Dalam perspektif sosiologi agama, yaitu dalam pandangan fungsionalisme, agama dilihat melalui fungsinya. Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: Agama dilihat sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial[1]. Agama dapat menjadi nyata apabila eksistensi dan fungsinya dapat membawa masyarakat ke dalam pencapaian dari cita-cita masyarakat tersebut. Dari situlah, definisi dari agama sendiri menjadi berkaitan erat dengan sistem sosial[2]. Apabila dilihat dari fungsinya, Hendropuspito (1983) merumuskan beberapa fungsi dari agama, yang meliputi: Fungsi Edukatif, Fungsi Penyelamatan, Fungsi Pengawasan Sosial (Social Control), dan Fungsi Profetis atau Kritis[3]. Melalui penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa agama memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam masyarakat, dan dari situ pulalah, agama dapat pula memiliki keterkaitan erat dengan adat.
Adat, secara epistemologis memiliki pengertian yang sama dengan ‘kebiasaan’. Apabila dijabarkan, adat dapat memiliki pengertian sebagai suatu sikap (tingkah laku), kebiasaan, dan kelaziman, yang adalah sesuai dengan norma yang diturun-alihkan. Dan itu membuat adat serta kebiasaan itu memperoleh kedudukan (status) sebagai sesuatu yang mengikat, yang tak terelakkan, baik buat suatu golongan tertentu, maupun buat perorangan di dalam golongan itu[4]. A. Schreiber (1976) secara lebih sosiologis, merumuskan adat sebagai kebiasaan yang mengatur dengan kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan. Adalah serentak rangkuman segala hukum[5]. Melalui perumusan tersebut, secara tidak langsung dapat dilihat adanya fungsi dari adat itu sendiri.
Melalui penjabaran-penjabaran di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan yang merupakan persamaan mendasar dari agama dengan adat. Yaitu bahwa agama dan adat memiliki sifat sosial, merupakan bagian dari sistem sosial itu sendiri, dengan fungsi untuk mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Dari situlah, walaupun memiliki perbedaan terminologi, dalam prakteknya agama dan adat menjadi saling berkesinambungan. Hal itulah yang terjadi dalam masyarakat Bali dan Minangkabau,
Pada masyarakat Bali, kesinambungan antara adat dengan agama dapat dilihat melalui ajaran adat Bali yang dilandasi oleh agama Hindu. Salah satu yang paling jelas terlihat adalah adanya perwujudan dari ajaran Tri-Hita-Karana, yang merupakan konsepsi keseimbangan ‘triangulasi’ antara Tuhan, Manusia, dan Alam yang merupakan inti dari ajaran adat Bali itu sendiri. Peranan antara agama Hindu dengan adat saling saling mengimplikasi demi terciptanya keteraturan dalam masyarakat.
Walaupun terdapat pemetaan yang cukup jelas mengenai penciptaan keteraturan dalam masyarakat, bukan berarti bahwa masyarakat Bali tidak memiliki permasalahan dalam hal pembangunan dan modernisasi. Adanya modernisasi yang ditunjukkan dalam bidang pendidikan dan pariwisata telah mendorong berubahnya nilai-nilai adat, penyederhanaan sistem upacara keagamaan, serta keseluruhan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali[6].
Namun, apabila kita kembali pada eksistensi nilai keseimbangan, masyarakat Bali juga mengenal suatu konsep desa-kala-prata yang mengedepankan perubahan dan perkembangan zaman[7]. Putu Wijaya, seorang budayawan asal Bali melihat bahwa melalui konsep desa-kala-prata, masyarakat bali mengedepankan proses perubahan sebagai salah satu bentuk harmoni (keselarasan; keseimbangan) yang harus dihadapi demi meraih keseimbangan yang lebih sempurna. Dalam konteks modernisasi, konsep desa-kala-prata menjadi suatu konsep yang dipergunakan dalam menyiasati strategi masyarakat Bali dalam menanggapi perubahan jaman, dan dalam konteks yang sama, hal itu pulalah yang memperlihatkan keunikan Bali yang tidak dimiliki oleh wilayah-wilayah lain yang juga mengalami proses perubahan seiring dengan modernisasi.
