Sunday, December 21, 2008

Antara Koran Minggu, Mornin' Dance, Facebook, Nasi Uduk ala Nur, dan Two-Teaspoon-Rum-ed Hot Chocolate Milk



"..minggu pagi, matahari bersinar cerah.."



Mungkin penggalan lagu tersebut memang tepat menggambarkan apa yang saya rasakan pagi ini (walaupun pagi ini toh diluar sebenarnya mendung, namun entah kenapa terasa cerah). Bukan hal yang penting memang, namun entah kenapa ada beberapa hal yang terasa berbeda. Kalau dipikir-pikir, sudah tiga bulan ini saya diombang-ambing oleh kerasnya semester tiga, dan baru hari inilah saya merasakan suatu frase yang disebut 'kicking back'


Tidak ada momen yang istimewa ketika saya bangun pada pagi hari ini, dan pergerakan tubuh yang saya lakukan pun tidak jauh beda dengan hari-hari biasanya. Saya terbangun dengan masih terselimuti selimut yang sama, dan bantal yang menjadi tempat singgah kepala saya pun nampaknya belum berubah posisinya. Saya bangun dari tempat tidur, dengan koordinasi gerakan yang kurang lebih sama, dan anak tangga yang saya turuni juga terdiam sendu pada posisinya.


Segala hal nampak mulai berbeda ketika saya menggapai koran minggu. Entah kenapa koran yang saya pegang terasa lebih tipis dari biasanya. Entah itu pertanda baik akibat pengurangan space iklan atau pertanda buruk dari adanya pengurangan jumlah halaman. Sayang saya pun tidak terlalu ambil pusing, dan seperti biasa saya baca koran tersebut dengan sekenanya seakan saya sudah memahami makna per kalimat dalam tiap artikel yang saya singgahi. 


Saya pun meletakkan koran kembali pada tempatnya. Seperti biasa di pagi hari saya senang membuka-buka dan memeriksa isi kulkas. Saya mengecek keberadaan strawberry roll-tart daily bread yg saya pesan dari kakak laki-laki saya (yang ternyata lupa dia belikan *sighs*), dan semerta-merta dari stereo ruang keluarga saya mendengar suatu nada yang familiar.


"you better watch out, 

you better not cry, 

you better not pout 

i'm telling you why, 

SANTA CLAUS IN COMING TO TOWN!"


Semerta-merta pula saya menyadari salah satu lagu natal favorit saya sedang mengalun melalui stereo. Tanpa pikir panjang saya pun menari riang sambil sesekali menyenandungkan lirik lagu yang sudah saya kenal betul kata demi kata. Seperti layaknya umat Kristiani yang lain, saya pun penggemar berat lagu-lagu natal. Namun, entah kenapa lagu 'Santa Claus is Coming To Town' versi Peter White yang saya dengarkan tadi benar-benar menggugah semangat saya.


Lucunya, yang jadi semangat bukan hanya saya. Ayah saya pun ikutan bersemangat. Ia ikut menari di sebelah saya (dengan gaya dansa yang sangat-sangat aneh mengingat beliau jelas bukan pedansa yg baik ;) ), dengan diikuti tawa renyah ibu saya dari ruang makan melihat kelakuan kita berdua. Ah, sungguh suatu sesi mornin dance yang menyenangkan :). 


Pagi pun saya lanjutkan dengan berjalan kembali ke kamar. Saya membuka laptop dan (seperti biasa) membuka facebook, dan entah kenapa bahkan facebook pun pagi ini terlihat berbeda. Pagi ini saya melihat ada banyak sekali kebahagiaan melalui facebook. Dimulai dari teman saya yang baru saja jadian tadi malam (and she just looks soooo happy which makes me even more happier  mengingat ada banyak sekali teman saya yang sedang mengalami kebahagiaan serupa -tak lupa saya pun ingin menyebut diri saya sendiri :) ). Lalu seakan kabar gembira barusan belum cukup, saya mendapat beberapa wall dari orang-orang yang saya sayangi yang entah mengapa, isi dari wall" tersebut membuat saya tersenyum-senyum senang sendiri*. 


Saya pun tak lupa mengecek facebook 'someone special' saya, yang saat itu saya yakini masih belum bangun (dan memang belum). Saya pun meninggalkan pesan di wallnya (karena hp saya sedang 'aneh' dan saya tak bisa meng'sms dia). Yang juga lucu adalah ketika saya melihat halaman facebooknya, dan saya melihat belum ada perkembangan di dalamnya, namun entah mengapa saya justru merasa sangat senang. The idea of having him and my  lovely people really feels sooo much better this mornin -silly huh?? :).


