkatan, dan diperkirakan dapat mencapai 270 juta jiwa pada tahun 2015[2]. Suatu hal yang dapat menjadi suatu potensi Sumber Daya Manusia apabila diimbangi dengan program-program yang tepat, dan sehubungan dengan itu, salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah demi meningkatkan kualitas Sumber Daya penduduk adalah ‘Keluarga Berencana’ atau KB.
Diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Keluarga Nasional (Harganas) XV dan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) V Tahun 2008 yang diselenggarakan di Muara Sabak, Provinsi Jambi, pada tanggal 29 Juni 2008 lalu, program KB yang dimulai sejak era 1970‑an merupakan program untuk memperkecil keluarga, sehingga merupakan salah satu program pemerintah yang perlu dipertahankan karena memiliki makna mendalam dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat[3]. Aspek-aspek yang terdapat dalam pelaksanaan progam KB ini disesuaikan dengan Undang‑Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Terdapat empat aspek, yang antara lain: (1) pendewasaan usia perkawinan, (2) pengaturan kelahiran, (3) pembinaan ketahanan keluarga, dan (4) peningkatan kesejahteraan keluarga[4]. Pelaksanaan program KB sendiri sudah memberikan hasil positif di Indonesia sehubungan dengan penekanan Total Fertility Rate (TFR) yang berpengaruh positif pada perhitungan cost and benefit selanjutnya, yang salah satunya adalah penghematan biaya dan alokasi biaya pendidikan dan kesehatan[5].
Apabila dilihat dari target yang lingkupnya makro (kesejahteraan rakyat), program KB sendiri dilaksanakan secara meluas dengan difokuskan pada provinsi-provinsi dengan jumlah penduduk yang cenderung besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara[6]. Sehubungan dengan itu, di Kabupaten Kulonprogo, yang merupakan salah satu kota Kabupaten di provinsi DI Yogyakarta, jumlah peserta KB baru yang tercatat pada tahun 2008 adalah sebanyak 5.458 akseptor (8,48%). Tetap pada wilayah yang sama (Kabupaten Kulonprogo), peserta KB aktif tercatat sebanyak 47.632 akseptor (73,98%)[7].
Salah satu daerah di Kabupaten Kulonprogo yang juga mencanangkan program KB bagi masyarakatnya adalah Desa Pagerharjo yang merupakan bagian dari Kecamatan Samigaluh[8]. Seperti halnya dengan pelaksanaan program KB di daerah-daerah lainnya, program KB yang dilaksanakan di Desa Pagerharjo telah berlangsung semenjak era 1970an, dan berkembang pada dekade setelahnya, yakni tahun 1980an. Awal pelaksanaan program KB di Pagerharjo sendiri bukan berarti tidak memperoleh hambatan. Kegiatan sosialisasi yang dijalankan oleh para petugas juga sempat mengalami penolakan oleh sebagian masyarakat. Penolakan tersebut terjadi dikarenakan oleh rasa takut yang berkembang di masyarakat, yaitu ketidaktahuan masyarakat akan program KB itu sendiri. Namun, walaupun terdapat penolakan dari masyarakat, faktor budaya membuat penolakan tersebut menjadi tidak begitu berarti[9]. Selain itu, hambatan juga didapat dari letak geografis Pagerharjo yang merupakan daerah pegunungan, yang ketika pada masa itu belum memiliki sarana transportasi dan teknologi yang memadai.
Hambatan tersebut dapat diimbangi dengan konsistensi dari baik pemerintah setempat (daerah) dengan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)[10] dalam memberikan penyuluhan dan kegiatan-keiatan lain[11], serta penggunaan media seperti film dokumenter sebagai salah satu sarana sosialisasi. Dari pemerintah pusat sendiri, media televisi juga dipergunakan dalam mensosialisasikan program KB[12]. Dalam kegiatan sosialisasi program KB di Pagerharjo tersebut, faktor budaya juga memiliki peran penting. Adanya adat Tepo Seliro atau gotong royong atau kekeluargaan di dalam masyarakat membantu penyebaran informasi-informasi seputar KB. Dalam hal ini, proses sosialisasi terjadi secara bertahap. Dimulai dari tahapan yang bersifat birokratis (pemerintah daerah dan lembaga), dan dilanjutkan dengan penyebaran informasi yang didukung oleh adanya intensitas interaksi antar masyarakat yang bersifat Gemeinschaft (Paguyuban).
