Salah satu frase yang sering saya ucapkan, baik dalam ranah akademis maupun kasual, adalah 'pemaknaan subyektif' (subjective meaning). Tidak hanya saya ucapkan, interpretasi serta perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari nampaknya menjadi isu yang kerap kali saya pertanyakan. Mungkin hal ini salah satunya diakibatkan oleh kekaguman saya terhadap pemikiran Weber. Namun, di luar itu semua, kadangkala saya pun menyadari betapa pemahaman minimal saya mengenai konsep pemaknaan subyektif ini telah sedikit banyak merubah sudut pandang saya dalam menanggapi hidup.
Saya kesal, dan ingin marah rasanya ketika saya 'seakan dipaksa' untuk menjadi lebih bijaksana dalam menanggapi berbagai permasalahan sehubungan dengan interaksi sosial saya, baik dengan individu maupun dengan kelompok lain. Bahkan ada kalanya saya merasa sangat amat perlu menggeleng-gelengkan kepala dengan cukup keras untuk membuat konsep tersebut keluar dari kepala saya sambil mengatakan, "HELLO!! I just want to be an 'Ego'!!", sembari memaki pengetahuan saya yang tentunya terbilang masih amat sangat sedikit mengenai konsep tersebut.
Saya sebenarnya yakin, dengan ada tidaknya empirisisme terhadap konsep tersebut, tiap-tiap individu pastinya secara alamiah menyadari adanya keberadaan pemaknaan subyektif serta keberadaan bentukan kausal dari hal itu. Namun, yang sangat saya sayangkan adalah keberadaan konsep tersebut di dalam kepala saya mempertegas realitanya. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, saya 'seakan dipaksa' untuk menjadi lebih bijaksana dalam menanggapi berbagai permasalahan, saya merasa 'dipaksa' untuk menjadi dewasa, 'dipaksa' untuk berpikir secara mendalam ketika saya hanya ingin menjadi seorang 'ego', di mana secara sederhana diartikan sebagai rasionalitas kesadaran diri saya sendiri. Saya hanya ingin berpikir simpel, self-centered, tanpa harus berpikir keras menganalisa mengenai jalan pemikiran individu-individu lain beserta bentukan kausalnya. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur, dan saya harus hidup sembari dihantui konsep tersebut sepanjang sisa hidup saya.
Dari hasil gerundelan saya di atas, tentunya tidak berlebihan apabila saya mengatakan bahwa konsep 'pemaknaan subyektif' telah sedikit banyak mengubah hidup saya. Bukan saya yang dapat menilai apakah perubahan itu berjalan lebih ke arah positif atau negatif. Namun, satu hal yang pasti, yang sebenarnya sedikit banyak membuat saya ingin tertawa satir, adalah bahwa segala hal yang barusan saya tulis dan keluhkan sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah pemaknaan subyektif saya mengenai konsep 'pemaknaan subyektif' itu sendiri.
Ironis?? sekali lagi, bukan saya yang dapat menilai.. :)
(Chikita Rosemarie, June-29-2009)