Saya pun turun kembali ke ruang makan, di mana sarapan sudah siap menunggu untuk disantap. Pagi ini menunya adalah nasi uduk ala Nur** (yang lagi-lagi mengingatkan saya pada si miss. L -haha!). Saya menikmati sarapan dengan amat sangat amat puas, mengingat lidah saya yang hampir selama tiga minggu terakhir ini kelu akan rasa karena penyakit musiman (yang entah kenapa terjadi dua kali selama semester tiga ini) sudah bisa merasakan rasa! Nasi uduk yang pada hakekatnya memang nikmat pun terasa makin nikmat. Bau nasi uduk yang menggugah selera pun sudah bisa saya cium melalui hidung saya yang sedikit banyak telah mampu menorehkan kemampuan inderanya. 


Sembari menikmati sarapan istimewa tersebut, saya pun jadi teringat akan obrolan saya dengan someone special saya ketika kita berdua membiacarakan kemampuan indera manusia. Kala itu kita berdua sedang bersama menebak-nebak, kemampuan indera apa yang paling tidak boleh 'hilang', dan konklusi kita berdua hari itu adalah 'indera peraba' (bayangkan kalau kita tidak punya indera peraba!!). Namun pagi ini, konklusi saya nampaknya nyaris berubah mengingat saya merasakan betapa nikmatnya memiliki indera pengecap.


Seusai makan, dengan masih diiringi lagu natal yang masih tak bosan mengalun bersama kelap kelip lampu natal (yang sebenarnya kurang eco-friendly, namun setelah saya pikir" tak apa karena toh lampu ruang keluarga dimatikan) saya memutuskan untuk membuat secangkir susu cokelat panas (yang pastinya sangat sesuai dengan tema natal pagi ini). Seperti biasa apabila saya membuat susu coklat, saya selalu menambahkan rum di dalamnya, tepatnya dua sendok teh rum, di mana menambah kemajemukan rasanya. 


Kembali saya berjalan ke kamar, dengan secangkir susu cokelat dalam genggaman. Sekali lagi saya menghampiri laptop saya yang termangu di atas meja. Cangkir berisi susu cokelat beraroma rum saya letakkan bersanding bersama laptop putih kesayangan saya ini. Saya duduk dan mulai mengetik. Mulai dari lembaran putih yang kosong hingga terciptanya berbagai kata yang berelasi secara fungsional dalam mengisi kekosongannya. Senyuman saya mulai terasa makin lebar. 


Saya melayangkan pikiran saya bersama berbagai dentuman kebahagiaan yang saya rasakan.

Maybe it's not about the sunday newspaper, the unusual morning dance, facebook, nasi uduk, nor my favourite two-teaspoon-rum-ed hot chocolate milk.

It's just when you're being thankful, all those simple things will seem even better, and then you'll be sincerely happy.. Just like what i felt this morning.. :)




p.s. thx to all those people whom i'm so thankful for.. you know who you are guys :)




*thx to miss L and miss A'twin 

**nama salah satu pembantu saya di rmh, saya tidak pakai 'mbak' karena kebetulan seumur :)

Saturday, December 13, 2008

12-Desember-2008




'Starry Night' by Vincent Van Gogh*


masih pada rangkaian hari yang sama kita menyaksikan langit yang berubah menjadi jingga

lucu, karena bahkan kita tak lihat ia berwarna jingga karena tertutup awan kelabu dan dentuman hujan

namun tetap kita percaya bahwa kemutlakan jingga tak kan tergantikan oleh warna lain

dari jingga kembalilah datang temaram, yang entah mendatangi atau kita datangi

kita berdua terduduk dalam lamunan tanpa akhir, kau dan aku


engkau selalu ada dalam tiada dan dalam ada aku takut engkau kan tiada

impian kita bersambut pada keterbatasan makna yang terangkai oleh kata

dan tiada enggan dapat tersampaikan apabila memaknai relasi kita


engkau berbicara mengenai perihal kebahagiaan yang mungkin tak kan sama

dan aku berkata mengenai pertemuan akan belahan jiwa yang diragukan validitasnya

bahwa elemen-elemen yang saling tarik-menarik bukanlah hasil dari kebetulan semata


ketahuilah sayang, aku tak pernah percaya pada konsep pre-destinasi

namun aku selalu berpegang teguh pada takdir yang berkorelasi dengan masa depan yang acak


sekali lagi engkau berbicara mengenai perihal kebahagiaan yang mungkin tak kan sama, kebahagiaanku..

aku terdiam, dan kita saling mengutuk keterbatasan makna yang dapat tersampaikan oleh emosi semata

betapa emosi yang abstrak itu dapat menghasilkan suatu bias tanda tanya yang tanpa akhir

disertai lamunan serta perdebatan tanpa dasar maupun ujung yang memaknai pertemuan kita malam itu


namun ketahuilah kita tidak berbicara mengenai kesedihan

kita berbicara mengenai perihal kejanggalan yang disebabkan oleh relasi affinitas antara kita berdua


kita tidak mengutuk takdir, tidak..

