at laaassstt.. essay spi gw kelar jugaaa ^_^ (btw, it's 4 am in the morn!)
i've tried so hard nih, di tengah keterbatasan intelektual dan keterbatasan halaman..
silahkan diberi komen, hehehe..
btw, seperti biasa footnotenya ga muncul, jadi cukup daftar pustaka aja ya.. :)
------------------------------------
Pemecahan Glass-Ceiling sebagai Bentuk Affirmative Action Demokratisasi di Indonesia
“Sebuah Analisis Gender”
Oleh : Brigita Chikita Anggradiani Rosemarie
(Sosiologi, 0706284641)
Demokrasi, sebuah konsep yang secara etimologis berarti ‘government by the people’ atau ‘pemerintahan di tangan rakyat’, di mana berarti setiap pihak dalam struktur masyarakat memiliki hak yang sama secara politis, dan tidak boleh ada yang tersubordinat maupun terdiskriminasi (equal citizenship). Secara konseptual, demokratisasi menunjuk berat pada pelaksanaan demokrasi, baik secara prosedural maupun substantif di suatu negara. Indonesia sebagai negara yang sedang menjalani proses demokratisasi mendasarkan pelaksanaan demokrasi tersebut ke pada dua hal, yakni Rechtsstaat (rule of law; negara hukum) dan sistem konstitusi (Budiarjo, 2008).
Konsep demokrasi-demokratisasi seringkali dikaitkan dengan liberalisasi, di mana hal tersebut menunjuk pada pembaharuan pada berbagai isu sosial-politik, salah satunya adalah isu gender. Demokratitasi dan penanggulangan isu gender adalah kedua hal yang diharapkan memiliki hubungan yang berbanding lurus (semakin baik demokratisasi, semakin baik pula penanggulangan isu gender), karena goals dari demokratisasi sendiri salah satunya adalah penghapusan diskriminasi politis yang berbasis pada equal citizenship, dan isu-isu gender yang merebak di dunia perpolitikan Indonesia tidak pernah terlalu jauh dari hal-hal yang berbau diskriminasi (ketidakadilan) secara politis terhadap kaum wanita.
Yang selalu menjadi permasalahan ‘berbau’ gender dalam dunia perpolitikan Indonesia adalah peranan wanita yang masih tersubordinat dalam pemerintahan (baik legislatif maupun eksekutif), di mana negara masih secara sadar maupun tidak mensuperioritaskan kaum pria dalam penempatan jabatan-jabatan politik, di mana bertentangan dengan prinsip demokrasi secara umum (hak yang sama; tidak ada diskriminasi). Hal tersebut dapat terjadi, karena secara kultural, bangsa Indonesia masih berpegang pada nilai-nilai budaya patriarkhi yang pada prakteknya menguntungkan kaum pria, di mana hal itu menciptakan adanya segregasi vertical (Moore dan Sinclair, 1995) yang berujung pada pembatasan ruang gerak atau glass-ceiling (langit-langit kaca; tak terlihat) yang menghalangi wanita Indonesia dalam memasuki ruang publik, dan dalam hal ini adalah kancah perpolitikan.
Apabila kita melihat konsep demokrasi Indonesia yang didasari pada konsep Rechtsstaat dan sistem konstitusi, sebenarnya secara struktural negara telah melakukan affirmative action (terobosan) dengan adanya Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) melalui UU No.7 tahun 1984, Pasal 7 secara tegas juga mengatur hak-hak politik perempuan serta menjamin persamaan hak antara pria dengan wanita dalam hal : (1) hak untuk memilih dan dipilih, (2) hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, (3) hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; dan (4) hak untuk berpartisipasi dalam organisasi/perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik , selain itu juga terdapat sistem kuota yang meletakkan persentase minimum keterlibatan wanita dalam parlemen sekurang-kurangnya 30% dari keseluruhan jumlah anggota pada pemilu 2004.
Walaupun secara struktural telah ada landasan hukum serta konstitusi yang kuat, pada realitanya di pemilu 2004, walaupun secara keseluruhan keterwakilan wanita dalam partai politik sudah mencapai 32, 3% (2.507 caleg), namun masih banyak partai-partai yang tidak memenuhi kuota tersebut, dan ironisnya hal itu justru banyak dilakukan oleh partai-partai besar. Selain itu, penempatan nomor urut juga sangat menentukan, dan dalam hal ini dari 2.507 caleg perempuan hanya terdapat 242 atau sekitar 9,7% dari total keseluruhan caleg perempuan yang menempati nomor urut 1, dan 421 atau 16,8% dari total keseluruhan caleg perempuan yang dinominasikan pada nomor urut 2 .
