Saturday, January 24, 2009

PENYIMPANGAN SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH LANSIA SEBAGAI DAMPAK PERGESERAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT

ini adalah paper yang saya buat untuk tugas akhir mata kuliah 'Sosiologi Keluarga' pada bulan Desember lalu. agak lama bagi saya untuk mengunduh tulisan ini semata-mata karena bentuk aslinya adalah sebuah makalah dan kebetulan untuk dimasukkan di dalam blog perlu saya kompres  dan edit sedikit 
yaahh.. mudah"an cukup menarik untuk dibaca ;)


PENYIMPANGAN SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH LANSIA 

SEBAGAI DAMPAK PERGESERAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT

“Sebuah Tinjauan Sosiologi Keluarga”


Masyarakat pada hakekatnya terbagi menjadi beberapa segmen yang berbeda. Salah satu segmen yang ada dalam masyarakat dan yang paling mudah untuk diidentifikasi adalah segmen usia. Berdasarkan segmen usia, masyarakat secara sederhana terdiri dari segmen usia anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia (lanjut usia). Lansia atau orang lanjut usia sendiri adalah orang-orang yang telah berumur lebih dari 60 tahun, di mana mereka telah mencapai fase usia yang lebih tinggi dibandingkan kategorisasi lain dalam segmen usia tersebut. 

Keberadaan lansia sendiri memiliki peran penting sebagai motor penggerak bagi generasi penerus mereka. Secara historis, lansia dapat dikatakan merupakan ‘pelopor’ pembangunan, di mana mereka sendiri pernah mengalami fase usia yang secara kategorial berada di bawah fase usianya yang sekarang, dan pada prosesnya, mereka menjalankan peran tersebut dalam masyarakat sampai pada akhirnya menyandang status sebagai ‘lansia’, di mana memiliki peran yang berbeda dengan peran yang mereka jalani sebelumnya. Dalam kajian sosiologi keluarga, peran tersebut merupakan peran Grandparenthood, di mana secara garis besar menunjuk pada peranan sebagai pemegang transmisi nilai-nilai dalam masyarakat.

Namun, sehubungan dengan itu, menurut data yang ditemukan, pada tahun 2000 tercatat sekitar 7,18% penduduk Indonesia berusia lanjut (14,4 juta orang), dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlahnya akan mencapai 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia (28,8 juta orang). Kondisi ini akan membebani penduduk berusia produktif apabila ratio ketergantungan terus bertambah. 

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan pada 2025, lebih dari seperlima penduduk Indonesia adalah orang lanjut usia (lansia).

"Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap biasa," ujar Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Nina Sardjunan pada jumpa pers Jakarta Forum on Social Protection for Senior Citizen in Indonesia and ASEAN Countries di Jakarta. Senin (12/11).

Menurut dia, kondisi tersebut disebabkan oleh menurunnya angka mortalitas dan meningkatnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia. "Jumlah populasi yang besar tersebut jangan sampai menjadi beban pembangunan tetapi, aset pembangunan," ujarnya.

Bersarkan statistik BPS, 59,12 persen lansia di Indonesia tergolong miskin, dan merupakan 27 persen dari total penduduk miskin. Selain itu, rata-rata pendidikan lansia di Indonesia hanya Sekolah Dasar tanpa memiliki pekerjaan tetap.

Menurut penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa dewasa ini, terdapat adanya stereotype tersendiri terhadap kaum lansia, di mana mereka dianggap sebagai suatu ‘beban’ bagi masyarakat tempat mereka berada, padahal secara normatif, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, keberadaan lansia sebagai pemegang peran Grandparenthood sangat penting adanya bagi masyarakat. Dari situlah terdapat adanya pergeseran peran, di mana lansia yang dulunya memiliki peran yang ‘dituakan’ justru bergeser menjadi ‘dianggap menyusahkan’. Keberadaan lansia menjadi tidak dianggap penting dalam pembangunan masyarakat. Pergeseran peran yang dialami lansia inilah yang nampaknya membawa dampak bagi masyarakat. Banyaknya kasus-kasus penyimpangan sosial yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan (kriminalitas) yang dilakukan oleh lansia menjadi tanda adanya hubungan kausalitas antara perilaku menyimpang dengan dinamika sosial masyarakat, di mana dalam hal ini dilakukan suatu segmen tertentu dalam masyarakat, yakni kelompok lansia.

Kelompok lansia yang semestinya memegang peran penting dalam masyarakat dan diharapkan dapat menjadi ‘motor penggerak’ pembangunan, namun pada kenyataannya, dewasa ini banyak sekali terjadi berbagai kasus penyimpangan yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan yang justru dilakukan oleh lansia. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan dalam adalah (1) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pergeseran peran lansia dalam masyarakat yang mendorong perilaku menyimpang mereka?, dan (2) Bagaimana cara menanggulangi penyimpangan sosial yang dilakukan lansia dalam masyarakat?

Dinamika masyarakat yang berjalan ke arah yang tidak sesuai dengan harapan anggotanya kadang memberikan dampak bagi masyarakat itu sendiri, yaitu ketika ada komponen masyarakat yang bereaksi sebagai hasil dari perubahan tersebut. Salah satu cara dalam menanggulangi dampak dari perubahan adalah dengan memaksimalkan kewenangan para pemegang fungsi kontrol. Namun, keadaan akan berbeda apabila pihak yang harus dikontrol adalah pihak yang berada dalam segmen yang nyaris berada pada ambang eksklusi, yakni kaum lansia.

Tak dapat dipungkiri, bahwa pergeseran peran yang dialami lansia dalam masyarakat menyebabkan mereka sedikit tereksklusi dari kehidupan publik, di mana mereka mengalami disengagement yang pada akhirnya berujung pada degradasi peran. Degradasi peran yang dialami lansia sendiri nampaknya memiliki dua bentuk, yakni degradasi peran di mana para lansia sebagai individu yang berkurang produktivitasnya maupun maupun degradasi peran di mana para lansia yang dahulunya ‘dituakan’ oleh masyarakat sekitarnya menjadi tidak lagi ‘dituakan’ akibat adanya pergeseran budaya dalam masyarakat. 

Dari situlah, fungsi kontrol dari para pemegang kewenangan juga memiliki keterbatasan dalam meraih segmen ini, di mana fungsi kontrol (dalam hal ini seperangkat aturan, dsb) yang menjadi external containment bagi masyarakat menjadi tidak efektif. Faktor internal containment juga menjadi melemah pada segmen ini, di mana para lansia yang merasa tereksklusi kehilangan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam masyarakat.

Akibatnya timbulah peluang bagi segmen ini untuk melakukan penyimpangan sosial. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan juga beragam (lihat link-link pada 'wacana').

Melalui artikel-artikel dalam wacana, dapat dilihat adanya peran yang melemah, khususnya peran grandparenthood yang dipegang para lansia yang melakukan perilaku menyimpang tersebut, di mana peran grandparenthood yang seharusnya menjadi fokus mereka menjadi hilang seiring dengan perubahan nilai keluarga di mana mereka berada. Perubahan nilai keluarga tersebut rupanya juga mempengaruhi peranan simbolik yang seharusnya dijalankan oleh kaum lansia dalam keluarga. 

Jadi, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat dua bentuk pergeseran peran lansia, yakni lansia sebagai individu dan lansia sebagai dampak pergeseran budaya. Apabila digambarkan dalam bagan, pergeseran peran lansia tersebut dapat digambarkan sbb:


1. Pergeseran Peran Lansia Sebagai Individu




2. Pergeseran Peran Lansia Sebagai Dampak Pergeseran Budaya





Dari bagan, dapat dilihat adanya proses yang berbeda, yang menyebabkan kaum lansia mengalami pergeseran peran. melalui pergeseran peran itulah peran lansia sebagai sumber-sumber dalam lingkungan sosial pun melemah, dan faktor eksternal maupun internal dari containment pun melemah. Dari situlah, tercipta peluang untuk melakukan bentuk-bentuk penyimpangan.


Melalui penjabaran di atas, dapat dilihat beberapa faktor yang memicu terjadinya penyimpangan sosial oleh lansia, yaitu:

1. Penurunan kesehatan, serta status sosial-ekonomi yang dialami lansia, di mana mempengaruhi produktifitas serta status dan peranannya dalam masyarakat.

2. Pergeseran budaya yang yang berujung pada pergeseran nilai keluarga.


Adapun, yang harus dilakukan demi menanggulangi dampak pergeseran peran tersebut adalah:

1. Meminimalisir disengagement yang dialami para lansia dengan meningkatkan aktivitas mereka dalam masyarakat.

2. Diperlukan perhatian dari pemerintah sebagai pemegang fungsi kontrol dalam menjaga kesejahteraan kaum lansia sebagai salah satu bagian segmen penting dalam masyarakat.

3. Apresiasi serta seperangkat aturan yang berlaku, sebagai salah satu perwujudan reward and punishment dalam menanggapi permasalahan lansia.


Pada hakekatnya, lansia masih merupakan warga negara yang sah, memiliki eksistensi yang nyata, dan relasi baik secara sosial maupun kultural di dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi yang melibatkan kelompok tersebut sudah seharusnya diberikan perhatian lebih, di mana secara sistemik, kelompok lansia masih merupakan bagian dari sistem masyarakat yang berada di bawah naungan negara. 



Literatur:

Bengston, Vern L. & Joan F. Robertson. 1988. Grandparenthood. USA: Sage Publications

Bond, John. Peter G. Coleman, Sheila M. Peace. 1994. Ageing in Society:an Introduction to Social Gerontology. UK : Sage Publications

Papalia, Diane. E, Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Daskin. 2008. Human Development 10th Edition. USA : McGraw-Hill

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI

Wolfgang, Martin E. & Leonard Savits. 1962. The Sociology of Crime and Deliquency. New York: John Wiley & Sons.inc

 

Website:

http://www.digilib.ui.edu/file?file=digital/89959-JJKI-II-7-Sept1999-253.pdf

http://www.acehtoday.com/server1/index.php?mod=article&cat=AcehTimur&article=135

http://www.lodaya.web.id/?p=3059

http://www2.kompas.com/ver1/Metropolitan/0610/29/051339.htm

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2007/11/30/brk,20071130-112668,id.html

http://www.pksjogja.or.id/lansia-bagian-masyarakat-yang-jangan-sampai-terlupakan/

http://demografi.bps.go.id

http://www.komnaslansia.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=25&Itemid=28

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/11/12/brk,20071112-111401,id.html



(Chikita Rosemarie, Jan-24-2009)


9 comments:

liviamc said...

jd inget nenek aku dirumah.

Anonymous said...

hmmm...bole kasi kritik ya; uda lama gak ganggu jalan pikiran lo soalnya hehehe :p

gw curiga poin dasar lo sebetulnya simple dan uda intuitive, yaitu "kalo orang ga dikasi kesempatan buat ngelakuin hal yg positif, kemungkinan dia akan ngelakuin hal yg negatif pun makin besar."
gw jadi inget ejekan yg perna dilontarin Richard Feynman, salah satu nobelis fisika, terhadap ilmu sosial, yakni bahwa dia hanya membungkus penjelasan sehari2, yg sebetulnya uda diketahui bersama, dlm bahasa yg lebih rumit hehehe ;p

well, poin utama dr sinisme itu adalah bagaimana that kind of explanation is uninteresting....tapi, problem lain, yg less conceptual, dgn analisis lo adalah bahwa eksplanasi yg lo pakai itu sendiri belum tentu correct buat ngejelasin fenomena yg lo bahas. napa begitu?
lo yakin kalo semakin kecilnya kesempatan lansia sekarang untuk berkontribusi positif diakibatkan oleh adanya perubahan budaya yg mengimplikasikan perubahan peran sosial lansia....tapi lo mengabaikan kemungkinan bahwa bisa aja budayanya gak berubah, peran yg terbuka buat dimainkan lansia tetep sama besar, hanya saja jumlah lansia-nya bertambah terlalu banyak sehingga peran itu gak bisa lagi menampung semua lansia yg ada; ada lansia yg harus tersisih dari the social role-market....ini analog dengan relasi antara lowongan pekerjaan dan pengangguran...bisa aja penggangguran bertambah bukan karena lowongannya makin dikit, tapi cuman karena jumlah tenaga kerjanya emang bertambah banyak aja

ChikitaRosemarie said...

wah mas, saya percaya sinisme seperti itu salah. krn seperti layaknya ilmu" lain, ilmu sosial itu merupakan simplifikasi dan bukan perumitan.. :)

justru krn itulah saya pakai containment theory,, di mana yg berlaku di sini bukan hanya faktor external containment melainkan internal containment juga.
di mana hal itu terkait juga dgn aspek sosial lingkungan yang jatohnya lebih ke arah holistik. dan tarkait jg dengan pandangan fungsionalis mengenai disengagement dan activity theory..