hanya menjembatani kejenakaannya yang kadang tidak sesuai dengan logika

ya, kejenakaan dan bukan kesedihan..

kejanggalan dan bukan perbedaan..

ketakutan dan bukan keengganan..

segala hal yang merepresentasikan sama rasa diantara kita


aku menggenggam tanganmu dan kau menggenggam tanganku

berharap apa yang kita genggam adalah sebongkah impian yang dapat diraih tanpa adanya turbulensi

bahwa kebahagiaan pun dapat bersembunyi dari faktualitas relasi kontradiktif


ide dan materi, iya sayang, kita memang berkutat dengan itu..

ide dan materi beserta hubungan resiprokalnya

serta berbagai probabilita yang dapat tercipta dari padanya..


namun pergolakan tersebut mengundang datangnya gulita

ia yang datang menggantikan temaram, 

disertai dering tanpa akhir yang seharusnya menyudahi pertemuan kita malam itu


kita pun berjalan,

berusaha sejauh-jauhnya dari faktualitas yang harus bergerak menuju tempatnya masing-masing

dalam perjalanan engkau masih mempertanyakan keabsahan jawaban yang kauterima dariku

dan aku hanya tersenyum sembari menyampaikan rahasia yang masih terkunci rapat dalam benakku

sebuah rahasia yang semestinya terjawab apabila kau melihat 97 derajat ke bawah tanpa bias


dan faktualitas itu pun masih ada, menunggu untuk bergerak

engkau menghantar aku sesampai pada batas akhir pertemuan kita

dan sekali-kali aku tak ingin melepas kepergianmu

seakan hanya ada satu pola yang berlaku malam itu, yakni perpisahan


namun sekali kata pula engkau membawaku kembali pada faktualitas yang menunggu untuk kugerakkan

dan keberadaan berbagai probabilita yang berkorelasi dengannya

aku menatap wajahmu yang bersimbah keremangan malam

dan harus kuakui tiada wajah lain yang lebih bersinar dibanding wajahmu saat itu

seakan nyala redup lampu jalan dikalahkan oleh paras wajahmu yang tiada membisu


sekerling mata itu, secercah senyum itu

pergerakan bibir yang menyatakan kata cinta

serta berbagai sentuhan tanpa makna ganda 

menyentuh lendir yang merupakan hasil korelasi antara kepedihan dan penyakit musiman


perpisahan itu diakhiri dengan kecupan

dengan engkau yang masih berdiri di sana

dan aku yang bergerak perlahan bersama faktualitasku

menyingkapi keharusanmu untuk juga berjalan perlahan menuju faktualitasmu sendiri


kau yang masih berdiri di sana

dan aku yang berada di sini

berpisah jalan di persimpangan

namun bergerak perlahan menuju satu konklusi..



(Chikita Rosemarie, Dec-13-2008)




*i'm a HUGE fan of Van Gogh, and the painting somehow represents the feeling very well..


Friday, December 5, 2008

Kausa Keju


roti bakar itu kejunya banyak

dan baik teh maupun ovaltine 

tak berkurang rasa manisnya

meja di sudut masih semi berdebu

dan derum kendaraan bermotor

masih melintas melewati malam


kita ada di dalam tenda

menjadi satu dengan cahaya redup

yang seakan menggema bersama

kelap kelip lampu jalan

sesekali asap mengepul

bersama api kompor yang terus menyala


roti bakar itu kejunya banyak

sesekali boleh pula pisang bakar

teman kita masih teh dan ovaltine

namun tetap fokus utama pada si keju

lucu karena semestinya keju

hanyalah komplementer dari roti maupun pisang


kita tersenyum riang oleh banyaknya keju

seakan terdapat kausalitas antara senyum dengan keju

bodoh memang,

namun harus kita akui, wahai kawan

analogi yang tercipta darinya

sesuai dengan rutinitas kita hari ini..



(Chikita Rosemarie, Des-5-2008)


Thursday, December 4, 2008

Dalam Temaram


tunggulah hingga temaram

tinggalah kita di bawah kerlingan

si bulan sabit di atas kelam

yang berjaga sembari berangan

di balik lindungan awan malam


rumput yang basah oleh lembabnya cuaca

curah hujan tinggi yang belum berasa

di pinggirnya kita yang masih bernyawa

menunggu temaram hingga lupa

bahwa esok ia pun tak kan sirna


biarkan yang di dalam bergetar kencang

seakan dua frekuensinya berkejaran

sembari menarik nafas panjang

diantara dua tak kan menjadi tiran

dalam temaram yang menutup siang


simbol-simbol interaksi berirama

dalam hangat aksen yang menari

makhluk malam berdendang bersama

serasa tarian mereka kan menggugah hati

bersama kunang-kunang yang tiada, bercerita


mengenai makna di balik permakna

tanda di dalam pertanda,

apakah temaram yang mendekati kita

ataukah kita yang mendekati temaram?



