Saturday, September 25, 2010
Untuk Y.K. II
Sunday, September 19, 2010
Curahan Hati Dini Hari
Saturday, September 18, 2010
Untuk Y.K.
Tuesday, August 10, 2010
Wadah
Monday, July 26, 2010
Aku dan Diriku yang Lain
Thursday, May 27, 2010
How Gramsci Inspired Said
“Gramsci has identified as hegemony, and indispensable concept for any understanding of cultural life in the industrial West. It is hegemony, or rather the result of cultural hegemony at work, that gives the orientalism the durability and the strength I have been speaking about so far.”
(Edward. W. Said)
Tuesday, May 25, 2010
Di Tengah Kebuntuan Saya Menemukan Pencerahan
Saturday, April 17, 2010
Kota Bandung dan Urban Culture-nya
Oleh: Chikita Rosemarie[1]
Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu, baik desa maupun kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya.
Sosiologi, sebagai suatu kajian ilmu melihat kehidupan baik di desa maupun di kota sebagai suatu ‘arena’ yang memungkinkan terjadinya fenomena-fenomena sosial. Yang patut diperhatikan adalah definisi dari desa dan kota itu sendiri. Perbedaan dari desa dan kota, secara sosiologis terletak pada proses terbentuknya. Dalam kajian sosiologi perkotaan (urban sociology) dikenal beberapa istilah penting, yakni: Kota (city), Perkotaan (urban), Urbanisasi (urbanization) dan Urbanisme (urbanism). Kota dapat diartikan sebagai suatu batasan wilayah administratif, Perkotaan sebagai suatu wilayah dengan karakteristik dari Kota, sedangkan Urbanisasi dan Urbanisme sebagai suatu pendekatan akan proses yang merubah wilayah rural (pedesaan) menjadi wilayah urban (perkotaan).
Proses yang Menghasilkan Urban Culture
Pada hakikatnya, studi mengenai kota dan perkotaan selalu mengarah pada ‘proses’ itu sendiri. Proses yang dimaksud disini bukan hanya suatu proses politik yang mengabsahkan suatu wilayah desa menjadi wilayah administratif ‘kota’, namun suatu proses sosio-kultural yang melibatkan suatu masyarakat dengan ciri khas dan dinamika tertentu. Proses itulah yang disebut sebagai ‘Urbanisasi’ atau ‘Urbanisme’, dan yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut sebagai urban culture.
Urban culture, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu sistem dari nilai, norma, dan hubungan sosial yang melibatkan aspek historis serta pembentukan organisasi dan transformasi tertentu[2]. Ferdinand Tonnies, sebagai salah seorang sosiolog yang mempelopori studi perkotaan melihat urban culture sebagai suatu hasil evolusi dari bentuk komunitas menjadi bentuk asosiatif yang memiliki karakteristik akan adanya pembagian peran, melemahnya loyalitas, dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer[3].
Tonnies, melalui essaynya ‘Gemeinschaft und Gesellschaft’ (1887)[4] mengembangkan pemikiran yang serupa dengan pemikiran Durkheim (1893) mengenai solidaritas mekanik dan organik. Yaitu bahwa Tonnies melihat adanya suatu bentuk evolusi dari masyarakat yang memiliki solidaritas tipe mekanik yang merupakan karakteristik masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang memiliki solidaritas organik yang merupakan karakteristik masyarakat perkotaan. Masyarakat yang sebelumnya disebut Tonnies sebagai gemeinschaft (community; komunitas; paguyuban) berkembang menjadi gesellschaft (society; masyarakat; patembayan).
Louis Wirth (1938), dalam hal ini, mengembangkan konsepsi yang lebih spesifik mengenai mengenai kota. Wirth melihat adanya konsekuensi sosiologis dari ukuran, kepadatan, dan heterogenitas (size, density, and heterogeinity) dari suatu wilayah. Semakin besar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota, semakin besar pula diferensiasi sosial, semakin jauh jarak antar individu, dan semakin tidak stabil keanggotaan dalam kelompok[5]. Ketiga aspek inilah yang menurut Wirth merupakan karakteristik atau bentuk kultural dari suatu kota (urban culture) yang menghasilkan suatu konsekuensi, yakni masyarakat yang bermasalah, teralienasi, manipulatif, dan menunjukkan ketidaksukaan[6].
Perkembangan Urban Culture di Bandung
Bandung, sebagai suatu kota juga mengalami proses urbanisasi. Secara historis, proses urbanisasi wilayah Bandung sudah dimulai sejak pertama kali ia berdiri, yakni pada abad ke-14 (1488) sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Ia menjadi Kabupaten sendiri tiga abad setelahnya, yakni pada tahun 1799. Kota Bandung juga mengalami fase-fase mulai dari Geemente (kotamadya), Staadsgemeente (daerah otonom), dan Haminte (kota) pada masa penjajahan Belanda. Ia secara administratif menjadi Pemerintah Kota Bandung yang kita kenal sekarang mulai dari tahun 1974[7].
Dalam hal ukuran wilayah, Kota Bandung juga mengalami perluasan akibat dari pertambahan penduduk yang signifikan setiap tahunnya. Pertambahan penduduk tersebut sudah terjadi semenjak jaman penjajahan Belanda sampai akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 1987, wilayah administrasi Kota Bandung diperluas sehingga menjadi 16. 729, 65 Ha dengan pembagian wilayah administrasi mulai dari tingkat Kecamatan hingga RT (Rukun Tetangga)[8]. Jumlah penduduk Kota Bandung sendiri adalah 2. 270. 970 Jiwa[9].
Bandung, sejak dahulu selalu menjadi daerah pemusatan kegiatan. Pada jaman penjajahan Belanda, Bandung sebagai wilayah yang dianggap sebagai salah satu kawasan terbaik menjadi kawasan perumahan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Jawa. Dalam hal ini, Bandung sebagai suatu wilayah telah memperlihatkan suatu fungsi tertentu. Fungsi tersebut berkembang seiring dengan pertambahan penduduk dan dikeluarkannya UU Desentralisasi tahun 1903 yang memberikan otonomi daerah (Staadsgemeente) serta pembangunan dan pemeliharaaan fasilitas dan infrastruktur bagi beberapa kota di Pulau Jawa termasuk Kota Bandung.
Pertambahan penduduk, baik karena aspek kelahiran maupun aspek pendatang, serta pembangunan infrastruktur pada akhirnya akan memperbesar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota. Selanjutnya, sesuai dengan konsep Wirth, munculah diferensiasi sosial. Pada dasarnya, diferensiasi sosial, membawa perbedaan kepentingan. Dalam hal ini, kepentingan yang dulunya hanya berkisar pada kepentingan komunitas bertambah dan menjadi semakin spesifik, seperti kepentingan rekreasional, kepentingan okupasional, kepentingan pendidikan, dan lain-lain. Masyarakat yang dahulunya merupakan suatu komunitas spasial yang besar mulai terbagi menjadi beberapa komunitas yang sifatnya asosiasional (interest-oriented).
Hal inilah yang menyebabkan, apa yang disebut Tonnies sebagai pembagian peran (karena peran disesuaikan dengan kepentingan), melemahnya loyalitas (karena interest-oriented), dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer (karena hubungan sosial yang dilakukan disesuaikan dengan kepentingan). Tabrakan dari kepentingan-kepentingan yang berbeda inilah yang dikatakan oleh Wirth dapat menyebabkan ketidakstabilan.
Urban Culture dan Perubahan Sosial
Walaupun secara konseptual urban culture menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat, namun dalam studi-studi perkotaan, kemunculan urban culture tidak melulu menjadi suatu proses yang bersifat negatif. Urban culture yang menciptakan masyarakat urban (urban society) diharapkan dapat menjadi suatu fase bagi masyarakat untuk dapat bertransformasi dalam suatu proses perubahan sosial yang lebih besar. Keberhasilan masyarakat perkotaan dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan sosial diharapkan dapat menjadi suatu revolusi urban (urban revolution)[10], yang mengedepankan pada suatu bentuk kohesi sosial pada masyarakat perkotaan. Bukan hanya bagi Kota Bandung saja, namun juga kota-kota lain di Indonesia, maupun dunia.
[1] Penulis adalah mahasiswi jurusan sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari: “a certain system of values, norms, and social relations possessing a historical specificity and it’s own logic of organization and transformation.”
Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
[3] Diterjemahkan secara bebas dari: “as the evolution of a community form to an associative form, characterized by segmentation of roles, a multiplicity of loyalties and a primacy of a secondary social relations over primary social relations.”
Ibid.
[4] Diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi ‘Community and Society’.
Jan Lin and Christopher Mele (ed). 2005. The Urban Sociology Reader. Routledge: Park Avenue.
[5] Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
[6] William G. Flanagan. 1995. Contemporary Urban Sociology. Cambridge University Press.
[7] Berdasarkan pada ‘Bandung Dalam Angka 2005’, Bab II. Dapat diakses melalui website resmi pemerintah Kota Bandung: bandung.go.id
[8] Ibid..
[9] Berdasarkan pada Susenas 2005.
Dapat dilihat pada ‘Bandung Dalam Angka 2005’, Bab III. Dapat diakses melalui website resmi pemerintah Kota Bandung: bandung.go.id
[10] Dengan pengertian: “the ensemble of transformations undergone by contemporary society, in order to pass from the period in which the urban problematic will decisively triumph, in which the search for solutions and modalities proper to urban society will become of prime importance.”
Gumilar Rusliwa Soemantri, PhD. 2007. Urban Ideology, Urban Questions, and Social Theory. Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
Sunday, January 24, 2010
Modal Sosial dalam Dinamikanya; Tinjauan dan Kritik Terhadap Szreter
-Simon Szreter, siapapun yang pernah belajar maupun mengkaji kajian Modal Sosial pasti pernah mendengar namanya. Salah satu tokoh penting dalam perkembangan teori modal sosial melalui tesisnya 'The State of Social Capital; Bringing Back the Power, Politics, and History'. Pada kesempatan ini, saya mencoba meninjau tesis 'indah' beliau yang tertuang dalam essai 50 halaman tersebut. Tidak ada yg benar, tidak ada yang salah, hanya keinginan luhur dalam mencari pengetahuan ;). Happy reading :)
Modal Sosial dalam Dinamikanya
Tinjauan dan Kritik Terhadap Szreter
Dalam menyikapi tesis Simon Szreter mengenai modal sosial, ada baiknya memulai dengan pembahasan mengenai konsep modal sosial menurut Robert Putnam yang juga merupakan landasan awal dari konsep modal sosial Szreter. Putnam, dalam tesisnya, ‘Bowling Alone; The Collapse and Revival of American Community’ melihat bahwa modal sosial mengarah pada hubungan antara individu-individu dalam kelompok -jaringan sosial (social networks), serta norma saling menguntungkan (norms of reciprocity) dan kepercayaan (trustworthiness) yang dibentuk melalui hubungan tersebut. Putnam menekankan pada bentuk hubungan yang bersifat setara (mutual obligation), yang diatur dengan seperangkat aturan, dan mendorong norma saling menguntungkan, hubungan tersebut menjadi bagian dari jaringan dalam kehidupan sehari-hari dan dipergunakan dalam mencapai keuntungan sosial dari kelompok tersebut.
Secara sederhana, Putnam menggambarkan modal sosial seperti konsep Ross Gittel dan Avis Vidal, yaitu bahwa modal sosial memiliki dua dimensi yang adalah ‘bonding’ dan ‘bridging’. Dimensi bonding menunjuk berat pada jaringan yang dibentuk melalui identitas bersama. Sedangkan Bridging jaringan asosiasi. Hubungan dilakukan tidak berdasarkan pada latar belakang. Interaksi dilakukan demi terjadinya aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang ada, tidak dapat dicapai sendiri, serta tidak pula didapatkan melalui jaringan yang terbentuk di dalam kelompok.
Secara konseptual, Srzeter melihat adanya kelemahan pada tesis Putnam dalam ranah konteks. Konsep Putnam dirasa kurang sesuai pada ranah empiris walaupun telah dengan jelas membedakan kedua dimensi dalam modal sosial. Dalam hal ini, Szreter melihat bahwa Putnam, yang mencoba mendeskripsikan masyarakat liberal (Amerika) menemukan bahwa adanya dimensi kelas serta perbedaan keseimbangan antara bonding dan bridging pada masyarakat dan kelompok yang berbeda. Sebaliknya, Pierre Bourdieau (1972) yang tidak berhasil memberikan pembedaan terhadap dimensi modal sosial, secara konseptual menuai keberhasilan dalam ranah konteks. Bourdieau selalu menekankan bahwa seluruh akses terhadap modal (termasuk modal sosial) yang dimiliki oleh individu selalu tergantung pada posisi di mana individu itu berada pada masyarakat secara umum, dalam hal ini adalah masyarakat liberal. Bourdieau menyatakan adanya bentuk konversi dari modal-modal tersebut, bahwa suatu modal dalam masyarakat, apapun bentuknya, dapat menjadi modal sosial apabila sesuai dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Selanjutnya, sebagai pengaruh dari kedua pemikiran tersebut, Szreter berusaha memperbaharui konsep modal sosial Putnam.
Dalam Bowling Alone, Szreter melihat adanya perbedaan dalam pemikiran Putnam. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada: (1) Putnam tidak lagi melihat bahwa modal sosial berkembang secara alamiah, (2) Putnam melihat kekurangan dari modal sosial, dan (3) adanya pembedaan dimensi bonding dan bridging. Namun ada satu hal yang belum diungkapkan Putnam, yang dirasa perlu untuk dikembangkan secara lebih spesifik, yakni keberadaan Negara (State), yang hanya diulas Putnam dalam pengantar tesisnya.
Pada perkembangannya, Szreter menyusun suatu tesis, yang secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut: yaitu pertama, bahwa adanya hubungan mendasar antara modal sosial yang ada pada masyarakat terntentu (kelompok) dengan peran negara atau kelompok yang lebih besar (mengarah pada jangkauan power). Yang kedua adalah bahwa lingkungan ideologis dan ekonomi secara historis berubah mengakibatkan penurunan serta peningkatan modal sosial.
Sehubungan dengan tesis tersebut, Michael Woolcock, yang memiliki latar belakang sosiologi dan studi pembangunan menyatakan adanya konsep Linking, yang menunjuk pada hubungan pertukaran, yang dilakukan oleh dua kelompok, yang bukan hanya berbeda dalam jenis tetapi juga berada pada posisi yang berbeda dalam jangkauan kuasan dan akses terhadap sumber daya.. Dimensi Linking pada modal sosial menjelaskan jaringan serta hubungan yang lebih bersifat institusional dengan unequal agents. Secara sederhana, hubungan tersebut dapat dilihat pada hubungan yang tercipta antara suatu komunitas dengan agen eksternalnya. Terisnpirasi oleh konsep dari Woolcock serta sejarah jatuhnya Weimar Republic yang digambarkan oleh Gunter Grass, Szreter melihat pentingnya menambahkan konsep linking pada konsep modal sosial Putnam.
Walaupun begitu, Szreter menyadari adanya kelemahan pada aplikasi dari konsep linking. Hubungan yang terjadi pada dimensi linking dirasa sulit untuk dapat dicapai. Hal ini diakibatkan oleh adanya keperbedaan tingkat kuasa dan sumber daya pada kedua kelompok yang berbeda tersebut. Hubungan yang terjalin justru merujuk pada bentuk ketimpangan, dan di dalamnya justru terdapat ketidakpercayaan (mutual distrust), ketidakpengertian (incomprehension), ketidakpedulian (ignorance), atau ketidaksukaan (dislike). Ciri-ciri tersebut terjadi pada masyarakat kontemporer Amerika Serikat selama tahun 1980an dan 1990an.
Bagi Srzeter, modal sosial menjadi suatu pedang bermata dua (double-edged sword), dengan adanya jaringan yang dapat membentuk eksklusi serta dominasi, sekaligus memberikan bentuk emansipasi (Field, 2005; 133). Namun, secara analitis, di samping memiliki kelemahan dalam hal aplikasi, konsep linking justru menjadi banyak bermanfaat karena selain memasukkan modal sosial pada studi historis, juga mengundang berbagai pertanyaan mendasar mengenai bagaimana menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi bentuk pertukaran dan dialog yang dapat mendukung hubungan tersebut. Srzeter melihat hal-hal ini sebagai tugas bagi pemerintah dalam membangkitkan modal sosial serta partisipasi warganegara (civic participation) sebagai tujuan dari keberadaan pasar bebas dan kekuatan negara.
Dari situlah, dapat dilihat bahwa pemikiran konsep modal sosial telah meluas pada ranah politis, ideologis, nilai moral (moral values), peranan negara (the role of state), serta pemberlakuan relasi kekuasaan dalam dunia yang penuh ketimpangan. Srzeter , melalui pemikirannya, berhasil melakukan apa yang tidak berhasil dilakukan oleh Putnam, yaitu membuka peluang terciptanya pemikiran-pemikiran baru dalam studi perkembangan, kenegaraan, dan politik, serta sosial-budaya pada umumnya. Namun, kelemahan dari konsepsi Srzeter dinyatakan oleh John Field, yang pernah terjun langsung ke dalam dunia politik di Inggris, dalam bukunya ‘Social Capital and Lifelong Learning’ (2005).
Menurut Field, negara tidak perlu memegang peranan penuh dalam mengembangkan modal sosial. Dimensi bonding dan bridging pada modal sosial masyarakat pada hakikatnya cukup dalam mempertahankan kekuatan kelompok. Jaringan yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam hal pertukaran ide serta informasi, yang pada nantinya dapat membawa hasil yang tak terduga berupa perkembangan modal sosial masyarakat itu sendiri. Khususnya pada masyarakat dengan relasi kekuasaan yang timpang. Field melihat bahwa modal sosial merupakan suatu konsep yang kompleks dan penuh dengan isu-isu multidimensional yang pada akhirnya melupakan peluang yang tak terduga dari keberdaan intervensi dan ketimpangan. Srzeter, yang mengutamakan partisipasi warganegara, justru melupakan keberadaan energi sosial yang ada pada warganegara sebagai suatu bentukan dari masyarakat yang madani.
Wacana:
· John Field, Social Capital and Lifelong Learning, 2005, Central European Journal of Public Policy.
· Simon Szreter, The State of Social Capital: Bringing Back in Power, Politics, and History, 2002, JSTOR.
(Chikita Rosemarie, 24 - 01 - 2010)