Saturday, July 5, 2008

Religiusitas Non-Humanistik "Analisis Konflik Antar-Agama di Indonesia"

well, ini paper tugas uts buat mata kuliah filsos (filsafat ilmu sosial). i guess it's quite interesting to read.. ;)
btw, krn gwnya gaptek, gw ga ngerti cr bikin footnote, fyi data" gw ambil dr wacana" yg tertulis di bwh..


RELIGIUSITAS NON-HUMANISTIK
Analisis Konflik Antar-Agama di Indonesia

Oleh : Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie
Sosiologi UI 2007

Indonesia merupakan sebuah negara dengan kompleksitas masyarakat yang tinggi. Menurut data terakhir tahun 2000, yang surveinya dilakukan terhadap 201.241.999 responden; BPS memperkirakan bahwa sensus tersebut tidak diikuti oleh 4,6 juta orang. Menurut laporan BPS, 88,22 persen jumlah penduduk mengaku sebagai Muslim, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Kristen Katholik, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen Budha, dan 0,2 persen "lain-lain", termasuk agama-agama tradisional, kelompok Kristen lainnya, dan Yahudi. Komposisi agama di negara ini tetap merupakan isu yang bermuatan politis, dan sebagian pemeluk agama Kristen, Hindu, dan kepercayaan minoritas lain berpendapat bahwa laporan sensus tersebut sengaja mengurangi jumlah penduduk non-Muslim yang sebenarnya . Di luar dari anggapan “pengurangan jumlah kaum minoritas”, data tersebut dapat menunjukkan kepada kita kompleksitas masyarakat Indonesia dilihat dari segi agama. Dapat dibayangkan, berbagai komunitas yang berbeda, yang memiliki kemajemukan sendiri-sendiri, latar belakang histories tertentu, serta jumlah komunal yang berbeda-beda yang dapat berkembang menjadi isu mayoritas-minoritas. Hal tersebut menjadikan Indonesia rentan akan konflik bernuansa agama, di luar dari isu sosial-ekonomi dan politik yang biasanya menjadi “isi” sebenarnya dari konflik yang di”bungkus” dengan agama.

Berbagai konflik dengan “bungkus” agama telah terjadi di Indonesia, dan yang terbesar terjadi di Provinsi Maluku, khususnya di Ambon yang sejak 19 Januari 1999 sampai Desember 2000 tercatat 8.000 sampai 9.000 orang dan 700.000 orang lainnya hingga kini masih hidup terlunta-lunta menjadi pengungsi di negerinya sendiri . Konflik-konflik tersebut, selain memakan korban jiwa, juga mengakibatkan instabilitas politik serta munculnya masalah-masalah sosial lainnya.

Besarnya dampak negatif dari konflik antar-agama membuat banyak orang geleng kepala, apalagi mengingat bahwa isu sebenarnya dari konflik-konflik tersebut adalah bukan agama. Agama pada akhirnya hanya dijadikan “alasan” dan “motivasi” berkonflik, serta digunakan untuk mengumpulkan massa. Padahal, tak dapat dipungkiri inti dari ajaran manapun adalah cinta kasih, di mana hal tersebut sangat berlawanan dengan budaya kekerasan. Oleh karena itu, yang jadi pertanyaan adalah, “Di mana peran religiusitas dalam terjadinya konflik antar-agama?”, “Bukankah religiusitas justru dapat baik menanggulangi maupun mencegah terjadinya konflik?”. Kedua pertanyaan tersebut apabila dikritisi lebih lanjut akan berujung pada pertanyaan baru, yakni “Religiusitas macam apakah?”.

Jawabannya adalah “Religiusitas Non-Humanistik”. Religiusitas Non-Humanistik sendiri didefinisikan sebagai suatu keyakinan kuat akan kepercayaan (religi/agama) yang diwujudkan hanya dengan interaksi vertikal (manusia dengan Allah) dan melupakan interaksi horizontal (manusia dengan manusia). Hal ini berujung pada perspektif yang sempit akan agama itu sendiri, di mana hal tersebut seakan menjadi kayu kering yang mudah dibakar api provokasi.