(Chikita Rosemarie, Des-3-3008)

Wednesday, November 26, 2008

97 Derajat Ke Bawah


carilah apa yang ada di luar sana

dan kamu tak akan mendapatkan

karena luar sana bagai bayang-bayang

tak jelas nyata-semu'nya

seperti perumpamaan dalam kaleng sarden

sesak, sempit, dan tak bernyawa

seperti butiran melinjo dalam sayur asem

berwarna namun nyaris tak berguna


temukanlah perumpamaan lain

sembari aku berkata kepada kamu,

iya, kamu..


cobalah sedikit saja luangkan waktumu

tengoklah kurang lebih 97 derajat ke bawah


karena sesungguhnya apa yang kau cari ada di sana..



(Chikita Rosemarie, Nov-26-2008)

Saturday, September 27, 2008

Antara Daging Busuk, TPA, dan 'Pulau Harta Karun Warga'

artikel ini adalah artikel pertama yang saya buat untuk newsletter Yayasan Lantan Bentala ed-41. ini ada artikel yang masih 'fresh' dalam artian belum kena revisi.. hehehe..
pokoknya, selamat menikmati.. :)



Ramai diberitakan akhir-akhir ini, kasus-kasus baru yang ditemukan berkenaan dengan sampah. Mulai orang-orang yang berjualan daging busuk yang berasal dari sampah hingga para warga kawasan kumuh yang mengambil sampah-sampah sisa pasar swalayan terdekat, yang notabene juga merupakan bahan-bahan makanan yang telah membusuk yang mereka pergunakan untuk konsumsi mereka sehari-hari.


Jujur hati saya tersayat-sayat melihat kenyataan pahit yang terjadi di negara, dan bahkan daerah tempat saya tinggal dan melakukan kegiatan saya sehari-hari tersebut, yaitu jakarta dan sekitarnya. Belum cukup dirundung malang, orang-orang tersebut pun bahkan diabaikan oleh pihak-pihak yang berwajib. Saya pribadi pun langsung 'panas' ketika melihat melalui siaran TV lokal di rumah saya, komentar dari menteri kesehatan sendiri, Ibu Siti Fadilah, yang kira-kira mengatakan demikian,

"..pada kenyataannya belum ada laporan mengenai orang yang keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang berasal dari sampah. Jadi belum dapat dikatakan apa makanan tersebut betul-betul limbah atau bukan.."

Seakan belum cukup 'panas' mendengar komentar tersebut, disiarkan pula komentar dari Bapak Prijanto yang telah KITA pilih sebagai Wakil Gubernur Jakarta periode ini ketika ditanya mengenai kasus 'penggerayangan sampah' ini sebagai indikator tingkat kemiskinan di daerah Jakarta dan sekitarnya. Beliau dengan sangat percaya diri menyatakan,

"..hal ini tidak ada hubungannya dengan tingkat kemiskinan, masalah sampah ya masalah sampah. Kalau tingkat kemiskinan lihat saja data di BPS.."

Saya hanya bisa mengelus dada dan menggeleng-gelengkan kepala (dan lalu mematikan TV karena berita selanjutnya adalah mengenai 'Manusia Kawat' yang jujur saya pun tidak kuat melihatnya).

Benar-benar tidak habis pikir, betapa pendek rupanya akal seorang 'pemegang kewenangan' dalam melihat masalah publik. Sudah jelas di depan mata kita disiarkan warga yang dengan seakan berada di pulau harta karun mengais-ngais sampah sehingga tangannya belumuran belatung, masih dipertanyakan pula apa sampah tersebut limbah atau bukan. Permasalahan ini, baik yang dapat kita refleksikan melalui kasus Darmo dan Istrinya yang berjualan daging busuk sampah olahan maupun melalui kasus warga daerah slums di Jakarta yang mempergunakan sampah busuk dari swalayan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan mereka tentunya bukanlah semata-mata 'masalah sampah' seperti yang sebelumnya diutarakan Bapak Prijanto. Masalah ini memiliki nilai yang jauh lebih luas dari itu, masalah ini merupakan suatu masalah sosial yang bukan saja menjadi indikator tingkat kemiskinan, namun juga menunjukkan bahwa secara sistemik, tidak ada upaya dari pihak berwenang untuk mengurus sampah yang tak dapat dipungkiri jumlahnya memang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, upaya yang hendak dilakukan Pemda DKI demi penanganan masalah ini terkesan terlalu menggampangkan, yaitu penutupan Tempat Pembuangan Akhir.

