it's proven that i'm not completely a 'manusia dr ufuk timur', mengingat gw dpt ilham buat bikin tulisan ini sore" menuju malem dan bukan subuh sperti biasanya.. hehehe..
pemikiran ini awalnya timbul tadi siang ketika saya sedang menyetir sendirian di jalan tol dengan diiringi rintikan hujan yang agak deras..
saya teringat sama teman saya* dan obrolan kita mengenai salah satu puisi favorit kita 'Hujan Bulan Juni', Sapardi Djoko Damono. Puisi tsb adalah sbb :
"tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu"
(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)
Obrolan kita pada intinya membahas 'kelucuan' dari realita yang ada apabila dikomparasikan dengan esensi dari tata bahasa yang dipergunakan dalam puisi tersebut.
We both had agreed before that this poem is actually an analogical writing, di mana Sapardi (dalam pemamahan kita) menggambarkan situasi kesedihan seseorang dalam suatu peristiwa 'hujan' dan implikasi dari 'hujan' tersebut. Selain itu, kita menangkap adanya suatu ironi, yaitu bahwa 'hujan' tersebut terjadi pada bulan Juni yang merupakan musim panas**, dan kedua hal itulah yang membuat kita suka banget sama puisi tersebut..
Nah, yang menurut kita 'lucu' itu, adalah fakta bahwa sekarang bulan Juni, dan akhir-akhir ini sering terjadi hujan yang bahkan dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok 'hujan deras'.
Sehubungan dengan itu, seperti yang kita semua ketahui, climate change adalah salah satu isu paling santer akhir-akhir ini, di mana banyak sekali aspek-aspek kehidupan yang berubah dikarenakan oleh hal tersebut. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, agrikultur, daannn lainnn lainnnnn.. Peristiwa perubahan cuaca, di mana terjadi 'pergeseran perilaku hujan' tersebut pun merupakan 'hasil' dari climate change.
Nahhhh, this is the 'funniest' part..
Karena adanya climate change itu juga, esensi yang saya dapat dari puisi tersebut pun jadi berubah.. Saya jadi melihat esensi dari puisi tersebut dari 'kacamata' yang lain, dan kira-kira begini konsepsinya (siap-siap bolak-balik nge-roll page ini ke atas)..
1. Hujan yang turun pada bulan Juni itu adalah 'Hujan Bulan Juni' bagi kita semua..
Seperti yang tadi saya katakan, peristiwa 'Hujan Bulan Juni' itu adalah gambaran analogis dari suatu bentuk 'kesedihan'. Dalam hal ini, 'kesedihan' dapat kita artikan sebagai 'duka' dan 'masalah', dan hujan yang turun pada bulan Juni yang merupakan pertanda dari adanya climate change itu seharusnya menjadi 'kesedihan', 'duka', dan 'masalah' kita bersama, alias COMMON ISSUE, di mana bentuk penanggulangan dan perbaikannya dilakukan bersama dalam suatu skala solidaritas sosial dan social awareness yang tinggi, baik lokal maupun internasional mengingat 'hujan bulan juni' tersebut turun di atas kita semua dan menimbulkan implikasi-implikasi yang terkait pada 'ruang publik'.
2. Dalam menanggulangi dan memperbaiki efek 'Hujan Bulan Juni' diperlukan Ketabahan, Kebijakan, dan Kearifan..
Seperti yang disebutkan Sapardi dalam puisinya, 'hujan bulan juni' itu tabah, bijak, dan arif. Dalam hal ini, dalam melalui 'hujan bulan juni', kita sebagai suatu social community harus dapat bersikap sesuai dengan tiga hal tersebut;
(1) Tabah dan berbesar hati menghadapi permasalahan-permasalahan baru yang diakibatkan oleh adanya climate change,
(2) Bijak dalam perbuatan, sesuai dengan peranan-peranannya masing-masing dalam masyarakat, misalnya para pemegang 'peran politik' merumuskan dan mensosialisasikan kebijakan-kebijakan (policies) yang efisien dan efektif, dan para pemegang 'peran publik' dapat baik mengeluarkan input maupun membantu mensukseskan implementasinya secara bijak pula,
(3) Arif, di mana segala hal dapat dilakukan dengan tulus dan demi kebesar-besarnya kepentingan publik, baik di masa kini maupun mendatang.
Okay, call me cliche, tapi cukup lumrah apabila saya katakan demikian. Karena ketika seiring dengan turunnya 'hujan bulan juni' kita dapat mempertahankan ketiga hal tersebut, kita telah membuktikan that we can make it through the 'unusual rain' yang mengharuskan kita 'merahasiakan rintik rindu', 'menghapuskan jejak-jejak kaki', dan 'membiarkannya tak terucap' yang merupakan bentuk analogi dari merubah economical expenses, pola hidup, pola pikir, dan kompensasi-kompensasi pada ruang publik lainnya khususnya sehubungan dengan aspek-aspek environmentalisme.
-Konsepsi tersebut selain mengandung pesan moral, mungkin juga membuktikan bahwa baik tempe mendoan dan tempe goreng asalnya sama-sama dari 'tempe'..*LOL!*
..................................................
Oh iya, akhir kata, ini semua idenya Sapardi yang saya "obrak-abrik", mudah-mudahan tidak membuat dongkol para sastrawan dan para pencinta Sapardi di luar sana, hehehe :)
(Chikita Rosemarie, June-10-2008)
*inisial MR
**berdasarkan pergerakan angin muson ;)
No comments:
Post a Comment