Faktor tingkat pendidikan yang tinggi juga memudahkan proses sosialisasi KB di Pagerharjo. Masyarakat Pagerharjo, yang telah mengenal pendidikan[13] cenderung mudah menerima informasi-informasi yang diberikan sehubungan dengan KB. Dari situlah, dapat dikatakan pula bahwa dalam entitas sosial masyarakat Pagerharjo sendiri juga sudah ada modal sosial yang dalam hal ini berupa budaya dan pendidikan, yaitu bahwa kedua hal tersebut membantu membawa masyarakat Pagerharjo ke arah perkembangan itu sendiri[14].
Perkembangan tersebut, yang dalam hal ini adalah keberhasilan program KB di Pagerharjo. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keberhasilan program KB tidak hanya memperbaiki tingkat TFR, namun juga memperbaiki tingkat kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan. Dari ranah kesehatan, adanya pemeriksaan rutin yang dilakukan di posko KB, memberikan pengetahuan tersendiri pada masyarakat mengenai penyakit-penyakit, khususnya sehubungan dengan organ reproduksi (kista, dll), dari situlah pengobatan terhadap penyakit-penyakit tersebut dapat dilakukan. Selanjutnya, prinsip dasar program KB (anak cukup dua; pengaturan jumlah anak demi perencanaan kesejahteraan lebih lanjut) membawa masyarakat ke arah perbaikan ekonomi, yang pada akhirnya membawa pula masyarakat ke arah perbaikan tingkat pendidikan serta kesejahteraan secara umum. Hal ini dilakukan secara melembaga, konsisten melalui adanya posko-posko KB (di puskesmas dan pustu), penyuluhan, serta kegiatan-kegiatan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini menjadi suatu kebiasaan dan kebanggaan tersendiri dalam masyarakat, dapat dilihat dari adanya simbol-simbol KB mulai dari monumen kecil sampai stiket yang dengan bangga ditempatkan di seluruh pedukuhan di Pagerharjo oleh masyarakat sendiri.
Dari situ pulalah, program KB membawa dampak positif yang dalam hal ini adalah terciptanya nilai-nilai baru dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui adanya kesadaran yang tercipta dalam masyarakat, yaitu untuk tidak memiliki anak lebih dari dua, dengan atau tanpa mengikuti program KB[15]. Dinamika masyarakat yang didukung oleh perkembangan teknologi, sarana transportasi, sarana pendidikan, serta sosialisasi seputar isu kesejahteraan dan kesehatan melalui program KB memunculkan adanya suatu modal sosial lain yang berupa nilai-nilai tersebut. Hal ini terjadi secara bertahap dan melalui suatu proses yang melibatkan kurun waktu yang lama[16], menghasilkan suatu perubahan sosial dalam masyarakat.
Konsistensi dan faktor kelembagaan yang juga ditunjukkan dalam kerjasama antara masyarakat, pemerintah daerah, serta petugas KB juga berhasil memberikan penanganan atas dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh program KB itu sendiri. Adanya beberapa kasus kegagalan program KB yang ditangani secara cepat memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk mempertahankan eksistensi program tersebut dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kasus kegagalan KB juga tidak banyak terjadi.
Sebagai kesimpulan, program KB yang berjalan di desa Pagerharjo dapat berhasil dengan adanya tiga aspek utama, yaitu: (1) Konsistensi yang melembaga, yang melibatkan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat sendiri, (2) Pemaksimalan sumber daya media dalam proses sosialisasi, dan (3) Adanya modal sosial dalam masyarakat yang membantu masyarakat tersebut dalam mencapai tujuan tertentu. Melalui potensi-potensi tersebut, dapat dikatakan pula bahwa program KB yang dilaksanakan di Pagerharjo telah dapat memenuhi keempat aspek-aspek program KB, sesuai dengan Undang‑Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Tentunya keberhasilan tersebut diharapkan dapat terus melembaga, berkembang, dan bersifat continuu, serta menjadi contoh bagi program-program serupa di daerah-daerah lain di Indonesia.
------------------------------------
[1] Berdasarkan pada artikel koran KOMPAS, ‘Penduduk Indonesia Bisa 270 Jiwa’, tertanggal 11 Juli 2008. Dapat diakses pada: http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/11/13413019/penduduk.indonesia.bisa.270.juta.jiwa
[2] ibid
[3] Berdasarkan pada tulisan ‘KB dan Kemandirian Bangsa’, tertanggal 4 April 2009, oleh Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan PMPD PKB Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DIY.
Dapat diakses pada: http://www.bernas.co.id/news/cybernas/WACANA/8217.htm atau http://www.kulonprogokab.go.id/file_news/attach/KB%20&%20Kemandirian%20Bangsa.pdf
[4] ibid
[5] Angka TFR pada tahun 1970 lalu sebesar 5,6 anak, Angka tersebut 2,6 per ibu, dan terus menurun sampai dengan sekarang. Selebihnya dapat dilihat pada: ibid
[6] Berdasarkan pada tulisan ‘Menggapai Sasaran Kependudukan dan KB Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009’, tertanggal 25 November 2008, oleh Bambang Sakmento.
Dapat diakses pada: http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=108&Itemid=9
[7] Menurut Statistics Indonesia, ‘Peserta KB’ adalah yang tercatat sebagai peserta program KB, sedangkan ‘Peserta KB aktif’ adalah seseorang yang sedang menggunakan alat KB. Dapat diakses pada: http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/330/330/
[8] Selanjutnya, data-data dan pernyataan-pernyataan yang dimuat merupakan hasil dari wawancara informan yang dilakukan pada tanggal 28 Juli 2008 di kediaman informan, Pedukuhan Plono Barat, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DIY.
[9] Informan menyebutkan adanya faktor budaya Jawa yang menyebabkan masyarakat cenderung sungkan untuk menolak.
[10] Lebih dikenal sebagai ‘Petugas KB’.
[11] Adanya lomba KB serta kegiatan-kegiatan yang meliputi NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera)
[12] Pada masa itu, terdapat tayangan-tayangan bertajuk KB yang disiarkan oleh TVRI sebagai stasiun TV Nasional.
[13] Menurut hasil observasi serta hasil wawancara kelompok, sebelum berdirinya desa Pagerharjo, masyarakat daerah tersebut telah menerima pendidikan dasar yang diberikan oleh misionaris-misionaris Kristen/Katolik yang datang dari daerah Bantul. Sarana pendidikan yang ada di Pagerharjo yang ada sampai sekarang pun terdapat dalam berbagai tingkatan, mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Pendidikan Agama (Pengajian), SD, SMP, dan SMK.
Menurut hasil wawancara dengan informan, masyarakat desa Pagerharjo sekarang ini juga sudah sebagian besar bebas 3B (Buta Baca Tulis).
[14] Definisi ‘Modal Sosial’ menurut Pierre Bourdieu, yakni suatu sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. (Grootaert, 1998)
[15]Sekarang, program KB yang ada di Pagerharjo adalah Program KB Mandiri, kontrol dilakukan melalui puskesmas terdekat dan pustu yang ada di tiap pedukuhan.
[16] Dari era 1970an hingga sekarang (29 tahun).