Saya melalui artikel ini, secara pribadi ingin mengemukakan perasaan kecewa saya atas perspektif yang dangkal tersebut. Saya memang belum mengobservasi kasus ini secara lebih mendalam. Namun, kita semua tidak dapat memungkiri bahwa upaya pemenuhan kebutuhan yang dilakukan warga seperti Darmo dan istrinya maupun upaya-upaya serupa yang dilakukan oleh ratusan dan bahkan ribuan warga lain telah berlangsung bertahun-tahun. Darmo sendiri mengakui telah 5 tahun menjalani bisnis yang rupanya diturunkan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa upaya tersebut telah membentuk suatu pola, di mana juga terjadi kesinambungan. Lalu, apabila TPA benar-benar ditutup, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib mereka-mereka semua yang menggantungkan hidup pada TPA? Patut diingat bahwa TPA sendiri pun merupakan lahan bagi banyak orang dalam mencari nafkah dan menunjang kebutuhan mereka sehari-hari. Bagi banyak sekali warga Jakarta dan sekitarnya, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa TPA bagaikan sebuah 'Pulau Harta Karun'.

Oleh karena itulah, dalam penangangan kasus ini, marilah kita melihat ke aspek-aspek yang lebih mendasar. Salah satunya adalah PENGOLAHAN SAMPAH.

Sampah sendiri tidak semuanya harus benar-benar menjadi 'sampah' atau 'tidak memiliki nilai guna'. Ada banyak sampah yang memang masih memiliki nilai guna dan memiliki renewable value, dan sampah-sampah seperti inilah yang semestinya diberikan perhatian khusus, yang mana dalam prosesnya dapat menunjang kehidupan masyarakat khususnya tingkat ekonomi bawah seperti Darmo dan istrinya maupun warga kawasan slums tersebut, sekaligus secara ekologis menunjang kegiatan pelestarian lingkungan. Langkah awalnya adalah dari pemilahan sampah-sampah itu sendiri. Melalui kegiatan pemilahan sampah, minimal antara sampah organik dengan non organik. Dari situ dapat dilanjutkan ke arah pemilahan, sampah mana yang memang masih memiliki nilai guna dan renewable value, di mana selanjutnya TPA pun dapat menjadi 'Pulau Harta Karun' yang lebih sehat bagi warga.

Upaya-upaya seperti inilah yang diharapkan dapat ditransisikan nilainya baik secara struktural maupun kultural. Sehingga dapat tercipta suatu kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menangangi masalah ekologi-sosial, di mana tercipta pula suatu nilai dan lifestyle yang sehat dan positif karena dilakukan demi kepentingan bersama, dan bukan hanya seperangkat regulasi yang tidak efektif karena tidak tepat pada sasaran.



(Chikita Rosemarie, 26-September-2008)





*Kisah tentang Darmo dan Istrinya saya baca di Suara Pembaruan (lupa edisi kpn krn bahannya dikirim oleh dosen saya), dan kisah warga kawasan slums saya lihat di tayangan 'Redaksi Sore' Trans7, minggu 21 September 2008

Monday, September 22, 2008

Aku, Dia, Sungai, dan Laut

ia ingin menjadi laut
karena baginya aku adalah sungai
sungai yang bercabang mulai dendritik hingga pinat
namun mengalir tajam memburu muara

ia ingin menjadi laut
karena yakinkan bahwa akulah sungainya
aku sungai yang bermuarakan lautnya
mengalir dan mengalir sampai padanya

ia ingin menjadi laut
yang diam menunggu aliran sungai
diam menunggu biarkan sang sungai mencari

ya,
betapa ingin ia menjadi laut
namun tak pernah bisa ia menerima
bahwa letak topografis sungai lebih tinggi daripada laut
dan bahwa laut menjadi asin karena menunggu..


(Chikita Rosemarie, Sept-22-2008)

Sunday, September 7, 2008

Sebelum Ku Terlelap

kuteringat kala hujan
di hari itu,
kala petang mulai menjelang
kumerebah diam dalam kesepian
bertolak sayu dalam penat
perlahan kucoba pejamkan mata
gambaran wajahmu mulai terlihat
menepis gemuruh badai di luar sana
aku pun lalu terlelap,
dan gambaran wajahmu tak lagi terlihat

(Chikita Rosemarie, Agt-31-2008)

Sunday, August 24, 2008

Mana Yang Benar? Herediter atau Proses Sosialisasi??

Nah, ini nih yang beberapa hari ini menjadi perdebatan diantara saya dan teman-teman saya*. Sebenarnya bukan perdebatan juga sih, mengingat pada akhirnya konklusi kita selalu sama. Namun, sama ataupun tidak, tetap saja pada akhirnya akan muncul pertanyaan (yang semestinya tabu diucapkan akademisi)

"iya gak sih??"