Apabila kita mencermati angka-angka di atas, kita dapat melihat adanya inefisiensi dari affirmative action, di mana glass-ceiling tersebut secara implisit masih ada, dan bahkan (melalui indikasi-indikasi tertentu) justru dipergunakan sebagai alat politik untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang tidak mengedepankan citizenship equality itu sendiri. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa adanya glass-ceiling bukan hanya menyebabkan affirmative action menjadi tidak efisien namun juga menyimpang karena tidak tepat sasaran, di mana wanita tetap tersubordinat, dan juga dipergunakan dalam praktek-praktek yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Yang membuat hal tersebut menjadi semakin ironis adalah bahwa affirmative action yang sebenarnya diberlakukan guna menghilangkan glass-ceiling justru gagal karena ‘dihadang’ oleh batasan glass-ceiling itu sendiri.
Hal ini terjadi karena adanya kekurangpahaman kaum inovator politik mengenai glass-ceiling itu sendiri. Perlu diperhatikan, bahwa affirmative action diperlukan sebagai wujud ‘pemecahan glass-ceiling’ dan bukan sekedar reaksi atas adanya glass-ceiling, dan dalam penetapannya dibutuhkan pengetahuan akan ‘seberapa tebal’ glass-ceiling itu sehingga ia dapat ‘dipecahkan’. Afiirmative action harus dapat memposisikan dirinya di atas glass-ceiling dan bukan sebaliknya.
Secara konseptual, ada dua hal yang perlu dicermati dalam pemecahan glass-ceiling, yakni: (1) pendekatan demokrasi yang tepat, dan (2) demokrasi pluralistik. Dalam menanggapi permasalahan glass-ceiling, yang diperlukan adalah pendekatan demokrasi aliran kedua, di mana; Demokrasi bukan sebagai hasil dari perkembangan masyarakat tertentu, yang boleh absen selama perkembangan itu belum matang Bagi aliran ini, demokrasi adalah prinsip yang harus hadir di setiap tahapan pembangunan . Pendekatan ini pada intinya mementingkan sistem kontrol yang didasari pada rule of law. Pendekatan seperti ini diperlukan untuk menghindarkan affirmative action menjadi hanya sekedar seperangkat aturan yang tak dapat diimplementasikan atau prosedural dan tidak substantif.
Selanjutnya adalah demokrasi pluralistik. Yang dimaksud sebagai demokrasi pluralistik adalah demokrasi yang dapat melihat keberagaman sosial, di mana sesuai dengan konsep Iris M. Young yang mencatat empat persoalan yang muncul dari demokrasi yang membayangkan kesamaan umum (generality) dan perlakuan yang sama (general treatment). Yaitu bahwa: (1) demokrasi dapat melakukan pengabaian terhadap individu atau kelompok yang karena keterbatasan (kultur atau sistem) tidak dapat turut dalam perumusan keputusan bersama, (2) pandangan umum atau general view justru memaksa masyarakat ke dalam homogenitas (di mana tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang heterogen), (3) adanya perbedaan-perbedaan budaya, nilai, perilaku, sistem kepercayaan yang tingkat keberagamannya sudah tidak dapat diakomodasi dalam prinsip common sense, (4) secara faktual, ada kelompok tertentu yang mendapatkan keuntungan atau privilese dari keadaan tersebut . Oleh karena itulah, dalam demokratisasi Indonesia, aspek pluralisme harus dapat dikedepankan demi mencapai keadilan sosial.
Melalui kedua aspek tersebut, diharapkan affirmative action dapat diberlakukan secara lebih efisien, di mana ia dapat secara tepat sasaran ‘memecahkan’ glass-ceiling sebagai bentuk demokratisasi yang baik yang dapat menjamah dimensi feminisme sosial dan cita-citanya, yakni bukan semata-mata emansipasi wanita, namun emansipasi masyarakat yang diwujudkan dalam suatu sistem sosial yang lebih adil dan merata, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
• Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik ed. Revisi. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
• J.A, Denny. Demokrasi Indonesia: Visi & Praktek. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006)
• Jurnal Perempuan ed. 34. 2004. Politik dan Keterwakilan Perempuan.
• Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, & Kedadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. (Jakarta: PT RajaGrasindo Persada, 2007)
• Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi ed. Revisi. (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004)
(Chikita Rosemarie, May 18-2008)
No comments:
Post a Comment