semuanya ada di kerangka konsep, tp emang jatohnya teori"nya malah ga byk saya bahas di analisis krn saya mau coba mendeskripsikan analisis saya ke dlm bagan.. (bodohnya lg bab 2 ga saya masukin ksini krn terlalu panjang).

intinya, apa yg saya ingin katakan melalui tulisan in adalah bukan sekedar pergeseran budaya yang merupakan external containment, tetapi memang adanya inkapabilitas dr kelompok lansia itu sendiri yang merupakan internal containment. dan krg tepat kalo dibilang jumlah lansia yg bertambah, krn kebetulan yang saya pakai dsini adalah sudut pandang sosiologi keluarga, di mana symbolic & multiple meanings of grantparenting semestinya memiliki perbandingan linear dengan perkembangan keluarga itu sendiri..

tp memang saya akui, tulisan ini sangat lemah di analisis.. biasalah mas, dikejar realita yg bernama 'deadline' ;)

anyway makasih kritiknya loh.. i'll make it up next sems ;)

Anonymous said...

"faktor external containment, internal containment, holistik, fungsionalis, disengagement dan activity theory...symbolic & multiple meanings of grantparenting semestinya memiliki perbandingan linear."

hmmmm...apakah konsep2 yg terdengar berat itu emang "sophisticated" atau "pure sophistry"? hehehe...since, masalah utamanya, yg bikin gw bilang analisisnya unienteresting, adalah penjelasan yg lo berikan mengenai fenomena meningkatnya "kebengalan" lansia itu ga memberikan tambahan pengetahuan yg signifikan pada stok pengetahuan yg emang uda kita punya (cenderung hanya merediskripsikan stok yg kita punya itu)...ato, dgn kata lain, analisis itu tampaknya bisa berjalan tanpa perlu konsep2 "berat" di atas hehehe


lalu, mengenai soal kekeliruan analisis....well, distingsi antara yg eksternal dan yg internal tuh sayangnya ga membantu apa2 chik...karena, peningkatan kebengalan lansia itu tetap dapat terjadi tanpa perubahan sama sekali baik pada budaya maupun kapasitas, sebagaimana pengangguran bisa tetep terjadi walaupun ga ada perubahan pada jumlah lowongan kerja ataupun pada kualitas tenaga kerja. Ini adalah alternatif penjelasan yg belum lo tutup kemungkinan kebenarannya di dalam paper lo, dan hal itu membuat the correctness of ur hypotheses jadi ga meyakinkan.

(anyway, just curious, apaka lo mengklaim bahwa sebenernya jg terjadi perubahan pada kapasitas lansia yg terjadi secara independen dr pergeseran budaya? kalo gak, there's no need to assert that distinction in explaining penyebab dr fenomena itu...distingsi itu dilakukan belakangan aja kalo emang bener2 perlu, misalnya dlm merumuskan possible solution.)

hopefully i'm not being a pain in the arse
hehe ;p

MOONY said...

ga ikut2an komen soal "sophisticated/pure sophistry" ah.. :p
tp kynya nih, maaf lho kalau sok tau, analoginya mas iri ttg pengangguran kurang pas buat dipake ngejelasin masalah lansia ini. soalnya, masalahnya
sepertinya memang lebih ke budaya dan bukan jumlah lansia yang semakin banyak(kebalikan dari pengangguran).

kynya yang bisa diraba dr makalahnya chiki adalah, as a functionalist, dia berusaha menjelaskan bahwa faktor sosial budaya bersama-sama dengan faktor individu-lah yang menyebabkan lansia tidak lagi fungsional di tengah2 masyarakat modern, sehingga terjadi pergeseran peran. it's a matter of quality, not
quantity. mungkin analisa mengenai quality-nya itu yang kurang, seperti status sosial ekonomi. tapi ini bakal nyerempet2 analisa
konflik (ya chik? hahaha). misalnya aja, apa lansia pd golongan ekonomi atas juga mengalami pergeseran peran? atau cuma golongan bawah aja (yang 27 persen tadi)? dr situ, kita bisa tau apakah ini memang masalah kualitas atau kuantitas.

lagi2 mohon maaf, ini omongan sok tau. btw, mas iri, boleh ya dikutip Richard Feynman-nya, hehehe.