Perdebatan kali ini adalah mengenai pertentangan yang ditemukan antara cabang ilmu sosiobiologi dan psikologi sosial, di mana : sosiobiologi menekankan pada sifat yang herediter (keturunan; genetis) sedangkan psikologi sosial menekankan pada proses sosialisasi. Sebenarnya, pertentangan seperti ini mengingatkan saya kepada pertanyaan "Mana yang lebih dulu, evolusi kebudayaan atau evolusi biologis?", dan pertanyaan-pertanyaan lain yang (kalau dalam istilah saya) bikin marah dan ujung-ujungnya bikin saya bergumam "Telur ayam nih.." (tapi tetap saja seru untuk dibahas, hehehe).

Nah, jadi pd awalnya begini. Kasus Ryan (yang kyknya bener" lg santer), dan kasus-kasus lain yang berhubungan dengan 'psikopat' membuat banyak orang baik dari masyarakat luas maupun akademisi menjadi berpikir "Kenapa Ryan dan orang-orang yang diklasifikasikan sebagai 'psikopat' bisa menjadi 'psikopat'?".


Jawaban untuk hal tersebut terbagi menjadi 2, yaitu :



1. Hal tersebut dikarenakan oleh faktor herediter (keturunan; genetis). Misalnya, orang tua yang memiliki gangguan kejiwaan menurunkan sifat tersebut secara genetis kepada anaknya.

2. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya proses sosialisasi, di mana seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan membesarkan anaknya dengan cara yang salah (kasarnya, cara yang 'gila') sehingga anaknya tersebut mengalami gangguan kejiwaan diakibatkan oleh proses sosialisasi yang tidak sempurna, di mana agen sosialisasinya memiliki gangguan kejiwaan.



kedua hal tersebut sering sekali saya tanyakan dan perdebatkan ke teman" sejawat (cielah sejawat..). Nah, kalau saya pribadi sih lebih cenderung ke jawaban yang kedua. No offense, bukan krn saya mahasiswa sosiologi atau apa, tetapi dalam pemikiran saya, penjelasan yang bersifat psiko-sosial lebih masuk akal saja.


------------------------------------------------------------------------


Setelah berminggu-minggu lewat dan hal tersebut terngiang", saya akhirnya mendapatkan jawaban juga. Jawban yang saya nanti" ini saya dapatkan setelah saya menonton film "Sybil"**. Film berdurasi pendek (1 jam 25 menit) ini adalah hasil remake dari film yang berjudul sama yang ditayangkan pada tahun 1977***, di mana diperankan oleh
Sally Field dan Joanne Woodward. Versi yang saya tonton diperankan oleh Jessica Lange (sbg Dr. Wilbur) dan Tammy Blanchard (sbg Sybil).





Walaupun versi ini dianggap tidak sebagus yang versi Sally Field, saya cukup puas menontonnya (mengingat selama 1 jam 25 menit udah dibikin naik-turun dan terbengong") -two thumbs up for the two GREAT actresses!.



Anyway, film Sybil ini secara garis besar menceritakan tentang kisah hidup Sybil, seorang gadis yang didiagnosis menderita MPD (multiple personality disorder) dan memiliki 16 kepribadian. Setiap kepribadian memiliki karakter dan nama sendiri. Nah, yang menarik perhatian saya disini adalah cerita mengenai latar belakang dari gangguan kejiwaan yang dialami Sybil.

Diceritakan di d
alam film tersebut, bahwa Ibu Sybil merupakan seorang penderita Schizophrenia yang parah namun tidak dirawat karena minimnya keadaan keuangan keluarga Sybil. Ayah Sybil sendiri merupakan seorang ayah yang sangat religius, namun sangat disayangkan religiusitas yang ia terapkan lebih ke arah vertikal saja.

Ibu Sybil sebagai seorang penderita Schizophrenia sering menyiksa Sybil sejak Sybil masih kecil (dengan berbagai cara yg lebih baik tidak saya jabarkan). Ayah Sybil sendiri membiarkan semua itu terjadi dikarenakan oleh (nah, ini juga menarik!) adanya anggapan masyarakat jaman itu bahwa membesarkan anak adalah tugas seorang ibu, dan ia mengesampingkan fakta bahwa istrinya tidak memiliki kapabilitas unt menjadi seorang agen sosialisasi (dalam hal ini, membesarkan anak), dan tetap menjalankan perannya sbg 'ayah' dengan baik. MPD yang dialami Sybil sendiri merupakan efek traumatis akibat penyiksaan ibunya, di mana setiap kenangan buruk yang ia alami ia 'tutup' dengan kenangan indah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya berbagai macam kepribadian yang berbeda tersebut. Inilah poin yang membuat saya yakin akan besarnya efek proses sosialisasi dalam pembentukan kepribadian, yaitu dengan kenyataan bahwa pemegang peran agen sosialisasi Sybil adalah ibunya dan bukan ayahnya.