Walaupun begitu, Putu Wijaya juga melihat adanya permasalahan sehubungan dengan spiritualitas, yaitu bahwa adanya kecenderungan dari masyarakat Bali yang justru melupakan dimensi spiritualitas baik adat maupun agama mereka dalam menjalani proses perubahan itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dijabarkan secara lebih jelas oleh Adnyana Manuaba dalam poin-poin sebagai berikut[8]: (1) Terjadinya perebutan atau kompetisi tajam pemanfaatan sumber daya, (2) Tekanan kepada lingkungan (pencemaran lingkungan), (3) Dislokasi budaya, (4) Pembagian keuntungan ekonomis yang tidak merata antara satu daerah dengan yang lainnya, serta adanya (5) Kelemahan manajemen. Selanjutnya, Manuaba menyebutkan aspek-aspek Holistik, Sistemik, dan Interdisipliner yang secara konseptual sejalan dengan konsep desa-kala-prata, yaitu bahwa diperlukan adanya suatu keseimbangan, yang dalam hal ini dilakukan dalam ranah teknis, ekonomis, ergonomis, serta sosio-kultural.
Sama halnya dengan masyarakat Bali, masyarakat Minangkabau (Minang) juga memiliki adat yang mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minang, baik dalam hubungan formal maupun tidak formal[9], dan seperti yang terjadi pada masyarakat Bali, sistem yang terdapat dalam masyarakat merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat. Adat Minangkabau dan agama Islam yang saling mengimplikasi menciptakan keteraturan nilai dan norma dalam masyarakat Minang.
Selanjutnya, secara konseptual Taufik Abdullah menjabarkan adanya dua macam hukum yang berlaku dalam masyarakat Minang, yakni: yang ‘datang dari Surga’, dan yang ‘berasal dari Bumi;’. Secara lebih jelas, kedua hukum tersebut adalah Hukum Agama (berasal dari Kitabullah; Al Qur’an), dan Hukum Adat (turun temurun)[10]. Kedua hukum tersebut merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat dan sama-sama menjadi landasan berkehidupan masyarakat Minangkabau. Abdullah, dalam hal ini juga menyebutkan sebuah istrumen yang dipergunakan masyarakat Minang dalam meraih consensus yang dinamakan sebagai mufakat. Mufakat sendiri dapat terjadi apabila didorong oleh tiga hal pokok, yakni: Akal, Iman, dan Ilmu.
Masyarakat Minang melihat adanya hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara individu dengan masyarakat, yang dapat menciptakan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dihadapi melalui pendekatan filosofis dan struktural. Pendekatan filosofis tertuang dalam pepatah adat, sedangkan pendekatan struktural terdapat pada hukum adat yang mengatur struktur sosial masyarakat secara hirarkis. Selain menjadi instrumen dalam pendekatan filosofis, pepatah adat juga memiliki peran dalam mensimbolisasi kesatuan dan kontinuitas masyarakat dari waktu ke waktu. Sebagai suatu kearifan lokal, pepatah adat menjadi suatu pegangan dalam mencapai keselarasan (social harmony) dan dalam mencapai masyarakat yang ideal.
Walaupun begitu, dalam konteks modernisasi, masyarakat Minang memiliki dinamika yang sedikit berbeda dengan masyarakat Bali. Secara historis, seiring dengan terjadinya akulturasi antara adat dengan agama tersebut, memecah pula konflik pertentangan yang terjadi antara kaum lama yang merupakan golongan adat dengan kaum baru yang merupakan golongan Islam. Secara historis, pertentangan antara kaum adat dengat kaum agama menjadi salah satu bagian dari proses modernisasi sosial-budaya dalam masyarakat Minang. Peran agama (Islam) dalam masyarakat Minang menjadi sangatlah besar, karena agama Islam dianggap menyempurnakan adat masyarakat Minang[11]. Sistem adat mulai dipertentangkan dan masyarakat menjadi lebih mengutamakan nilai-nilai keIslaman.
Dinamika modernisasi semakin besar setelah datangnya pemikiran-pemikiran Barat ke dalam masyarakat Minang. Hal ini pada khususnya berpengaruh sangat besar pada system pendidikan, yang juga mempengaruhi pola urbanisasi penduduk, serta mempengaruhi perkembangan pembangunan di daerah Minang itu sendiri.
Pada hakikatnya, apa yang terjadi pada masyarakat Bali dan masyarakat Minang dapat dikatakan tidak terlalu jauh berbeda, keduanya sama-sama mengadopsi fungsi agama dan fungsi adat dalam sistem sosial. Namun, kembali pada penjabaran mengenai definisi agama menurut Hendrosucipto, yaitu bahwa eksistensi dan fungsi (baik agama maupun adat) tersebut harus dapat membawa masyarakat yang bersangkutan dalam pencapaian cita-cita masyarakat itu sendiri. Apabila dihubungkan dengan konteks masyarakat Minang, pertentangan terhadap sistem adat terjadi ketika fungsi dari nilai-nilai adat menjadi dirasa kurang sesuai dengan arah pembangungan masyarakat, dan masyarakat menuntut adanya fungsi baru yang lebih ideal bagi arah pembangunannya. Oleh karena itulah, hal ini (konflik) tidak terjadi dalam masyarakat Bali yang mengedepankan konsep desa-kala-prata.
Dari situ pulalah, masyarakat Bali memiliki daya survavilitas yang lebih tinggi dalam proses modernisasi. Konsep desa-kala-prata sebagai istrumen yang merupakan buah dari agama dan adat masyarakat dimanfaatkan sebaik-baiknya guna mencapai cita-cita masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat Minang, yang juga memiliki instrumen yang berupa kearifal lokalnya gagal dalam memanfaatkan instrumen yang dimilikinya. Apa yang dimiliki masyarakat Minang menjadi hanya sekedar nilai-nilai yang tidak secara nyata-instrumental dapat dipergunakan dalam menjalankan sistem sosial.
Akhir kata, baik agama maupun adat sama-sama memiliki relevansi yang besar dalam modernisasi. Arus modernisasi dapat menggugah keberadaan sistem sosial yang dibentuk dari pemanfaatan fungsi-fungsi agama dan adat, dan sebaliknya, agama dan adat dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara nyata dalam masyarakat ketika masyarakat tersebut berhadapan dengan modernisasi, yang dalam hal ini mengacu pada proses perubahan dan pembangunan. Berhasil-tidaknya fungsi-fungsi agama dan adat dalam masyarakat tergantung pada pemanfaatan nilai-nilai instrumental dari fungsi-fungsi tersebut, yang secara nyata diadopsi oleh sistem sosial dalam masyarakat.
[1] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. 1983. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm 29
[2] Definisi agama sesuai dengan Hendropuspito (1983; hlm 34), agama ialah suatu system sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
[3] Fungsi edukatif: agama sebagai sarana edukasi dan bimbingan, Fungsi penyelamatan: berhubungan dengan dunia sesudah kematian (outer-worldly), Fungsi pengawasan sosial: agama (sebagai institusi) ikut bertanggung jawab atas norma-norma susila dalam masyarakat, Fungsi profetis dan kritis: fungsi agama dalam menjunjung keadilan di masyarakat.
[4] Lothar Schreiner. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak. 2003. Jakarta: Gunung Mulia. Hlm 18
[5] Lothar Schreiner. Op cit. Hlm 21
[6] Berdasarkan pada tulisan I Gusti Ngurah Bagus ‘Kebudayaan Bali’ yang merupakan bahan bacaan mata kuliah Sosiologi Agama semester gasal tahun 2009.
[7] Berdasarkan tulisan Putu Wijaya ‘Bali’ yang dimuat dalam: Wayan Supartha, ed. Bali dan Masa Depannya. 1999. Denpasar: Penerbit PT BP. Hlm 185
[8] Berdasarkan pada tulisan Adnyana Manuaba ‘Isu, Problema, dan Masa Depan Bali’ yang dimuat dalam: Wayan Supartha, ed. Op cit. Hlm 1
[9] Berdasarkan bahan kuliah Sosiologi Agama Rabu, 30 September 2009 oleh Putu Chandra Dewi Kardha, M.Si
[10] Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. 1972. New York: Cornell University Press. Hlm 190
[11] Berdasarkan pada tulisan Umar Junus ‘Kebudayaan Minangkabau’ yang merupakan bahan bacaan mata kuliah Sosiologi Agama semester gasal tahun 2009