ChikitaRosemarie said...

wah.. kira" moli dah cukup tepat menggambarkan analisis saya.. hehehe.. :)

bahkan lebih baik dr penulis asli, *wink*

memang peran yg saya sblmnya sebut sbg 'symbolic & multiple meanings of grantparenting' tidak mengalami perubahan, sbg faktor internal containment terdapat inkapabilitas yg didasari oleh berbagai faktor yg pd akirnya merembet pd perubahan peran. (bagan1)

lalu faktor internal containment melihat adanya perubahan budaya pd masyarakat modern, di mana peran tsb pun menjadi tidak diperlukan lg dan lagi" merembet pd perubahan peran (bagan2)

btwbtw.. pd intinya sih saya memang mencoba menempatkan inti analisis pd bagan, dan jeleknya tidak saya jelaskan secara lebih lanjut dan mendalam jd memang (seprti yg saya blg sblmnya), dr segi analisis memamg masih sangat kurang..

tp krg lebih penjelasannya sudah dijabarkan moli..

atau mungkin saya post jg aja nih konsep" yg saya pakai biar lebih jelas..
(yg jls bukan shopistry since konsep yg saya pakai masi tergolong konsep yg sngat dasar jg).

Anonymous said...

well, Mol, gak usa pake maaf2-an lagi...it's ur basic entitlement buat bilang klaim orang lain itu salah, gak peduli tuh orang apa posisinya
(well, memang sih akan lebih cerdik buat pake kata "maaf" itu ketika lo berhadapan dengan orang gatau malu yg punya kekuatan besar untuk mengubah hidup lo hehehe....but, come on, masak gw dikira orang kayak gt hehehe)

si Mol kasih poin baru yg bikin makin seru nih....distingsi kualitatif-kuantitatif...buat menolong rekannya, sesama sosiolog in making , hehehe

but, apaka "peran sosial" atau "fungsi sosial" itu konsep yg "genuinely qualitative" atau "superficially qualitative"?
Bedanya di antara keduanya adalah yg genuine itu adalah konsep kualitatif yg gak akan bisa diterjemahkan sebagai ekspresi dr konsep kuantitatif tertentu (penerjemahan yg akan sangat berguna, sebab dia memberikan keterangan yg lebih precise...translasi semacam ini secara metodologi disebut "reduksi")
kalo kita mengacu ke stok konsep2 kualitatif yg kita punya sekarang, akan keliatan kalo banyak sekali yg hanya superficially qualitative, mulai dari "panas/dingin", "tinggi/rendah", "warna", "bunyi", dsb...bahkan sebagian besar akademisi, khususnya di luar sana, mengakui kalo satu2nya konsep kualitatif yg masih bisa diperdebatkan soal bisa-tidaknya dikuantifisir hanyalah "mind" atau "consciousness"

pentingnya distingsi antara yg genuine dan yg superficial ini (btw, ini istilah gw aja, lo boleh bikin istilah sendiri kok kalo ngerasa kurang pas hehehe) adalah, in case u haven't realized, bahwa kritik Mol akan gugur kalo fungsi/peran sosial itu ternyata hanya superficially qualitative.

Nah...gw bs aja skrg ngasi demonstrasi gimana fungsi/peran sosial itu memang pd nyatanya superficially qualitative, tp karena sebagai dosen yg baik (halahhhh), i must encourage the students to do the argumentation, maka gw hrs nunggu usaha pembuktian dr kalian untuk nunjukkin bahwa realitasnya justru sebaliknya hehehe ;)

lalala said...

chik, nice job nih
cuman ada yang mengganjal nih di pikiran gw
makalah lo sebenernya skupnya diskursus ato gmana?
lo belum ngasi contoh kasus yang komprehensif nih (penyimpangan yang gmana?), n penyimpangan sosial itu merupakan pemaknaan subjektif lo ya?
penekanan kualitatif dalam makalah lo menurut gw kurang valid waktu lo gak terlalu jelas dalam menegaskan definisi2 yang kluar dari pikiran siapa

well, all in all, good banget!!

MOONY said...

sampe di titik ini saya memutuskan untuk mundur dr diskusi lansia dan membiarkan chiki membuktikan sendiri hipotesanya, hahaha.