Konklusi yang ingin saya ambil dari baik film maupun pemikiran ini adalah, hendaknya kita jangan terburu-buru men-judge seseorang yang 'berbeda' dengan hipotesa sembarangan seperti 'psikopat', 'stress', dll. Ingatlah bahwa terdapat latar belakang sosial dalam keadaan psikologis individu, dan sebuah perilaku labelling dapat berujung pada eksklusi, di mana justru akan memperparah keadaan orang tersebut****. Pendekatan personal dan (tentu saja) bantuan profesional sangatlah dibutuhkan dalam menghadapi kasus" serupa, dan yang tak kalah penting pula, dibutuhkan semacam 'penyadaran' dalam masyarakat untuk dapat membawa kasus" seperti itu ke 'ruang konsultasi' dan bukannya 'meja gosip'. Penyadaran tersebut dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal, di mana bentuknya adalah peningkatan social awareness atau kesadaran sosial.


Oh iya, sebelum saya lupa..

Film 'Sybil' ini sangat menarik loh.. karena selain mengangkat keadaan MPD Sybil, ia juga mengangkat isu-isu gender seperti pembagian kerja dalam keluarga (yg td sudah saya sebutkan), stereotype perempuan dalam kajian psikologi, dan subordinasi yang dialami akademisi perempuan yang bersifat sexist. -a MUST see..


-Selain itu,
due to this movie, saya berhasil menemukan JAWABAN dari pertanyaan berkepanjangan saya! hehehe.. just can't wait to share this thought! :)





(Chikita Rosemarie, Agt-24-2008)





*pemicunya adalah kunjungan saya ke kantor seorang dosen saya, yang membuat saya terpikir mengenai pemikiran tsb

**no offense, ini true story, jd cukup empirik lah yaaa.. or
at least , inspirasional, hehehe..

***kisah ttg Sybil juga pernah dibukukan dengan judul yang sama pula.

****seperti dalam kasus 'Ryan' yang (oleh seorang teman saya) dianggap sebagai salah satu hasil dari eksklusi sosial masyarakat terhadap kaum homoseksual.

Sunday, August 17, 2008

Tentang Kemerdekaan (17 Agustus 2008)

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta



hari bersejarah itu!



Kira" seperti itulah hasil ketikan Sajoeti Melik yang pada akhirnya dibacakan sebagai naskah proklamasi, dengan Ir. Soekarno yang pada awalnya masih memakai piyama di rumahnya yang diyakini bebas dari jangkauan tentara PETA di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jumat pk. 10.00 pagi, hari itu bulan Ramadhan. Dengan berbekal makan sahur di ruang makan Laksamana Maeda, dan diisi oleh momen-momen tak terlupakan seperti Bung Karno yang ngambek dan tidak mau naik podium sebelum Bung Hatta datang.

Tak terasa sudah 63 thn berlalu, cerita-cerita indah tentang hari proklamasi masih sayup-sayup sering kita dengar. Suara lantang Bung Karno membacakan teks proklamasi masih dikumandangkan di mana-mana. Lagu-lagu kebangsaan yang tanpa sadar masih bisa kita senandungkan. Sorakan serta merta para peserta upacara, kilauan warna merah-putih baik yang diarak mendekati mega maupun yang terlihat pada atribut kebangsaan yang berlintasan.

Ahh, 17an..
Momen yang hanya dapat kita lihat setahun sekali.
Momen yang diharapkan menjadi penyadaran bagi seluruh bangsa Indonesia atas pentingnya Nasionalisme dan paradigma-paradigma lain yang kerap kali kita lupakan..
Momen yang membuat para akademisi, aktivis, sejarawan, pengamat politik, dan profesi" lain yang sejenis mengecek kembali agenda mereka masing" dan mempertanyakan suatu isu yang selalu diangkat dari tahun ke tahun, "sudah benar-benar merdeka-kah bangsa Indonesia??"

Merdeka,
sebuah konsep yang masih sering diotak-atik oleh orang-orang dari segala kalangan. Tetapi, selalu lupa unt diresapi kembali, "apa sebenarnya 'merdeka' itu??"

Kemerdekaan seringkali diasosiasikan sebagai 'kebebasan' dan 'kemandirian' (freedom and independence). Padahal kedua hal itu sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Namun apabila kita resapi kembali, kedua hal itu sama" merujuk ke satu hal, yaitu 'Tanggung Jawab'.