Religiusitas dapat menjadi “non-humanistik” apabila para pemeluk agamanya memiliki tingkat pendidikan rendah, di mana hal itu membawa mereka kearah tingkat kesadaran makro-sosial yang rendah pula. Masyarakat dengan pendidikan rendah cenderung bergerak dalam kelompok kecil yang dilandasi dengan collective conciousness (kesadaran kolektif) tertentu. Mereka tidak memiliki pandangan kritis, dan hanya “go with the flow” dengan kelompoknya. Sikap-sikap yang muncul adalah sikap primordialisme, di mana mereka hanya membawa identitas kelompoknya masing-masing. Perspektif-perspektif makro seperti humanisme dan pluralisme belum dapat mereka pahami. Oleh karena itulah, ketika agama terakulturasi secara kultural, timbulah budaya kekerasan kolektif yang diselimuti oleh agama, “Religiusitas Non-Humanistik”. Hal itulah yang terjadi di Indonesia yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dan hal itu pulalah yang menjadikan dialog antar-umat beragama di Indonesia menjadi tidak efektif. Padahal, dalam konflik antar-agama, yang paling diperlukan dalam proses rekonsiliasi adalah dialog.

Pada dasarnya, dalam kehidupan bernegara, peran pemerintah sangatlah besar dalam mewujudkan dialog antar-umat beragama tersebut. Pemerintah, sebagai pemegang fungsi kontrol sosial sebaiknya memfokuskan diri kepada kondisi makro yang meliputi pendidikan, ekonomi, rule of law, desentralisasi, dan demokrasi. Pendidikan sebagai pembukaan wawasan, khususnya bagi masyarakat-masyarakat yang seringkali tereksklusi dari fasilitas pendidikan yang memadai. Ekonomi, yang seringkali dikaitkan dengan masalah “kesejahteraan” menjadi isu utama dalam setiap konflik yang mencuat di Indonesia. Rule of law atau hukum, yang mengatur kehidupan bermasyarakat, yang dengan dimensi fleksibilitasnya dibangun kembali dengan lebih memperhatikan hukum adat. Lalu desentralisasi dan demokrasi sebagai sarana untuk distribusi sosial dari ketiga hal tersebut (pendidikan, ekonomi, dan hukum).

Hal-hal tersebut di atas perlu diwujudkan demi mensukseskan dialog antar agama yang baik, yang memperhatikan unsur-unsur humanisme. Dari situlah, akan tercipta pandangan umum bahwa inti dari setiap agama selalu mengandung nilai-nilai substansial dengan corak yang universal, dan bahwa perbedaan dari tiap-tiap agama lebih mengacu pada unsur dogmatis. Dari situ pulalah akan muncul sikap toleransi dan saling menghormati antar-umat beragama, yang akan mendukung masyarakat pluralis yang terkoeksistensi dan menghasilkan hasil tanpa konflik. Walaupun untuk mencapainya akan diperlukan waktu yang lama karena adanya kompleksitas. Kerjasama dari pemerintah, lembaga-lembaga serta organisasi sosial, para pemimpin agama, serta para pemeluk agama suatu hari diharapkan akan membantu membawa bangsa Indonesia ke arah “Religiusitas Humanistik”, di mana akan membawa kita kepada integrasi, baik secara struktural maupun kultural.


Wacana :
1. Konflik Komunal di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic Studies (INIS) dan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta.
2. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita, Sultan Hamengku Buwono X.
3. http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan%20kebebasan%20beragama%202005-1.html
4. http-//www.geocities.com/baguala67/kompas100901a.htm
5. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/16/0062.html


(Chikita Rosemarie, March-26-2008)

No comments: