Monday, October 26, 2009

Korban Bencana dan Kesehatan Lingkungan: Kreativitas Anak Bangsa

-another article for Lantan Bentala's newsletter edisi-68. please do enjoy :)


Indonesia, karena letaknya yang berada pada jalur ‘Ring of Fire’ (Cincin Api, yang merupakan jalur patahan dan gunung api yang melingkar di sepanjang Samudera Pasifik) dan sebagai daerah pertemuan antara lempeng-lempeng tektonik aktif, menjadi suatu daerah yang sangat rentan terhadap ‘bencana alam kebumian’ (Geological Natural Disaster).

Hampir seluruh daerah di kawasan Indonesia rentan akan bencana bencana alam kebumian tersebut, kecuali Pulau Kalimantan. Hal itu dapat kita lihat dengan berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia sendiri. Mulai dari bencana alam tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam pada akhir tahun 2004 lalu, serta beberapa bencana alam sehubungan dengan pergerakan bumi yang terjadi selama berjalannya tahun 2009 ini, mulai dari daerah Tasikmalaya, beberapa daerah di Sumatera, Ambon, dan Irian, dengan estimasi korban terbanyak di daerah Padang (Sumatera Barat).

Sehubungan dengan itu, Indonesia bukan hanya memerlukan upaya-upaya pencegahan bencana alam, namun juga upaya-upaya manajemen bencana alam sehubungan dengan dearah-daerah yang terkena bencana itu sendiri. Upaya-upaya tersebut meliputi: (1) penanganan bagi korban tewas (dead victims), dan (2) penyediaan akomodasi dan logistik bagi korban gempa yang selamat (survival victims). Kedua upaya tersebut dilakukan supaya para korban yang selamat dapat memperoleh tempat bernaung sementara pasca-bencana yang mereka alami.

Sehubungan dengan upaya tersebut, berbagai lembaga mulai dari pemerintah, swasta, dan masyarakat luas bahu-membahu memberikan berbagai bantuan, mulai dari relawan, kebutuhan sandang (selimut, pakaian, dll), serta kebutuhan pangan dan medis. Hal tersebut sangat baik adanya, namun patut diperhatikan pula, kadang berbagai lembaga tersebut lupa akan kebutuhan para korban bencana sehubungan dengan kesehatan lingkungan.

Kondisi lingkungan suatu daerah pasca gempa amatlah berbeda dengan kondisi lingkungan normal. Ketidaktersedianya sarana-prasarana yang memadai seperti air bersih dan listrik menjadi salah satu isu penting yang membuat diperlukannya bentuk penanganan yang berbeda bagi mereka yang juga sangat membutuhkan keberadaan lingkungan yang sehat. Dari situlah, upaya pemberian bantuan bagi korban bencana juga perlu dipikirkan. Misalnya, pemberian mie instan, patut dipikirkan apakah hal tersebut relevan bagi daerah yang kemungkinan besar tidak memiliki akses air bersih?

Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait nampaknya belum ‘belajar dari pengalaman’ dengan bencana-bencana yang terjadi sebelumnya, bahwa faktor kesehatan lingkungan amatlah penting bagi survavilitas para korban yang selamat. Bahwa selain penyediaan logistik yang berbentuk sandang, pangan, dan medis, para korban bencana juga memerlukan ketersediaan air bersih, sanitasi, dan bahan bakar demi terciptanya tempat bernaung sementara yang layak, yang juga merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan further disease dari bencana alam, seperti dehidrasi, diare, dan lain-lain.

Dalam hal penyediaan sanitasi misalnya, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sejak tahun 2006 telah mulai mengembangkan prototype yang telah diuji dan layak guna, yakni WC/jamban Kering, atau yang biasa disebut dengan Bio-Toilet yang sangat cocok bagi daerah pasca-bencana karena hanya memerlukan  5liter air bersih per hari  untuk penggunaannya, yaitu menghemat 80% air bersih dari penggunaan toilet biasa. Bio-toilet ini juga membantu agar kotoran terolah secara biologis yang tentunya lebih cepat serta meminimalisir bau. Selain kegunaan tersebut, bio-toilet juga portable atau mudah dibawa-bawa, serta murah dan mudah dibangun, sehingga memudahkan akses bagi pengiriman serta pemasangan pada daerah pasca-bencana.

Penyediaan-penyediaan sektor logistik alternatif yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan pasca-bencana tidak hanya tersedia bagi pengadaan sarana sanitasi (MCK) saja, namun juga bagi bahan makanan darurat yang tidak perlu dimasak yang telah dikembangkan oleh Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Serpong, Tangerang, serta ala pengolah air limbah menjadi air bersih siap minum yang dikembangkan oleh tim peneliti penyehatan lingkungan BPPT (Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran). Sektor-sektor alternatif yang merupakan hasil karya anak bangsa ini seharusnya dapat dimanfaatkan dalam upaya manajemen bencana.

Akhir kata, sekali lagi, nampaknya Indonesia masih harus meningkatkan lagi upaya-upaya manajemen bencananya, khususnya sehubungan dengan penyediaan lingkungan yang sehat bagi para korban. Pemerintah harus lebih tanggap akan kebutuhan korban bencana, dan kerjasama dari pemerintah dengan lembaga-lembaga riset terkait haruslah solid dalam pemberian sosialisasi bencana bagi masyarakat serta lembaga-lembaga penyalur bantuan. Agar bantuan yang diberikan bagi para korban benar-benar membantu mereka dalam melewati masa-masa sulit dan bukan semata-mata menjadi bentukan simbolis solidaritas masyarakat sehubungan dengan bencana nasional.

 

 

Wacana:

-       Artikel ‘Pangan Darurat untuk Korban Bencana Alam’ oleh Nawa Tunggal & Yuni Ikawati yang dimuat di harian KOMPAS tertanggal Jumat, 2 Oktober 2009. Dapat diakses pada: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/02/03422910/pangan.darurat.untuk.korban.bencana.alam

-       Artikel ‘LIPI Perkenalkan WC Kering Ramah Lingkungan’ yang dimuat di KapanLagi.com tertanggal Selasa, 11 April 2006. Dapat diakses pada: http://www.kapanlagi.com/h/0000111132.html

-       Artikel ‘LIPI Perkenalkan WC Kering Ramah Lingkungan’ yang dimuat AntaraNews tertanggal 11 April 2006. Dapat diakses pada: http://www.antara.co.id/print/1144750315

-       Artikel ‘Negeri Bencana Yang Tak Terbantahkan’ oleh Indra Yusuf yan dimuat di harian Pikiran Rakyat. Dapat diakses pada: http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=96186

No comments: