-ini adalah tulisan yang saya buat untuk tugas ujian tengah semester 'Hubungan antar Etnik' mengenai Suku Anak Dalam di daerah Jambi, mudah"an cukup menarik untuk dibaca :)
atau
RIMBA tidak sama dengan RUMAH?
Ujian Tengah Semester “Hubungan Antar Etnik’
Oleh: Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie
Sumatera, sebagai salah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia luas area 24,7% dari seluruh luas negara Indonesia. Dari segi kependudukan, sesuai dengan luas areanya, pada pengumpulan data BPS tahun 2005, dapat dilihat bahwa pulau Sumatera menempati urutan kedua sebagai pilihan tempat tinggal bagi sebagian besar penduduk, yakni 21% dari keseluruhan penduduk Indonesia (yang pertama adalah pulau Jawa dan Madura yang memang merupakan pulau terpadat)[1]. Melalui penjabaran tersebut, dapat dilihat pula bahwa pulau Sumatera juga memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu potensi demografis, khususnya dalam hal kependudukan.
Pulau Sumatera sendiri memiliki 10 provinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka-Belitung, dan Kepulauan Riau. Kesepuluh provinsi ini, walaupun berada dalam ranah pulau yang sama, namun memiliki tingkat keberagaman yang sangat tinggi, di mana hampir tiap-tiap provinsi memiliki suku-bangsa sendiri, mulai dari suku-bangsa Minang hingga Mentawai, Batak hingga Aceh. Sehubungan dengan itu, salah satu provinsi yang juga memiliki berbagai suku bangsa adalah provinsi Jambi.
Jambi adalah propinsi propinsi dengan jumlah penduduk 2.698.667 jiwa yang didalamnya terdiri dari banyak suku[2], antara lain Suku Anak Dalam atau Suku Kubu, Suku Kerinci, dan Suku Melayu Jambi, dan dewasa ini, Suku Anak Dalam atau yang sering disebut sebagai Suku Kubu ini menjadi pembicaraan oleh berbagai kalangan, baik akademisi maupun masyarakat secara umum dikarenakan oleh seringnya mereka diliput oleh berbagai media.
Suku Anak Dalam sendiri secara internal mendefinisikan diri mereka sebagai suatu kelompok etnik yang memiliki keunikan dan berbeda dengan kelompok yang lain, terlihat dari adanya pengakuan akan identitas bersama serta pemaknaan tertentu terhadap kesukuan mereka ketika mereka menolak disebut sebagai ‘Suku Kubu’ karena menganggap kata ‘Kubu’ memiliki makna yang negatif. Mereka memilih untuk disebut sebagai ‘Orang Rimba’ karena mereka menganggap rimba atau hutan sebagai rumah mereka, di mana hidup mereka memang sangat tergantung pada hutan.
Selain itu, sebagai suatu kelompok etnik, mereka juga mendapatkan pengakuan dari luar kelompok tersebut serta negara akan keberadaan mereka. Dari penjabaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kelompok suku anak dalam adalah sebuah kelompok etnis. Hal ini juga sesuai dengan definisi Lake & Rothchild (1998), di mana etnisitas diartikan sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri fisik, persamaan sejarah, tali temali persaudaraan, daerah atau budaya, kelompok etnik pada dasarnya memiliki kepercayaan yang sama dan akhirnya menjadi suatu hal yang biasa atau dengan kata lain terkonstruksi menjadi budaya mereka.
Populasi suku Kubu saat ini sekitar 150.000 orang[3], terbilang cukup besar untuk suatu komunitas. Namun, patut disayangkan bahwa kelompok ini harus dapat menerima kenyataan bahwa hutan yang menjadi tempat bernaung mereka semakin hari semakin berkurang. Orang rimba sendiri sebenarnya bermukim di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, namun wilayah tersebut masih belum dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari kelompok dengan jumlah sebesar orang rimba, mereka memerlukan wilayah jelajah yang lebih luas demi mencari makanan serta kebutuhan hidup sehari-hari.
Wilayah jelajah inilah yang semakin hari semakin menipis, hingga kini, tinggal hutan Orang Rimba di sebelah barat Jambi saja, yang merupakan hulu sungai di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, seluas 390.730 hektar. Kawasan tersebut kini juga dalam ancaman terdegradasi dan terfragmentasi akibat tingginya aktivitas pembalakan dan perambahan[4]. Sedangkan 2,3 juta hektar hutan lainnya telah dimanfaatkan untuk fungsi ekonomis antara lain 1,5 juta hektar untuk 16 HPH, 298.955 hektar untuk areal permukiman transmigran, 166.332 hektar perkebunan sawit, dan 318.648 hutan tanaman industri akasia dan ecalyptus[5].
Dapat dikatakan bahwa faktor industri membawa dampak yang cukup besar bagi orang rimba, mengingat kawasan hutan yang mereka tempati ternyata menjadi salah satu kawasan komoditi kayu, maupun perkebunan kelapa sawit. Hal ini mengakibatkan orang rimba menjadi semakin termarginalisasi. Tumenggung Kitab, sebagai salah seorang pemimpin suku anak dalam di Kabupaten Tebo, mengaku terpaksa keluar hutan dan tinggal di sekitar kebun-kebun sawit di Kabupaten Sarolangun.
"Kami terpaksa mengais-ngais makanan tersisa di tempat sampah. Kalau beruntung, kami bisa dapat babi atau labi-labi untuk dijual ke tauke (pedagang pengumpul),"[6]
Eksistensi orang rimba dalam ‘rimba’nya masih dapat dipertahankan dengan adanya bantuan dari berbagai pihak yang berinteraksi dengan mereka, antara lain masyarakat desa di sekitar kawasan tempat tinggal orang rimba yang menyebut Orang Rimba sebagai sanak, yang memiliki arti harfiah ‘saudara’. NGO juga mulai banyak turun lapangan dan berinteraksi dengan orang rimba ini, seperti Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang sejak 1998 masuk ke dalam hutan untuk memberikan program bantuan agar keberadaan Orang Rimba tetap terjaga.
Selain berinteraksi dengan orang rimba, pihak KKI juga berusaha menaikkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) demi perkembangan orang rimba dengan berbagai bantuan yang diberikan, antara lain: (1) bidang kesehatan, sehubungan dengan tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, serta adanya kerentanan orang rimba terhadap penyakit, KKI menurunkan fasilitator kesehatan yang disebut lokoter, membantu mereka dengan memperkenalkan pengobatan maupun sarana kesehatan modern seperti puskesmas dengan disesuaikan dengan adat orang rimba sendiri, dan (2) bidang pendidikan, KKI melakukan program BTH (baca-tulis-hitung), di mana KKI berperan sebagai guru atau fasilitator kepada anak-anak orang rimba yang menjadi obyek dari program BTH ini, di mana pada akhirnya menghasilkan buku dongeng dengan judul ‘Kisah-kisah Anak Rimba’ yang isinya juga merupakan dongeng-dongeng yang diwariskan oleh orang rimba secara turun temurun.
Dari situlah dapat dilihat terdapat hubungan asimilasi antara orang rimba dengan masyarakat sekitarnya, dan dengan KKI, dimana pola hubungan yang terjadi bersifat konstruktivis, yaitu terdapat adanya perbedaan namun tidak berkonflik. Hal ini dikonstruksikan juga secara historis dalam tradisi orang rimba sendiri, di mana orang rimba merupakan suku yang tergolong defensive dan tidak terbiasa melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan haknya. Apalagi jika pihak luar tersebut masuk ke wilayah mereka dengan membawa surat bahwa mereka mendapat izin dari pemerintah, sangat dipastikan mereka akan diam saja. Hal tersebut karena mereka belum mengenal baca tulis dan yang terpenting adanya budaya mereka yang menyebutkan halom sekato rajo atau alam diatur oleh pemerintah[7].
Namun, adanya interaksi dengan pihak luar dapat juga menjadi sebuah permasalahan baru. Salah satunya adalah yang terjadi ketika ketika Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf menawarkan sekitar 80 rumah kepada mereka, reaksi pun bermacam-macam[8], sebagian besar pun menolak. Hal ini diakibatkan oleh adat orang rimba, di mana mereka mempercayai bahwa atap (seng dan genteng) dapat menghalangi Dewa untuk datang. Namun, terdapat sebagian kecil dari masyarakat yang sedikit lebih modern lagi, bahkan secara terus terang memilih menerima rumah. Mereka adalah komunitas suku anak dalam yang dipimpin oleh Temenggung Majit yang sudah mengenal agama modern[9], jumlah mereka kira-kira ada 60 orang, selain itu juga terdapat beberapa Tumenggung lain yang sudah dapat menerima modernisasi. Saifullah Yusuf seusai melakukan peletakan batu pertama di kawasan pembangunan perumahan bagi Suku Anak Dalam, menjelaskan ada semangat yang nyata dari Suku Anak Dalam untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak.
“Sekarang kami mencoba mencari model-model pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kultur mereka, misalnya dengan sekolah berasrama. Jalan yang cukup agar mereka memperoleh akses yang mudah sehingga ongkos produksi menurun.”[10]
Melalui wacana di atas, dapat dilihat pula adanya permasalahan di mana kebudayaan orang rimba terancam sedikit demi sedikit terbawa oleh arus modernisasi, di mana dalam hal ini yang terjadi adalah akulturasi, yaitu penciptaan budaya baru yang dapat mengakibatkan menghilangnya budaya asli orang rimba. Pola hubungan yang tercipta masih bersifat konstruktivis, yakni tanpa konflik.
Adanya berbagai interaksi yang terjadi antara berbagai aktor, yang dalam hal ini adalah orang rimba, perusahaan, pemerintah, NGO, serta masyarakat sekitar menimbulkan berbagai dampak, di mana beberapa diantaranya memiliki potensi dalam menyebabkan konflik. Hal ini sesuai dengan konsep Daniel L. Byman mengenai penyebab konflik, yakni: (1) perlindungan status, (2) ambisi hegemoni, (3) aspirasi kaum elit, dan (5) dilema keamanan, di mana dalam kasus orang rimba, terdapat berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang sewaktu-waktu dapat bertabrakan (clash). Namun patut diperhatikan pula bahwa dimensi konflik dapat negatif maupun positif, serta dapat berupa konflik sosial, kekerasan, maupun sekedar kompetisi.
Konflik sendiri dapat diantisipasi serta ditangani dengan upaya-upaya penganganan konflik, di mana dalam kasus orang rimba yang belum berbentuk konlik kekerasan, stabilitas masih dapat dijaga dengan mempertahankan interaksi yang bersifat konstruktivis tersebut dengan saling menghargai kepentingan antar kelompok. Patut diingat pula, bahwa orang rimba merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli yang termasuk sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman budaya Indonesia, di mana sudah sepatutnya untuk dilestarikan, dan sebagai suatu komunitas, dijaga keberlangsungan serta kesejahteraan hidupnya. Hal ini dapat terlaksana apabila setiap aktor dalam struktur masyarakat mau dan mampu bekerjasama dalam menciptakan relasi yang seimbang dan positif dalam batasan-batasan tertentu, sehingga baik ketika rimba menjadi rumah bagi orang rimba maupun tidak lagi menjadi rumah bagi orang rimba, keharmonisan tetap dapat terjaga.
Daftar Pustaka
- Bahan Perkuliahan oleh Daisy Indira Yasmine Etnisitas HAK SAP 2, Februari 2009
- Yurnaldi, Dari Hutan, Anak Rimba Membuat Buku Dongeng, Kompas, Sabtu 14 Maret 2009
Bahan Internet
http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,1110/Itemid,165/
http://depdagri.go.id/konten.php?nama=DataWilayah&op=download&id=7
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=55
http://www.geografiana.com/makalah/sosial/orang-rimba
http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/10/suku-anak-dalam-kian-terdesak-bagus.html
http://regional.kompas.com/read/xml/2008/12/11/15542967/23.juta.hektar.lahan.suku.anak.dalam.ludes
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/18/sh04.html
[1] http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,1110/Itemid,165/
[3] http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/10/suku-anak-dalam-kian-terdesak-bagus.html
[4] http://regional.kompas.com/read/xml/2008/12/11/15542967/23.juta.hektar.lahan.suku.anak.dalam.ludes
[5] ibid
[6] ibid
[9] ibid
No comments:
Post a Comment