"..with great power, comes great responsibility.."

mengutip dari Spiderman, sama halnya dengan menjadi seorang manusia super, sebuah bangsa yang diakui merdeka pun memiliki tanggung jawab yang besar, yaitu tanggung jawab sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan diakui secara internasional. Tanggung jawab sebagai warga dunia, tanggung jawab sebagai sebuah negara yang mampu menunjukkan eksistensinya melalui berbagai aspek sosial-politik-ekonomi-dll baik secara internal maupun eksternal. Pada intinya, salah satu tanggung jawab utama suatu bangsa yang merdeka adalah perwujudan masyarakat madani (civil society), di mana menurut Bahmueller (1997) terdapat beberapa karateristik masyarakat madani*, yaitu :

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.


Sehubungan dengan penjabaran di atas, saya pribadi ingin merumuskan suatu 'agenda' tersendiri bagi bangsa Indonesia. Beberapa poin-poin yang perlu diresapi kembali karena kadang terlupakan, dan bahkan seringkali disalahartikan namun sebenarnya sangat penting dalam usaha perwujudan masyarakat madani di atas. Beberapa poin tersebut menunjuk berat pada beberapa usaha pengembangan masyarakat (community development) yang dilakukan secara luas, sehubungan dengan paradigma-paradigma yang terdapat di masyarakat, antara lain:

1. Etnosentris menjadi MULTIKULTURALIS

2. Agamis menjadi RELIGIUS

3. Westernisasi menjadi MODERNISASI

4. Ideologis menjadi HUMANIS

5. Totalitarian menjadi KELEMBAGAAN

kelima hal tersebut adalah beberapa poin penting yang ingin saya tekankan dalam usaha memadanikan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Dalam pengintegrasian nilai-nilai tersebut, dibutuhkan adanya suatu citizenship atau pendidikan kewarganegaraan, di mana seperti telah disebutkan sebelumnya merujuk pada adanya pengembangan masyarakat itu sendiri.


Akhir kata,
walau banyak pihak secara sinis memandang hal ini sebagai suatu hal yang klise, patut diingat bahwa kita sebagai bangsa Indonesia telah (sekali lagi) selangkah lebih maju menuju masyarakat madani. Apapun pendapat kaum fundamentalis di luar sana, hal tersebut harus diakui. Karena patut dicatat pula, kemerdekaan tidak melulu harus diisi dengan tindakan-tindakan yang bersifat patriotis. Duduk, diam, dan merencanakan visi dan misi bangsa kita di hari depan pun salah satu usaha mengisi kemerdekaan. Hal inilah yang seringkali dilupakan banyak orang dan pada akhirnya justru berujung ke pada stagnasi pemikiran.

Akhir kata lagi,
kadang esensi dari suatu kemerdekaan itu dapat kita rasakan dari hal-hal terkecil. Seperti luapan kegembiraan bocah-bocah kompleks yang berhasil menghabiskan kerupuk putih dalam waktu 60 detik, semangat para peserta konvoi yang asik ndangdutan di alun-alun, umat beragama yang mengumandangkan lagu 'Indonesia Raya' di rumah ibadahnya masing-masing, sampai euphoria orang-orang di mall yang seolah-olah secara mendadak janjian memakai outfit bernuansa merah putih. Seakan semua orang dari segala kalangan secara kolektif telah menyadari bahwa 'kemerdekaan itu indah'. Dan apabila dilihat demikian, memang benar bukan?? :)


yah, pokoknya.. sekali lagi, SELAMAT HARI KEMERDEKAAN KE-63!! (jgn mau kalah sama Amerika dgn 4th of July-nya dan Cina dengan hari revolusinya -intermezo, hehehe)



(Chikita Rosemarie, Agt-17-2008)



*http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm

Friday, August 8, 2008

Perjumpaan

manusia dr ufuk timur nampaknya tengah beraksi kembali nih.. :)
entah apa yang sedang saya pikirkan tengah subuh bolong, namun ya ketik demi ketik tersusunlah puisi ini, *lumayan lah unt yang sedang mengalami writer's block -hehehe*


pejumpaan berarti jumpa muka

tiada batas akan awang
ia datang dan bersihkan luka
bukakan kembali pintu pada ruang

penantian bukan membawa makna
ia mengalun tanpa dentuman dawai
perjumpaan datang dan akan sirna
namun cinta lahir tumbuh semampai

inilah kisah,
seorang pemudi dan seorang pemuda
tiada kata merajut perjumpaan
sekejap hadir diiringi perpisahan

entah sang pemudi entah sang pemuda
entah sendiri entah berdua
berbalas ingatan dalam angan
menantikan berikut adanya perjumpaan

------------------

akankah ada??



(Chikita Rosemarie, August-8-2008)