Tuesday, August 18, 2009
Penggunaan Plastik Kresek: Antara Peringatan dan Ingatan
-ini adalah tulisan singkat yang saya buat untuk Newsletter Yayasan Lantan Bentala edisi-64 mengenai penggunaan plastik kresek. hanya tulisan yang sangat singkat, namun dapat menjadi bahan renungan. happy reading :)
Sejak dikeluarkannya peringatan resmi dari BPOM RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia) mengenai bahaya plastik kresek (terutama yang berwarna hitam) pada tanggal 14 Juli 2009 lalu, banyak diantara para pemerhati lingkungan yang bertanya-tanya mengenai tanggapan masyarakat sehubungan dengan isu tersebut. Apakah masyarakat sudah tahu akan hal ini? Dan apabila mereka tahu, adakah tindak lanjut yang sekiranya signifikan dalam menanggapi isu ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit banyak terjawab ketika saya mencoba mencari tahu lebih lanjut melalui beberapa artikel.
Berdasarkan pada artikel yang dimuat pada Suara Karya online yang bertajuk ‘Pedagang tak Peduli Soal Bahaya Kresek’ tertanggal 17 Juli 2009 lalu, dapat diketahui bahwa pedagang nampaknya tidak tahu menahu mengenai bahaya dari plastik kresek. Hal ini diakui oleh Tarno, seorang pedagang gorengan di daerah Ciputat, Tangerang, yang mengaku telah 8 tahun membungkus dagangannya dengan menggunakan plastik kresek. Penggunaan plastik kresek tersebut didorong oleh harga plastik kresek yang lebih murah dibandingkan bahan pembungkus lainnya seperti kertas. Alasan penggunaan plastik kresek yang saya temukan selain karena harganya yang murah adalah karena kemampuan plastik kresek (warna hitam) dalam menutupi barang belanjaan konsumen (Migas Online, Maret 2009).
Selain melalui sumber-sumber di atas, beberapa kerabat saya yang saya coba tanyai mengaku sudah tahu bahwa plastik kresek (khusunya yang berwarna hitam) itu berbahaya, namun selanjutnya ketika saya menanyakan mengenai peringatan dari BPOM, semuanya menjawab tidak tahu menahu mengenai hal tersebut, bahkan banyak diantaranya yang justru menanyakan pertanyaan lebih lanjut seperti, “Sebenarnya plastik kresek berbahayanya ketika dipakai unt apa sih?”, dan selanjutnya, kebanyakan dari mereka masih menggunakan plastik kresek walaupun sudah ada upaya dalam mengurangi penggunaannya.
Sehubungan dengan itu, saya ingin mencoba menggarisbawahi pernyataan dari Kepala BPOM, Husniah Rubiana Thamrin Akib, sendiri yang dimuat oleh Antara News tertanggal 14 Juli 2009 lalu, “..hingga kini belum ada pengaduan atau keluhan mengenai gangguan kesehatan akibat penggunaan kantung "kresek" sebagai wadah makanan. Tapi lebih baik berhati-hati” (Antara News, Juli 2009). Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat pula bahwa sehubungan dengan isu penggunaan plastik kresek, belum ada benang merah yang menghubungkan antara peringatan dengan ‘ingatan’ publik, yang dalam hal ini ditandai dengan penggunaan plastik kresek yang sampai saat ini tidak merugikan masyarakat dalam ranah kesehatan.
Berbeda dengan kasus-kasus serupa seperti tahu berformalin dan kosmetik bermercury. Walaupun dalam ingatan publik, keduanya sama-sama belum memperlihatkan dampak yang signifikan dalam ranah kesehatan, kasus-kasus tersebut berhasil meluas dan menciptakan perspektif baru di kalangan masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan perubahan gaya hidup. Dalam kasus-kasus tersebut, lembaga-lembaga resmi pemerintahan berani mengambil tindakan yang juga bekerjasama dengan media dalam mengkomunikasikan isu-isu tersebut. Hal itu pulalah, yang saya rasa diperlukan dalam menanggapi isu penggunaan plastik kresek.
Akhir kata, saya berharap bahwa peringatan yang disampaikan oleh BPOM sehubungan dengan bahaya plastik kresek ini benar-benar dapat menyentuh ingatan publik, yang pada akhirnya dapat menghasilkan suatu perubahan, yaitu masyarakat dengan gaya hidup yang lebih sehat; yang tahu bahaya plastik kresek dan mengurangi penggunaannya.
(Chikita Rosemarie, Agt-15-2009)